Sunday, December 24, 2006

Musikalisasi Puisi

Udara Bandung yang dingin ditambah hujan gerimis yang mengguyur tubuh, ditambah dengan suasana otak tertekan akibat banyaknya yang harus dikerjakan ditambah di rumah sepi seorang diri serta paduan mie instan plus secangkir kopi pekat, menghasilkan reaksi yang aneh. Otak saya konslet. Lagi-lagi mengerjakan sesuatu yang aneh. Anehnya lagi, hal itu terjadi ketika saya sedang gemar-gemarnya mengerjakan TA ;p. Ketika kerumunan angka di layar komputer membuat kepala saya pening, saya mencoba untuk beristirahat dan mengambil gitar kesayangan saya. Dan alhasil, malam itu saya melakukan Musikalisasi Puisi. Hahahaha.

Ambil gitar, duduk di lantai di atas karpet, genjrang-genjreng, coretan-coretan TA di sebelah kiriku dan kumpulan puisinya Sapardi Djoko Damono di sebelah kananku. Ternyata yang sebelah kanan lebih menarik perhatian. Sedikit kilas balik sebentar. Saya sempat bertemu dengan seseorang yang mempunyai grup musikalisasi puisi dan rencananya pada tahun baru nanti akan mengisi di sebuah acara sunatan masal. Mungkin karena berinteraksi dengan beliau inilah saya jadi pingin mencoba apa itu musikalisasi puisi. Dan malam itulah saya mengadakan pertunjukan musikalisasi puisi sendiri di kamar kontrakan sendiri tanpa penonton:D. Dan karena kebetulan ada 2 puisi yang paling saya suka dari Sapardi Djoko Damono : Aku Ingin dan Hujan Bulan Juni, maka kedua puisi itulah yang saya jadikan bahan musikalisasi puisi. Dan hasilnya sangat tidak mengecewakan. Tiap bait kata yang ada di puisi masuk ke dalam nada yang saya nyanyikan (meski tentu saja sedikit fals) dengan sangat indah:). Akhir pertunjukan, saya berteriak-teriak histeris sendiri dan tanpa tepuk tangan tentunya. Pfuih, lumayan untuk ukuran pemula, hehehe.

Begitu mulai bosan di dalam kamar kontrakan, saya pindah ke ruang tengah, yang waktu itu belum menjadi garasi motor karena penghuni lain yang membawa motor belum pulang. Duduk di atas meja, genjrang genjreng lagi. Mencoba memainkan kord-kord gitar yang saya kenal. Tiba pada suatu genjrengan : "Lha, ini kan lagu yang saya ciptain dulu pas SMA, huahaha.". Jadi ceritanya, dulu pas SMA saya tinggal di asrama. Tinggal sekamar dengan seorang teman, laki-laki tentunya. Pada suatu hari, teman saya mendapatkan sebuah surat dari temannya. Dan temannya teman saya itu menyertakan sebuah puisi di suratnya. Dan puisi itu dibacakan oleh teman saya di dalam kamar. Komentar saya (dalam hati) : Puisi terbaik yang pernah saya dengar. Maklum waktu itu masih belum kenal pak Goenawan Mohamad, om Taufik Ismail ataupun eyang Sapardi Djoko Damono. Jadilah puisi itu menjadi kajian sastra bagi kami sekamar yang masih cupu itu. Baca sana, baca sini itu puisi, akhirnya terbit sebuah ide : Bagaimana kalau dibuat lagu. Sepertinya bagus. Akhirnya bermodal sebuah gitar, puisi itu kami gubah menjadi sebuah lagu. Hasilnya: Lumayan. Lagu itu bertahan selama berminggu-minggu sebagai pemuncak lagu favorit di kamar asrama saya dan terus dinyanyikan terutama di kamar mandi. Tapi sayang, sekarang saya tak ingat sedikitpun puisinya, hanya sedikit iramanya saja. Kalau tidak salah puisi itu berisi tentang cinta dan perjuangan (alah!). Dan ketika malam saya melakukan pertunjukan musikalisasi puisi di kamar kontrakan sendiri itulah, saya tersadar bahwa saya pernah melakukan sebuah musikalisasi puisi sebelumnya. Huehehe. Bravo, bravo. Hebatnya ;p.

Ternyata saat otak sedang ruwet sekalipun, masih ada jalan untuk bersenang-senang sendiri. Murah meriah, apalagi kalau sedang sendiri sedangkan di luar malam telah larut dan hujan tak jua reda. Cobalah melakukan hal-hal aneh yang menyenangkan. Siapa tahu bisa menghubungkan pikiran kita ke kenangan-kenangan indah masa lalu. Please try this at home:).

Saturday, December 16, 2006

Media

Don't wanna be an American idiot.
Don't want a nation under the NEW media.
And can you hear the sound of hysteria?
The subliminal mind f**k America

Welcome to a new kind of tension.
All across the alien nation.
Where everything isn't meant to be okay.
Television dreams of tomorrow.
We're not the ones who're meant to follow.
For that's enough to argue.

Well maybe I'm the faggot AMERICA
I'm not a part of a redneck agenda.
Now everybody do the propaganda.
And sing along in the age of paranoia.

Welcome to a new kind of tension.
All across the alien nation.
Where everything isn't meant to be okay.
Television dreams of tomorrow.
We're not the ones who're meant to follow.
For that's enough to argue.

Don't wanna be an American idiot.
One nation controlled by the media.
Information age of hysteria.
It's calling out to idiot America.

Welcome to a new kind of tension.
All across the alien nation.
Where Everything isn't meant to be okay.
Television dreams of tomorrow.
We're not the ones who're meant to follow.
For that's enough to argue

American Idiot by Green Day


Berawal dari keisengan membuka sebuah website televisi. Di situs itu terpampang pengumuman rekruitmen karyawan baru yang bertitel Broadcaster Development Program (BDP). Selidik punya selidik ada kalimat di situs itu : Kami informasikan kepada anda, untuk rekruitmen tetap dibuka sampai dengan tanggal 15 December 2006. Ha, itu berarti 15 menit yang lalu. Mungkin memang belum saatnya :).

Stasiun TV dan media pada umumnya, memberikan saya ketertarikan tersendiri. Apa alasannya, mungkin biar saya simpan sendiri:). Yang jelas, media seperti halnya ladang bisnis lainnya merupakan salah satu impian orang untuk bekerja atau berkarir. Pun saya, meski media bukan satu-satunya.

Seperti sudah sifatnya, media selalu dekat dengan kekuasaan. Media yang saya maksud disini adalah media yang hidupnya berkesinambungan dan mapan. Dulu ketika Departemen Penerangan -almarhum ayah saya kerja di departemen ini- masih ada, segala berita disaring oleh Departemen ini. Hingga tiap berita yang menyangkut pemerintah adalah berita yang 'baik'. Bukan hanya berita di TV tapi juga di koran dan majalah. Intinya media waktu itu dikuasai oleh pemerintah.

Meminjam kata-kata Noam Chomsky:
In a totalitarian state, it doesn't matter what people think, since the government can control people by force using a bludgeon. But when you can't control people by force, you have to control what people think, and the standard way to do this is via propaganda (manufacture of consent, creation of necessary illusions), marginalizing the general public or reducing them to apathy of some fashion.

Dari pernyataan Chomsky tersebut, jelas bahwa media adalah salah satu alat kekuasaan. Menilik kembali ke negeri kita tercinta, Indonesia. Jelas sekarang Departeman Penerangan sudah tidak ada, yang ada hanya Komisi Penyiaran. Itupun tugasnya bukan mengarahkan media tapi hanya mengawasi. Sampai disini mungkin media bukan lagi menjadi alat kekuasaan pemerintah kita. Tapi mungkin saja media masih menjadi alat kekuasaan Negara, hanya kita -terutama saya- tidak merasakannya. Meski demikian, kembali ke sifat media. Ia adalah alat kekuasaan. Siapa yang berkuasa dan menguasainya, itu yang sering tidak diketahui.

Saya tidak akan membahas jaringan konspirasi global atau dunia. Lagipula saya tidak punya cukup pengetahuan tentang itu ;). Saya akan coba bahas dari yang saya ketahui. Media baik cetak maupun elektronik membutuhkan biaya yang tak sedikit untuk tetap hidup. Saya pernah mendapat sebuah data -tapi lupa darimana asalnya dan kapan- tentang biaya operasional sebuah stasiun TV. Katanya, setiap harinya menghabiskan tak kurang dari 1 M untuk biaya operasional. Secara logika, untuk tetap hidup, pemasukan harus lebih besar daripada pengeluaran, minimal sama. Untuk itu pastinya, pemasukan yang berasal entah berasal dari iklan atau sumber lainnya, tak kalah besar dari biaya operasionalnya. Sampai disini, kita melihat media sebagai salah satu bisnis, tak ubahnya dengan perusahaan-perusahaan profit lainnya. Dan mungkin itu adalah sejatinya media.

Karena membutuhkan dana yang tak sedikit untuk tetap hidup, maka media akan dekat dengan sang empunya sumber dana (logis kan??). Dan karena ia bergantung dengan sang empunya dana, maka sang empunya dana ini bisa mengendalikan media (logis lagi kan??). Karena itu media tergantung dengan yang menguasainya. Jika yang menguasai pemerintah yang 'buruk', maka media akan digunakan untuk menutupi keburukan dan membalikkan pikiran masyarakat, hingga memandang sesuatu yang 'buruk' menjadi sesuatu yang baik dan bahkan mendukungnya. Jika sang penguasa adalah pemilik modal yang tamak, maka media tak ubahnya menjadi sapi perah untuk memenuhi pundi-pundi emasnya. Tak peduli seburuk apapun kualitas berita dan tontonan yang disajikan, asalkan itu laku tak jadi masalah. Jika penguasa media adalah seorang yang 'jahat' maka ia akan menyebarkan pikiran-pikiran jahatnya. Begitu juga sebaliknya. Jika yang menguasai media adalah orang yang baik, maka ia akan menyebarkan kebaikannya. Jadi tinggal siapa yang kuat.

Jadi jika anda adalah orang yang baik, maka anda juga harus menjadi orang yang kuat --kayak gak nyambung:D

Wallahu a'lam.

Tuesday, December 12, 2006

Bangsaku, bangsaku

Paling enak meringkuk di bawah selimut, apalagi di bawah udara Bandung yang dingin. Tapi jikalau meringkuk karena kepala berat dan berputar-putar maka keenakannya akan jauh berkurang. Ditambah mendengarkan siaran radio yang materinya cukup berat untuk ukuran siaran pagi. Menurut survey yang dilakukan oleh sebuah lembaga tentang persepsi masyarakat tentang lembaga terkorup menghasilkan 3 lembaga yang cukup familiar dengan kita. Ketiga lembaga itu antara lain -saya tidak ingat urutan pastinya- : DPR, Kejaksaan dan Kepolisian. Kontan saja, kepala saya ikut memikirkannya dan ujung-ujungnya tambah pusing. Pingin mematikan radio sayang, ada wacana bagus untuk tambahan pengetahuan. Tidak dimatikan, informasi-informasi yang keluar dari mulut radio itu berjejalan masuk lewat kuping dan ikut memenuhi otak. Alhasil, saya biarkan ia -radio saya- berkoar-koar yang ujung-ujungnya membuat saya tidak bisa terlelap.

Jika anda sedang bersantai di pagi hari, coba dengarkan acara Risalah Pagi di MQ FM. Lumayan bisa menambah cakrawala berpikir kita. Seringkali materi yang diperbincangkan bagus dan tentu saja terkini. Seperti tadi pagi, membicarakan tentang persepsi masyarakat tentang lembaga terkorup.

Karena acaranya dikemas dalam bentuk perbincangan, tentu saja ada narasumber dan pirsawan yang urun memberikan pendapatnya. Ada yang mengatakan, bahwa beberapa oknum wartawan yang suka memeras pejabat. Ada juga pejabat yang sengaja membuat proyek-proyek tambahan untuk menghabiskan dana. Dengan dalih, dana yang ada harus habis dan apabila tidak dihabiskan maka tahun depan tidak akan mendapatkan kucuran dana yang serupa. Dan beberapa informasi lain yang tidak dapat saya tangkap dengan jelas.

Tentang proyek-proyek yang diadakan untuk menghabiskan dana ini, saya punya sedikit pengalaman menarik. Bersinggungan secara langsung -atau tidak langsung??- dengan proyek-proyek semacam ini. Salah satunya proyek yang diset sebagai proyek akhir tahun sehingga penggarapannya terkesan terburu-buru. Sebelum tutup buku, dalihnya. Apapun yang terjadi proyek ini harus jalan. Satu proyek yang lain terkesan juga 'lucu'. Saya yang notabene telah tutup kontrak dengan proyek ini, tiba-tiba diminta menghitung ulang kelayakannya. Sebelum sempat menanyakan alasannya, saya diberi jawabannya : karena nilai investasinya terlalu kecil serta dana yang tersedia jauh lebih besar. Alhasil, nilai investasi yang awalnya 400an juta membengkak -atau dibengkakkan?- menjadi 3 milyar kurang 13 juta. Saya awalnya kaget. Tapi karena hasilnya layak juga, apa boleh buat.

Perasaan terkagum-kagum, risih, bingung, marah dan perasaaan-perasaan tak jelas lainnya bercampur baur. Kenapa dana yang ada harus dihabiskan? Kenapa jikalau memang tidak terpakai dikembalikan saja ke negara buat tahun depan? Kenapa mesti mengeluarkan investasi yang besar untuk obyek yang sebenarnya tidak memerlukannya? Dan kenapa-kenapa lainnya sampai pusing sendiri. Dengan semangat berpikir baik : mungkin dengan menghabiskan dana dan investasi lebih besar maka pembangunan yang dilakukan akan lebih baik. ??. Ah memang pikiranku belum sampai.

Ingin rasanya tidur meringkuk di bawah selimut dan terbangun saat bangsa ini telah menjadi bangsa yang mulia. Ah tapi tak mungkin. Sementara ini hanya bisa menggumam : bangsaku, bangsaku.

Wallahu a'lam.

Sunday, December 10, 2006

Bab I : Pendahuluan

Belum ada bahan untuk melanjutkan kisah Sang Arsitek:). Tapi juga, sebenarnya sedang mencoba untuk menegur diri sendiri secara halus : Kapan selesai TA-nya? Kapan sidang? Kapan wisuda? Terus kapan-kapan yang lainnya lagi. Alkisah, bab 1 TA saya sudah selesai entah beberapa bulan yang lalu. Sudah disetujui oleh dosen pembimbing dengan beberapa perbaikan. Bahkan saya sampai lupa, dulu menulis apa di bab 1 tersebut. Entah kenapa sampai sekarang TA yang seharusnya 'cuma' 6 bab itu tak kunjung selesai juga. Mulai dari sulitnya mencari literatur yang pas, menemukan dosen yang ahli di bidang ini tapi -sayangnya- saya tidak bisa mendapat banyak dari beliau, pembangunan software yang semoga saja bisa cepat selesai sampai dosen pembimbing saya yang entah kapan akan muncul kembali dari cutinya.

Berbicara mengenai Bab 1 : pendahuluan, sehebat atau seremeh apapun penelitian yang dilakukan pasti memerlukan bab ini. Entah benar-benar menjadi pijakan pokok dalam penelitian atau sekedar pembenaran berbau ilmiah dilakukannya penelitian tersebut. Tapi tetap saja mau tak mau bab itu tidak bisa dihilangkan.

Saya banyak belajar tentang ini beberapa hari terakhir. Ceritanya, sekarang sedang ada rekruitmen untuk asisten baru lab. Salah satu tahapannya adalah calon asisten diminta untuk membuat karya tulis. Dengan melihat presentasi karya tulis mereka (calon asisten), setidaknya saya bisa membayangkan bagaimana alur berpikir mereka hingga terbentuk sebuah karya tulis. Rata-rata lemah pada latar belakang, meskipun tidak semuanya. Sebenarnya tidak fair juga. Menghadapi asisten penguji yang beberapa sedang mengambil TA serta beberapa yang sedang mengambil mata kuliah Komunikasi Profesional. Sebuah mata kuliah yang sengaja dirancang untuk membekali mahasiswa dalam hal penelitian dan bagaimana mengkomunikasikannya. Dan calon asisten belum mendapatkan hal tersebut. Tapi bukan disitu letak permasalahannya.

Permasalahan terletak saat mereka tidak bisa memberikan penjelasan : kenapa mereka melakukan penelitian tersebut atau kenapa hal tersebut layak untuk dijadikan bahan penelitian. Sebenarnya dengan memberikan alasan : karena saya ingin, -menurut saya- telah bisa dijadikan alasan untuk melakukan sesuatu. Tapi alasan tersebut akan terlihat sangat tidak ilmiah sekali untuk sebuah produk ilimiah berupa karya tulis atau penelitian. Beberapa bulan yang lalu saya memperoleh kesempatan berbincang dengan seorang psikolog anak. Menurut beliau : orang Indonesia sangat lemah dalam hal reasoning -kenapa ia melakukan sesuatu. Menurut beliau lagi, bahwa sejak kecil anak-anak tidak dibiasakan untuk mengambil peran dalam menentukan suatu perilaku, membebaskan anak untuk mengambil keputusan serta tidak memberikan alasan-alasan logis kenapa suatu hal itu boleh dilakukan sementara yang lain tidak. Anak-anak, tambah beliau, seringkali kali hanya diajari : what next. Setelah ini seharusnya begini begitu, kalau ada masalah ini solusinya begitu. Jarang sekali diajari : kenapa harus begitu. Jadi sampai disini, masalah lemahnya reasoning bisa jadi disebabkan karena kurangnya ajaran atau tuntunan tentang hal itu.

Saya merupakan salah satu produk pendidikan Indonesia. Begitu juga hampir semua anak Indonesia. Dari TK sampai sekarang, tuntunan mengenai pentingnya 'kenapa' (reasoning) saya rasakan sangat minim.. Kita dijejali dengan berbagai pengetahuan tanpa tahu kenapa harus mempelajari hal tersebut. Alasan yang diberikan juga biasanya normatif : karena ilmu ini itu bermanfaat, bermanfaat di kemudian hari dan bla bla lainnya. Anak didik bagaikan patung yang dipahat seindah mungkin oleh seniman. Patung itu indah tetapi tidak berjiwa. Bukankan pendidikan seharusnya juga membentuk karakter, bukan sekedar membangun kompetensi. Bukankah seharusnya pendidikan mengajarkan kita cara berpikir yang runtun, meski berpikir acak juga sangat penting dan seringkali dipergunakan juga. Bukankah kreativitas juga bermula dari kumpulan pengetahuan yang berserak di kepala, kemudian dihimpun dan dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan. Kesadaran akan pentingnya reasoning sebagai salah satu alur berpikir seringkali baru disadari ketika telah beranjak dewasa. Bukankan akan lebih baik jika dimulai dari dini. Meskipun tentu saja dengan cara penyampaian yang lain jika hal yang sama diberikan pada orang dewasa. Bukankah akan jauh lebih baik jika kemampuan untuk selalu menggunakan pijakan dalam berpikir, berkata dan berbuat, menjadi bagian dari karakter seorang manusia.

Wallahu a'lam.

Wednesday, November 29, 2006

Sang Arsitek [2]

Ia telah menungguku di sana. Di satu sudut kafe. Di mejanya terdapat sebuah laptop dan sebuah cangkir. Mungkin teh, mungkin juga kopi, isinya.
"Maaf. Aku harus menunggu hujan hingga agak reda". Aku menjelaskan.
"Ah. Santai saja. Aku punya banyak waktu." Ia tersenyum. Dan aku sedikit lega.

Aroma kopi menyeruak. Dan benar. Ternyata isinya kopi panas. Aku bisa melihat dari kepulan asapnya. Sesaat aku teringat, jikalau kopi adalah kesukaannya. Mungkin terlalu sedikit dari dirinya yang masuk ke rentang perhatianku.
"Kamu mau menunjukkan sesuatu", tanyaku. Aku pun duduk.
"Memang benar." Ia tersenyum, seperti menyimpan sebuah kegembiraan yang belum penuh terlihat
"Sebentar." Sesaat ia kembali sibuk dengan laptopnya. Ia mengajakku ke sini karena ingin menunjukkan sesuatu padaku. Dan aku belum tahu itu. Ia mengarahkan layar laptop ke arahku.
"Ta da...," ia setengah bersorak.
Aku membenahi kacamataku. Mataku menyipit, pipiku terangkat dan sesungging senyum tercipta.
"Ini untukku," tanyaku cepat.
"Yup, benar sekali," jawabnya pun cepat.
"Ini benar untukku," tanyaku lagi, memastikan.
"Memang untukmu. Seperti yang pernah aku janjikan." Ia tersenyum. "Untukmu, sebuah rumah dariku."

Ia menunjukkan setiap detail rancangan rumah yang ia buat. Ia mengatakan rancangan yang ia buat adalah gaya usonia. Aku tak tahu apa itu usonia dan gaya arsitekturnya. Yang aku tahu hanya, desain rumah untukku ini sangat indah. Ia menunjukkan sebuah ruangan yang diisi penuh dengan rak buku.
"Aku tahu, kamu suka membaca," katanya. "Aku buatkan sebuah perpustakaan untukmu.
"Wah, indah sekali."
"Dan satu lagi," ia menahan ucapannya. Ia menunjukkan selembar kertas, bergambar sketsa tangan.
"Apa ini ?" tanyaku.
"Kamu lihat jendela yang ini," katanya sambil menunjuk ke arah layar laptop.
"Ya, aku melihatnya."
"Ini adalah sketsa jendela perpustakaanmu. Aku tahu, kamu suka menulis. Jadi aku membuatkan sebuah jendela khusus untuk menemanimu mengembara, mengukir kata."
Ah, ia tahu begitu banyak tentangku.
"Lalu, kursi kecil yang berkaki tinggi ini," aku menunjuk sebuah kursi. Kursi yang ada di sebelah kursi dimana aku akan duduk dan mengukir kata.
"Ini untuk anakmu."
"Ha," aku bertanya.
"Iya. Untuk anakmu. Siapa tahu anakmu suka membaca seperti kamu dan suka menemanimu seharian menulis di samping jendela itu".
Kami pun tertawa.

Tapi, kapan aku bisa membuat rumah ini. Aku masih kuliah. Uang masih mengalir dari orang tua ke rekeningku. Hasil kerjaku sendiri hanya cukup untuk bermain-main.
"Tapi, kapan aku bisa membuat rumah ini," aku bertanya mengulangi kata hatiku.
"Tenang saja kawan," katanya dalam nada yang meyakinkan. "Aku membuatkan rumah indah untukmu. Tapi ia tidak mahal. Kamu tidak perlu menjual sawah untuk membangun rumah ini."
Haha. Aku tertawa. Antara bahagia dan senang.
"Ok arsitek. Aku akan membangunnya tahun depan."

Hujan merintik, semakin deras. Suara tetes air beradu tanah semakin keras. Pikiranku melayang-layang memikirkan rumah itu. Aku harus bekerja lebih semangat untuk membangun rumah itu. Rumah indah buatan Sang Arsitek.

Monday, November 27, 2006

Sang Arsitek

Yang pasti badannya tidak terlalu tinggi. Berjalan pendek-pendek dan pasti. Menebarkan senyum keriangan di setiap lambaian tubuhnya. Tas ransel dipadu dengan tabung gambar. Jeans belel dipadu dengan kaus putih yang santai. Rambutnya ikal panjang hanya diikat dengan sebuah tali rambut merah muda. Dan tak ketinggalan kaca mata yang berpadu manis dengan lesung pipinya.

Aku selalu menganggapnya sebagai salah satu anak teknik yang layak mendapat sebutan engineer sejati. Mungkin sama-sama menghasilkan konsep. Tapi yang ia hasilkan adalah benda konkret. Sebuah bangunan indah atau sekedar harmoni tiang-tiang pancang, sanggup ia torehkan dengan jemari kecilnya. Sedangkan aku. Yah aku rasa aku cukup bangga dengan konsep yang kadang tak teraktualisasi di lapangan. Aku rasa kami banyak berbeda meski tak sedikit juga kesamaan yang kami miliki.

Bagiku sebuah tangga adalah produk yang harus dikritisi. Hingga tangga harus sebisa mungkin tidak membuat letih penggunanya. Baginya tangga adalah sebuah karya seni. Tiap anak tangga yang menyusunnya bagaikan sebuah deretan nada yang menciptakan komposisi yang elok. Kami sering berdebat tentang hal itu. Bukan pertikaian yang sengit memang. Tapi perdebatan yang indah. Dan aku merindukan perdebatan itu.

Aku berjalan di sampingnya. Sebuah lembayung senja menaungi kami. Kami berbicara dalam diam. Lebih tepatnya aku yang lebih banyak membisu. Satu kata yang akan terus tercatat di otakku hingga kini.
"Aku akan membuatkan sebuah rumah untukmu".
Dan ia benar-benar membuatkan sebuah rumah untukku.

Bagaimanapun juga, aku tak akan mampu menatapnya lagi. Bagiku hanya ada masa lalu dengannya dan masa depan dengan semua bangunan yang menaungiku kini. Hingga kini aku tak tahu banyak tentang arsitektur, tentang minatnya. Yang aku tahu hanya aku menyukainya dan arsitekturnya. Tak lebih dari itu. Aku hanya tahu bahwa atap yang ada di atas kepalaku sekarang adalah atap terindah yang pernah ia buat. Dan khusus untukku. Dan jendela yang ada di sampingku adalah jendela tercantik yang ia gambar sendiri sebelum memesankannya khusus ke tukang kayu. Jendela inilah yang mengantarkan cahaya matari ke atas tiap lembar-lembar kertas. Lembar-lembar kertas dimana aku menuliskan kisahku , kisah bangunan ini. Dan kisah sang arsitek.

Sunday, November 26, 2006

Kamis Senja

Koridor masjid. Duduk melingkar. Senja menyaput langit. Kata-katanya tenang tapi bertenaga.
"Kami diminta untuk mewakili sastrawan dari Indonesia".

Kata-katanya meluncur bersahaja menceritakan pengalamannya. Ia dan delegasi dari Indonesia dengan santai minum air putih sementara yang lain makan babi dan minum alkohol. Maklum. Hanya ia dan temannya serta perwakilan dari India yang tidak makan babi dan minum arak.
"Kami heran dengan kalian. Semalam kalian mabuk berat. Pagi ini kalian bisa datang ke pertemuan tepat waktu." Tanyanya suatu kali kepada perwakilan negara lain.
"Itulah kami." Versi halus dari perkataan, kami profesional. Semalam kami memang mabuk, tapi pagi ini kami harus bekerja.

Ia merakit kata untuk mendeskripsikan negara yang ia kunjungi. Korea sangat rapi. Hampir tak ada sampah yang bercecer. Bandingkan dengan negara kita. Dia malu, aku malu. Aku tinggal di Bandung dan ia juga berasal dari Bandung. Pasti mafhum jika sampah menjadi sajian harian kotanya.

Pembawaannya tenang dan ia masih berbagi cerita. Bagaimana tema lokalitas masih menjadi isu utama yang diangkat oleh sastrawan masing-masing negara. Bagaimana sastra Asia harus dapat berkembang dan menjadi salah satu pilar peradaban. Bagaimana perjuangan sastrawan-sastrawan Palestina di antara desingan peluru dan debu bom. Bagaimana kita masih belum apa-apa dibandingkan mereka. Bagaimana tenaga yang kita keluarkan belum seluruhnya yang kita punya. Aku hanya bisa menunduk. Aku bukan seorang sastrawan dan ia seorang sastrawan. Rasanya aku ingin memiliki tenaga sebesar sastrawan Palestina itu dan juga sastrawan lainnya. Ia yang menggerakkan tangannya di sela-sela kesulitan yang terus mengguyur buminya. Dan mereka masih terus berkarya.

Ah, memang masih perlu banyak belajar. Tangankupun masih terlalu berat untuk memahat kata-kata dalam pikiran. Jangankan bertenaga, bermakna pun bisa jadi belum.

-Kamis sore, duduk melingkar, bareng Mas Irfan H dan masih banyak yang lain, mengembara.-

Saturday, November 11, 2006

Menonton TV

Saat ditanya apa yang dilakukan selama liburan di kampung halaman, pasti akan saya jawab : makan, tidur, nonton TV dan sedikit jalan-jalan. Karena selama liburan lebaran kemarin, cuaca di Madiun sangat panas, maka aktivitas terakhir hampir tidak terlaksana. Hanya sesekali jalan-jalan itupun karena harus harus berkumpul dan bersilaturahmi dengan keluarga besar Eyang. Praktis saja tanpa jalan-jalan, aktivitas yang dominan menjadi : makan, tidur dan nonton TV. Terutama menonton TV.

Karena selama tinggal di Bandung jarang sekali menonton TV, maka seperti mendapatkan kesempatan langka, saya pun menjadi penonton setia televisi apapun acaranya. Karena hampir seharian dijejali berbagai suguhan informasi dan hiburan dari layar kaca maka iseng-iseng saya menjadi pengamat pertelevisian. Paling tidak itulah persepsi saya tentang pertelevisian Indonesia sekarang.

Teringat perkataan seorang dosen beberapa semester yang lalu. Jika kita ingin melihat mental sebuah bangsa dan kemana bangsa itu akan bergerak, maka lihatlah pertelevisiannya. Tentu saja disini saya tidak akan menarik hubungan antara tayangan televisi dengan kemana bangsa ini akan bergerak. Saya akan memberikan komentar tentang tayangan-tayangannya saja.

Terlihat adanya persaingan antara stasiun-stasiun TV swasta. Tentu saja TVRI dan TV lokal harus dipertimbangkan juga, tetapi saya rasa mereka berada di rel persaingan yang berbeda. Masing-masing TV berusaha menonjolkan tayangan-tayangan mereka yang be-rating bagus. Ada dua stasiun TV yang berlomba untuk menampilkan film-film luar negeri yang bagus hampir setiap hari. Satu di antaranya memutar 2 buah film setiap harinya di 'bioskop' mereka. Mereka juga menggembar-gemborkan film-film yang belum pernah ditayangkan di TV manapun. Ada sebuah TV yang mempromosikan sepaket kuis (terdiri dari 3 kuis) dengan hadiah total 24 milyar per minggu dengan mbak Dian Sastro sebagai salah satu pembawa acaranya. Ada yang memberikan acara infotainment 3 kali sehari dengan ditambah embel-embel : pagi, siang dan sore investigasi. Dan itupun diikuti oleh stasiun lain dengan menambah frekuensi harian acara infotainment. Sepertinya acara infotainment masih akan menjadi acara unggulan dalam beberapa tahun ke depan atau bahkan mungkin selamanya? Tentu saja berita selebriti yang sedang 'panas' waktu liburan kemarin adalah tentang sebuah band kenamaan dari kota kembang.

Setiap stasiun TV pasti memutar sinetron. Apakah itu sinetron remaja, Islami, misteri, komedi(?), anak(?) dan lain sebagainya. Ketika dulu sering nonton TV bareng ibu, saya pun sering berantem gara-gara jenis tayangan yang satu ini. Bagaimana tidak, sinetron yang ditonton ceritanya tidak bermutu (menurut saya) ditambah dengan panjang sinetron yang sepertinya tidak akan habis diputar 7 turunan. Kalau anda mengenal Smallville season 6 maka jika anda hidup sejaman dengan saya maka anda tentu mengenal juga Tersanjung 6. Sinetron sekarang? Saya pikir tidak jauh berbeda dengan dahulu. Sepertinya sekarang sedang musim sinetron bertema religi dan remaja. Tapi ada yang menarik setelah adanya tayangan-tayangan sejenis sinetron macam Bajaj Bajuri. Mungkin lebih tepat disebut dengan komedi situasi. Lihat saja OB (Office Boy) di RCTI atau Keluarga Senyum di TV7. Kedua tayangan tersebut patut ditonton, karena selain ringan menghibur tentu saja ada pelajaran yang bisa diambil, terutama dari Keluarga Senyum. Selain itu ada juga tayangan semacam sinetron yang cukup unik juga. Jika menonton sinetron konvensional kita seperti membaca sebuah novel atau cerita bersambung, maka tayangan ini seperti sebuah cerpen yang dapat kita baca tuntas dalam sekali waktu. Karena seperti cerpen, sinetron jenis ini biasanya mengangkat tema yang unik (bukan tema klise) dan sangat dekat dengan keseharian. Karena sekali selesai dalam satu tayangan maka tidak ada keterikatan untuk menonton episode selanjutnya.

Saya tidak akan membahas tayangan yang lainnya. Sudah jamak, jika di setiap stasiun televisi terdapat tayangan kriminal (investigasi), berita, olahraga, musik, reality show, masak-memasak dan kuliner serta acara lain yang saya tidak tahu bagaimana menyebutnya. Dan setiap stasiun televisi mencoba untuk menjadi unik dan menarik pemirsanya dengan tayangan-tayangan andalannya. Mungkin televisi kita memang bisa membuat acara-acara yang sesuai dengan keinginan pemirsanya. Sehingga tayangan-tayangan yang ada merupakan cerminan dari kesukaan masyarakat. Tetapi ada kemungkinan juga apapun yang ditayangkan oleh televisi akan disukai oleh masyarakat. Apa-apa yang disuguhkan oleh televisi akan menjadi hal-hal yang disukai oleh pemirsanya. Entah mana yang lebih tepat.

Mungkin benar jika kita bisa melihat karakter bangsa lewat tayangan televisi. Tapi mungkin benar juga tayangan-tayangan televisi sekarang terutama yang bersifat fiksi (misal sinetron dan sejenisnya) merupakan penggambaran berlebihan dari realitas masyarakat. Menonton TV sekali waktu bisa menjadi hiburan tetapi juga bisa meracuni pikiran. Asal tidak berlebihan dan bisa memilih tayangan dengan bijak, sepertinya tidak akan menjadi masalah.

Thursday, October 19, 2006

Bunga

Gambar ini saya ambil ketika saya ada di sebuah kantor pemerintah daerah Pandeglang. Waktu itu siang dan sangat panas sekali. Setelah selesai sholat di mushola kantor itu, saya melihat bunga ini (terus terang saya tidak tahu ini bunga apa ;). Bunga itu tumbuh di tanah pingiran lapangan buku tangkis, di antara rerumputan yang tidak teratur. Mungkin saja memang jarang dirapikan. Sepintas mungkin akan jarang yang memperhatikan bunga ini karena ia memang tidak eye catching. Bandingkan dengan serumpun bunga mawar dengan warna merah menyala yang sangat menggoda mata. Ia sangat terlihat. Tapi siang itu, bunga ini sangat indah. Tak terlihat tapi tetap saja indah.

Friday, October 13, 2006

Ayahku

Garis wajahnya keras tapi ia tampan. Garis wajah itulah yang kumiliki sekarang. Ia duduk di kursi meja makan, menyeruput kopi kental nan panas. Udara pagi menyusur lewat jendela yang ada di sampingnya, melambaikan rambutnya yang beberapa telah mulai memutih.

Ia menatap ke arahku ketika aku berteriak, menyemburat ke arahnya.
"Ayah..."
"Ibu kan sudah bilang. Kalau besok pagi sekolah, peralatannya harus disiapkan. Jangan pagi-pagi begini baru sibuk mencari peralatan yang tidak ada."

Ayah menjadi benteng pelarianku ketika aku mendapat marah dari ibu. Pembawaannya sangat tenang meskipun sekali waktu amarahnya bisa meledak sangat hebat. Aku pernah melihatnya mematahkan sebuah meja kayu ketika bertengkar dengan ibu.

"Beristirahatlah, sayang. Engkau terlalu lelah bekerja, " kata ibuku suatu waktu ke Ayah.

Ia menggendong adik kecilku sambil melayani pukulan-pukulan raketku. Ia sanggup mengembalikan setiap shuttlecock yang terarah ke daerahnya meskipun satu tangannya menggendong adik kecilku. Ia sangat mahir bermain bulu tangkis. Aku dibuatnya jungkir balik, mengembalikan setiap pukulannya.

Ialah yang pertama kali mengajariku bersisir sendiri. Ialah yang sering berbelanja kopi, gula dan tentu saja minyak rambut. Minyak rambut yang dipakai untuk merapikan rambutku.

Aku sering mendengarnya membaca Qur'an di ruang tamu.
"Ayah hanya bisa membaca Qur'an, tapi tak bisa menulisnya," katanya sembari tersenyum.
Ia membaca sebuah Qur'an yang tulisannya tercetak di atas kertas yang coklat dengan huruf-huruf yang sangat berdempetan. Ketika aku membaca Qur'an itu, aku merasa sangat kesulitan. Tapi ayahku membacanya dengan sangat lancar.

Ialah yang setiap catur wulan membawakan sebuah piagam penghargaan dari kantornya. Piagam karena aku mendapatkan rangking berapapun. Dan piagam itu masih tertumpuk rapi hingga sekarang.

Ia beberapa kali menunjukkan bekas jahitan di perut bagian kirinya. Luka bekas operasi.

Suatu hari aku melihatnya kesakitan dan setelah itu ia pergi.

****

Pernah ada yang bertanya, "Bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang dicintai?"
"Apa kau pernah kehilangan sebuah benda?"
"Iya pernah."
"Jauh lebih sakit daripada itu."

Aku tidak ingat kapan ia meninggal. Yang jelas aku merindukannya. Merindukan secangkir kopi yang tiap pagi ia minum, dekapannya, suaranya membaca Qur'an, lelucon-leluconnya, piagam yang ia bawa setiap cawu dan semua hal tentang dirinya. Jika ia masih ada sekarang, aku ingin bercerita tentang banyak hal kepadanya. Ayahku.

-Jangan pernah menyiakan setiap detik yang dianugerahkan Allah kepada kita untuk berbakti kepada orang tua-

Thursday, October 12, 2006

Mudik

Konon katanya, tradisi mudik hanya ada di Indonesia dan tidak di belahan bumi yang lain. Tradisi yang berawal dari semacam keharusan dan kebutuhan akan silaturahmi bersama sanak saudara di Hari Raya.

Tahun ini, insya Allah akan menjadi mudik saya kali ke tujuh. Semoga menjadi mudik yang menyenangkan :).

Mudik pertama, waktu itu masih kelas 1 SMA. Sekolah di luar kota, di sebuah tempat antah berantah. Seingat saya waktu itu libur puasa dan lebaran lumayan panjang. Jadi mudik pun dilakukan jauh-jauh hari sebelum Hari Raya. Karena setelah liburan akan ada ulangan umum catur wulan 2, maka tas ransel saya penuh dengan buku-buku pelajaran. Tapi apa hendak di kata, liburan pun diisi tanpa sedikit pun menyentuh buku-buku itu. Karena berkumpul dengan keluarga lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk bercengkerama atau sekedar bermain-main. Maklum waktu itu masih kecil. Karena mudik pertama kali, tentu saja ada pengalaman baru yang dirasakan. Mulai dari mencari tiket jauh-jauh hari sebelum berangkat, pembagian tempat duduk dengan teman-teman lain yang mudik pula (waktu itu ada 4 orang yang arah mudiknya sama) sampai pengalaman duduk minimal 10 jam sebelum akhirnya sampai di kampung halaman. Yang dilakukan selama ada di kampung halaman? Biasa saja. Membantu ibu menyiapkan kue-kue lebaran dan berjalan-jalan dengan teman-teman yang saya tinggal di kampung halaman.

Mudik kedua, waktu itu sudah ada di kelas 3. Kelas 3 masih di catur wulan pertama. Tak seperti mudik pertama, kali ini tanpa membawa bekal buku pelajaran sama sekali. Berkat pengalaman belajar 1 tahun lebih, ulangan umum tidak perlu dipersiapkan jauh-jauh hari. Cukup menyediakan otak yang sanggup begadang, secangkir kopi, dan kaki yang sewaktu-waktu siap untuk diajak melangkah ke kamar sebelah sekedar basa basi atau menanyakan hal-hal yang tidak mengerti. Memang bukan cara belajar yang baik. Waktu SMA itu, saya memang tinggal di asrama. Prosedur mudik masih sama dengan mudik pertama. Beli tiket jauh-jauh hari, kemudian tinggal menyiapkan fisik untuk menempuh perjalanan panjang. Yang dilakukan di kampung halaman? Masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Membantu ibu membuat kue kering, kacang asin atau jajanan lain khas lebaran.

Mudik ketiga. Saya sudah menjadi mahasiswa ITB. Saat mudik adalah saat-saat yang saya tunggu setelah berkutat dengan kuliah dan tentu saja ospek yang 'menyehatkan'. Jika mudik 1 dan 2 saya berangkat dari pool bus Cibitung, mudik ke 3 ini saya berangkat dari terminal Cicaheum. Karena sudah mulai terbiasa dengan perjalanan panjang, maka duduk berlama-lama di dalam bus pun sudah menjadi hal yang biasa. Karena baru menjadi mahasiswa ITB, tentu saja yang mendominasi pembicaran selama di kampung halaman adalah tentang kuliah di ITB dan seterusnya. Tapi tetap saja, meskipun sudah menjadi mahasiswa, peran sebagai asisten masak + tester pembuatan kue-kue lebaran tetap saja berlanjut. Ada yang aneh ketika mudik waktu itu. Saat saya banyak bercerita tentang kuliah di ITB, teman-teman seangkatan saya masih duduk di kelas 3 SMA. Hiks.

Mudik keempat. Saya ada di tingkat 2, semester 3. Setelah sempat trauma dengan praktikum di Lab Logam yang sampai memakan waktu tarawih, saat mudik adalah saat-saat yang membahagiakan. Benar-benar sangat membahagiakan. Sama seperti mudik ketiga, saya berangkat dari Cicaheum dan kalau tidak salah waktu itu mudik sendirian. Cerita selama liburan lebaran di kampung halaman, saya sudah lupa.

Mudik kelima. Tentu saja sudah ada di tingkat 3 Teknik Industri ITB dengan Praktikum Perancangan Teknik Industri sebagai tema besarnya. Saat akan berangkat menempuh perjalanan, menerima sebuah kabar meninggalnya seseorang akibat kecelakaan. Semoga amal beliau diterima di sisi Nya. Waktu itu kalau tidak salah mudik bareng Mas Trian. Mas Trian yang memaksa kru bus untuk mematikan tv karena video klip yang ditampilkan kurang 'sopan'. Ndengerin suara aja cukup lah mas, gak usah pake gambar. Hehe. Lumayan lah, ada teman mengobrol sepanjang perjalanan, ada teman yang mengingatkan untuk jangan lupa tilawah meski di perjalanan, ada teman yang sama-sama makan pisang sebagai makanan sahur :).

Mudik keenam. Saya meninggalkan Mas Trian di Bandung untuk menyelesaikan template pabrik tugas Perancangan Tata Letak Pabrik. Waktu mudik sangat dekat sekali dengan lebaran, karena hari terakhir kuliah masih harus menjadi asisten sebuah praktikum. Mudik kali itu terasa lucu. Kisah selengkapnya ada di sini.

Mudik ke tujuh. Belum saya jalani. Insya Allah pulang beberapa hari lagi, setelah kemarin akhirnya mendapatkan tiket pulang juga. Kenapa sih tiket kendaraan sekitar Hari Raya selalu naik. Ngabisin duit aja :(. Dan waktu mudik kali ini pun sangat dekat dengan Lebaran, karena (lagi-lagi) masih menjadi asisten di 'sebuah praktikum' itu.

Mudik menjadi salah satu jalan kita untuk bersilaturahmi dengan keluarga-keluarga yang dalam keseharian jauh dengan kita. Memang tak hanya dengan mudik kita bersilaturahmi. Tapi paling tidak dengan mudik, kita bisa lebih lepas menumpahkan kerinduan kepada keluarga kita terutama ayah ibu kita. Buat yang akan mudik, selamat mudik. Hati-hati di jalan. Salam buat keluarga:). Buat yang tidak mudik karena masih ada sesuatu yang menahan dia untuk tetap tinggal, semoga segala urusannya dimudahkan. Buat yang tidak mudik karena memang keluarganya ada di kota yang sama bahkan tinggal seatap, nikmati saja kebersamaan bersama keluarga.

Friday, October 06, 2006

Ramadhan hari III

Tumpukan buku ada di sudut ruangan. Mungkin buku tua. Panas, pengap. Ventilasi tidak membiarkan udara berlalu bebas. Semua tersangkut oleh debu yang memenuhi kawat kasa. Aku tidak mendengar suaranya ketika ia tiba-tiba meloncat ke arahku. Sesaat aku melihat kepalan tangannya. Tapi terlalu cepat untuk aku menghindar. Pukulannya mengenai pelipisku.
"Apa maksudmu?"
Ia meloncat lagi ke arahku. Kali ini kilatan cahaya dari sebuah gunting mengenai mataku. Matanya menyala tajam. Gunting mengarah ke leherku. Ia pasti tak hendak membunuhku. Dinginnya baja terasa di leherku. Ia hanya menempelkan gunting itu di leherku.
"Tak bisakah kita bicara dengan baik?"
Ia meloncat kembali ke belakang, meletakkan gunting itu dan kembali ke arahku. Ia mencekikku kali ini. Tapi aku pikir ia tak hendak membunuhku lagi.
"Apa maumu?"
"Aku sedang puasa!"
Ia memukulku sebelum ia berbelok dan lari keluar. Aku terlalu lemah untuk melawan. Ruangan masih panas. Orang-orang hanya menonton aku dihajar oleh orang tolol itu. Ingin rasanya aku mengacungkan jari tengah. Sialan. Tapi aku sedang puasa.
"Jadi bagaimana Pak? Kita harus bagaimana sekarang? Ada cermin Pak? Rasanya pelipisku berdarah. Ada tissu?"
Aku pusing. Tak tahu harus berbuat apa. Orang-orang yang menontonku dihajar tadi terus bicara. Aku tak tahu mereka bicara apa.
"Baik pak. Kalau begitu saya permisi dulu. Terima kasih."
Aku terhuyung di jalan sebelum masuk ke angkot. Ternyata dunia juga diwarnai dengan seorang laki-laki kecil, jelek, jabrik, yang hanya bisa berbicara dengan pukulan, bersenandung dengan kebohongan, yang melihat kekerasan sebagai solusi terbaik dari masalah. Siapa lagi kalau bukan laki-laki yang menghajarku tadi. Tapi ternyata dunia tak seburuk itu. Apa perlu aku ceritakan kalau di angkot itu ada seorang perempuan berlesung pipi berpakaian merah muda, tersenyum padaku, ketika aku memijit-mijit pelipisku yang terlihat memerah di kaca spion supir angkot. Masih indah bukan.

****

"Hayo ayah...Perempuan itu siapa?"
"Lagipula kenapa ayah ada di tempat itu? Kok tidak melawan?"
"Tanya ibumu saja. Pasti ia tahu siapa perempuan itu."
"Ah ayah."
"Ayo sekarang kalian pergi tidur. Besok pagi harus bangun sahur."
"Besok cerita lagi ya Yah."
"Pasti."

Monday, September 25, 2006

Selamat Berpuasa

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya. Saya mohon maaf atas semua kekhilafan. Semoga kita semua menjadi pribadi yang lebih baik. Selamat berpuasa.

Friday, September 15, 2006

Photo of the day



Hajar terus Pak!!! Sikat aja!!! Jangan dikasih ampun!!! Huehehe.

Selamat buat saudaraku Mas Trian yang sudah lulus mendahului saya ;).

Wednesday, September 13, 2006

Besi











Beberapa, mempunyai bakat yang begitu besar hingga tidak perlu bersusah payah untuk menemukannya. Beberapa, harus disiplin dan kerja keras untuk memunculkannya. Yang manakah anda?

Cerita perjalanan

Saya tidak tahu apakah hal ini baik atau buruk.

Ceritanya, beberapa hari yang lalu saya bepergian ke daerah Jakarta Utara sendirian. Menyusuri bagian utara Jakarta Utara yang menyemburkan bau anyir atau amis (saya juga tidak tahu itu jenis bau apa). Angkot-angkot yang saya tumpangi tak jauh beda dengan angkot-angkot yang biasa saya kendarai di Bandung. Tapi ada beberapa hal aneh ketika saya 'berjalan' di daerah utara Jakarta Utara ini.

Pertama. Orang Jakarta biasanya sangat individualis. Itu stereotip. Entah karena ketatnya persaingan atau memang keturunan. Hal itu bisa dilihat dari sopir-sopir bajaj yang saling tidak mau mengalah sambil menaruh kaki kirinya di 'dashboard' bajaj dengan santainya. Atau teriakan-teriakan kernet yang memekakkan telinga memaksa orang memasuki busnya. Atau bunyi-bunyi klakson dari kendaraan yang terus saja meraung padahal semua orang yang tumpah ruah disitu tahu kalau sedang macet. Tapi di hari saya melakukan perjalanan itu ada hal yang membuat saya sedikit termenung. Ketika saya menanyakan apa yang harus saya kendarai dari daerah Kelapa Gading ke daerah Pluit, orang-orang yang saya tanyai menjawab saya dengan sangat sangat ramah. Begitu juga ketika di bus kota. Kernet akan melambatkan waktu berhenti-jalan bus ketika ada orang yang sudah sepuh hendak naik atau turun. Orang-orang akan rela menyerahkan tempat duduknya ke orang yang sudah sepuh agar orang yang sudah sepuh tersebut lebih nyaman mengendarai kendaraan yang sebenarnya tak lagi layak pakai ini. Jadi tidak hanya seperti yang kita lihat di salah satu iklan rokok yang berjargon 'Buktikan merahmu' saja. Sampai tahap ini, sisi individualis dari orang-orang Jakarta tidak terlihat. Mungkin saya memang sedang tidak bisa melihatnya.

Kedua. Masih berkaitan dengan paragraf di atas. Kenapa banyak orang-orang sepuh yang bepergian sendiri di kota seramai ini. Apakah memang mereka tidak mempunyai keluarga yang paling tidak bisa mengantarkan mereka bepergian memakai kendaraan umum yang jarang nyaman ini. Saya melihatnya sebagai salah satu hal yang tidak biasa. Kenapa tidak biasa, karena dari 2 kota yang saya tinggali (Madiun dan Bandung) kejadian orang sepuh 'berjalan-jalan' sendiri sangat jarang terjadi. Untuk negara dengan tingkat aksesibilitas bagi orang cacat dan lanjut usia sangat rendah seperti Indonesia ini, kejadian tersebut sangat memprihatinkan (minimal buat saya). Jika di negara Eropa sarana publik sangat memperhatikan faktor aksesibilitas untuk orang cacat dan lanjut usia, maka sangat wajar jika orang-orang cacat dan lanjut usia bepergian sendirian. Di samping karena orang-orangnya juga individualistis. Tapi di negara kita, yang sarana publiknya sangat 'sederhana' ini, yang asal ada tanpa memperhatikan penggunanya, yang masyarakatnya katanya kolektif, bagaimana bisa orang-orang lanjut usia dibiarkan bepergian sendirian. Aneh.

Karena sendirian, saya banyak merenung selama bepergian di tatar Sunda Kelapa itu. Hanya sesekali bercakap untuk memastikan saya tidak akan tersesat di kota sebesar ini. Dan dalam perenungan itu saya menemukan hal-hal baik yang ada di sekitar hal yang 'kurang baik'. Dan hal-hal 'kurang baik' yang bergumul dengan hal-hal baik. Sebenarnya saya ingin menuliskan hal lebih banyak lagi. Tapi cukuplah sampai disini cerita perjalanan saya di tatar Sunda Kelapa itu.

Friday, September 08, 2006

Apresiasi Sastra

Tak mau dicap sebagi sok nyastra memang, hanya ingin memberikan apresiasi pada karya sastra. Pertama kali melihat tulisan kuliah Apresiasi Sastra berikut nilai-nilai akhir peserta kuliah di salah satu sudut gedung di ITB, langsung berpikir " Wah ada juga ya kuliah kayak gini. Boleh juga nih dicoba."

Terus terang bukan karena nilai, walaupun katanya kuliah-kuliah dari Sostek (Sosioteknologi) ITB disebut kejar paket A karena mudah sekali mendapatkan nilai A. Murni karena rasa ingin tahu. Dan juga karena ingin meluaskan pandangan yang selama ini 'cuma' berkutat dengan perkuliahan Teknik Industri. Hanya itu.

Untuk ukuran mata kuliah 1 semester, kuliah ini sangat padat dalam artian banyak sekali bahan yang akan disampaikan. Meskipun tak akan sedalam bahan yang disampaikan kepada mahasiswa jurusan sastra, tapi cukuplah memberikan pengetahuan 'apa itu sastra' dan 'bagaimana menghargainya'.

Dan untuk mahasiswa yang senang berfilsafat, maka kuliah ini sedikit banyak akan cocok dengan jiwanya. Maka 2 kali pertemuan kuliah ini, kepala saya sangat pusing saat dosen membahas tentang Postmodernism dsb. Atau sekedar mengutip kata Aristoteles : Sastra adalah jalan menuju kebenaran setelah wahyu, filsafat dan ilmu pengetahuan. Pfuih.

Dan sebagai informasi saja, mata kuliah ini diadakan setiap hari Rabu jam 1 siang atau setelah kuliah Jurnalisme Sains dan Teknologi. Mata kuliah yang saya rekomendasikan buat teman-teman yang suka menulis. Lumayan rame meski banyak tugas.

Tuesday, August 29, 2006

Sebuah Fasilitas Publik Bernama ATM

Tengah malam, hampir dini hari, di pinggiran kampusku. Masih di area kampus, tepatnya di dekat pos satpam depan. Karena uang di dompet tinggal beberapa lembar, maka meskipun tengah malam buta saya menyambangi ATM sebuah bank yang dengan setia melayani saya sejak SMA. Sebuah bank yang katanya memiliki jaringan ATM terbanyak se-Indonesia.

Saya menggunakan logika sederhana. ATM ini ada di area kampus. Jumlah mahasiswa jauh lebih banyak daripada dosen, pegawai TU, satpam dan jenis profesi lain yang ada di kampus. Jadi dengan logika sederhana pula, berarti pengguna terbesar ATM ini adalah mahasiswa.

Tapi apa yang terjadi dengan ATM itu. Dengan asumsi bahwa ATM itu secara berkala di-maintenance dan dibersihkan, maka saya menilai ATM itu sangat kotor. Dan kemungkinan besar penyebab kekotoran itu adalah pengguna terbanyak dari ATM ini. Lihat saja, struk hasil penarikan uang berserakan dimana-mana padahal di dalam ATM itu disediakan keranjang sampah.

ATM adalah fasilitas publik. Dan karena fasilitas publik, maka ada hak-hak orang lain yang harus dipenuhi. Memang ATM yang kotor tidak akan langsung menyebabkan kerusakan syaraf atau mualnya perut. Tapi setiap orang yang memakai fasilitas tersebut berhak mendapatkan kenyamanan meski hanya berdurasi tidak lebih dari 5 menit.

Saya tidak akan berteriak-teriak lantang tentang kebersihan, kerapian dan sebagainya. Kamar pribadi saya memang tidak super bersih, super rapi tapi cukuplah untuk memelihara kesehatan pribadi. Tapi lain halnya dengan fasilitas publik. Setiap orang yang memakainya berhak mendapatkan kenyamanan, dan itu berarti pemakai lain mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Dan saya pikir tidak hanya kasus ATM tapi juga ruang tunggu, kamar mandi dsb. Saat pribadi-pribadi terlalu cuek dan hanya menggunakan fasilitas publik sesuai dengan kepentingannya maka selama itulah banyak hak orang lain atas fasilitas publik itu diabaikan.

Kembali lagi ke kasus ATM di kampus. Apakah pemakai ATM ini tidak punya cukup tenaga sekedar untuk melemparkan selembar kertas struk yang bobotnya bisa diabaikan itu ke dalam tempat sampah? Apakah intelektualitas pemakai ATM tidak berbanding lurus dengan kesadarannya untuk memperhatikan kebersihan yang notabene hak orang lain?
Aku pun tak tahu.

-Hanya sangat sebal dengan orang-orang yang tidak memperhatikan hak orang lain di fasilitas publik misal merokok (sebenarnya dimanapun tempatnya), berisik gak jelas, bau:p dan hal-hal lainnya-

Friday, August 25, 2006

Pelangi

Rumput belum kering benar saat aku duduk di atasnya. Padahal matahari sudah setinggi penggalah. Aku duduk di sampingnya. Dia duduk di sampingku. Ia memegang pensil kesukaannya dan memindahkan setiap detail bangunan yang ada di depan kami ke dalam kertasnya. Aku sesekali memandang lewat matanya. Matanya yang bulat, sangat luas menyimpan kedalaman cita-cita yang tak terperi.

"Aku ingin jadi relawan kemanusiaan di Afrika. Biarpun susah tapi aku ingin," katanya suatu saat.
"Aku ingin berkeliling Eropa. Bernyanyi, berpuisi, apapun yang aku bisa," katanya di saat yang lain.

Dan di balik kacamata minus 2 itulah, setiap kejujurannya tertumpah.

Matahari memang belum tinggi. Tapi sinarnya mampu memanaskan satu sisi bumi yang kebetulan terkena cahayanya. Aku sesekali mengusap keringat dengan lengan bajuku. Pun ia.

Aku menanyakan tentang kabar ayahnya yang sakit. Ia menjawab dengan tenang sambil tetap lincah menggoreskan sketsa-sketsa di atas kertas. Ayahnya masih sakit. Ayahnya harus melakukan cuci darah setiap 2 minggu.

Dia balik bertanya padaku. Menanyakan kabar kuliahku. Aku langsung menumpahkan semua isi kepalaku yang penuh sesak dengan kedongkolan. Semua tugas-tugas kuliah yang menyebalkan. Tak sedikitpun dibiarkannya aku bernapas barang sejenak. Aku muak. Belum lagi pekerjaan-pekerjaan lain yang hanya menyempitkan waktu tidurku.

Dia hanya tersenyum. Menghentikan gerak jarinya dan menatapku. Matanya yang bening, menyihir, membiusku untuk tenang. Bukankah bersama kesulitan selalu ada kemudahan, katanya. Aku menerawang. Aku berpikir. Tidak, aku sedang tidak berpikir. Pikirannnyalah yang masuk ke kepalaku. Ah memang ia selalu lebih bijak. Bukankah Tuhan menciptakan kesulitan untuk mendewasakan hambaNya, lanjutnya. Ah ia memang benar. Aku malu.

Ia berpaling lagi ke sketsanya. Sebentar mengubah posisi duduknya, lalu tenang kembali, melanjutkan gerak jarinya. Kami selalu bersama semenjak kecil. Bermain hujan bersama hingga pelangi saja yang tinggal terlukis di cakrawala. Berlarian menyusuri jalanan kampung, menerobos kebun tebu atau sekedar mencuri mangga yang bahkan belum matang. Kami masih kecil waktu itu, lugu tak mengenal dosa.

Aku bosan dengan dunia ini. Katanya tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Apa. Dia mengulangi perkataannya lagi. Aku bosan dunia ini. Dunia yang mana, tanyaku. Dunia kita, katanya. Kepalaku berdentang, berdenting, berdetik. Pikiranku kosong, kenapa ia menanyakan ini. Apakah tak ada cara lain untuk lebih dekat kepada Tuhan, lanjutnya. Hah. Pikiranku semakin kosong, terkuras. Aku tak mampu menjawab itu. Lidahku kelu, kaku, beku. Aku coba menjawab. Mungkin ada, kataku dengan sangat tidak yakin. Jawaban macam apa ini. Aku bahkan tidak mampu menjawab pertanyaannya. Aku malu lagi.

Ia kembali berpaling ke sketsanya. Mutiara air dari langit menyentuh bahuku. Gerimis hujan. Aku beranjak setelah aku sadar ia juga beranjak. Pikiranku masih kosong. Kami berteduh. Kami masih menghadap bangunan itu. Ia menambah garis-garis gerimis hujan di sketsanya. Ia melukiskan kesedihan di sketsnya. Matanya yang bulat, bening tapi wajahnya tirus. Ia sakit. Ia sakit seperti ayahnya sakit. Tapi ia tegar. Aku malu lagi.

Hujan berhenti dan ia pun berhenti menggambar. Dengan telunjuknya ia menunjuk satu sisi langit. Lihat itu pelangi, katanya. Aku tidak melihat pelangi itu dengan mataku, tapi aku melihat pelangi itu lewat matanya yang bening.

Bandung, 25 Aug 2006

Tuesday, August 15, 2006

Antrian Mahasiswa

Dg dg dg dg. Suara baling-baling helikopter memekik di udara.
"Baba. Tolong laporkan kondisi di bawah. Dari atas tampak kerumunan orang yang tidak biasa."
Sedangkan di bawah. Di antara kerumunan orang.
"Baik Dada. Akan coba saya laporkan situasi disini. Disini terdapat antrian."
"Antrian?"
"Ya, antrian mahasiswa."
"Kenapa mereka mengantri?"
"Mereka sedang melakukan pendaftaran ulang Da."
"Daftar ulang. Bukankah mereka seharusnya daftar ulang di gedung Annex? Bukankah yang di bawah itu gedung labtek?"
"Betul sekali Da. Disini ini gedung labtek. Dan mereka memang sedang mengantri untuk daftar ulang."
"Jurusan apa mereka?"
"Saya tidak begitu tahu, Da. Tapi saya kenal satu orang. Ia jurusan TI."
"Mmm. TI ya. Bukankah mereka seharusnya melakukan pendaftaran ulang online."
(Tidak perlu disebutkan, bagaimana ia tahu informasi itu)
"Iya betul, Da. Tapi mereka harus mengantri untuk mengambil KSMnya."
"Ooo begitu ya. Saya dengar meskipun mereka melakukan pendaftaran ulang online, mereka harus minta persetujuan dosen wali mereka. Dan itu tidak bisa dilakukan secara online."
"Sebentar, Da. Akan saya tanyakan kepada mereka."
Selang beberapa menit kemudian.
"Ooo itu betul, Da. Mereka harus bertemu dosen wali langsung. Sepertinya tidak ada bedanya dengan daftar ulang biasa alias yang tidak online."
"Lalu apa kelebihan daftar ulang online kalau begitu?"
"Mmm. Mungkin lebih gaya, Da. Meskipun mengantrinya sama panjang, tetapi disini lebih dingin dibandingkan di Annex. Terlebih ruang tunggunya yang ber-AC. Wuih dingin..."
"Baik, kalau begitu, Ba. Saya akan melanjutkan ke Annex. Sepertinya disana terdapat antrian juga."
Dg dg dg dg. Baling-baling masih memekik.
"Demikian pemirsa. Laporan langsung dari ITB tentang daftar ulang mahasiswa untuk semester baru. Tetap bersama kami, radio KITA. 109,9FM. Bersama melangkah menuju hari depan...."
Dg dg dg dg.
Seorang laki-laki tergopoh-gopoh keluar dari ruangan.
"Kenapa anda tampak tergesa-gesa?" tanya Baba pada laki-laki itu.
"Saya ingin minta tanda tangan lagi ke dosen wali."
"Bukankah anda telah mendapatkan KSM?"
"Ah tidak usah banyak tanya kamu..."
--------
Cerita ini hanya fiktif belaka. Kesamaan peristiwa (sepertinya) bukan hal yang disengaja.
Annex : gedung rektorat
Labtek : laboratorium teknik
TI : Teknik Industri
KSM : Kartu Studi Mahasiswa
AC : Air Conditioner ;p
ITB : Institut Teknologi Bandung
KITA : nama stasiun radionya

Thursday, August 10, 2006

Tak sabar menunggu : Edensor dan Maryamah Karpov

Edensor dan Maryamah Karpov. Dua judul terakhir yang direncanakan untuk melengkapi tetralogi Laskar Pelangi. Andrea Hirata. Jaminan yang besar bahwa kedua tulisannya ini akan mengikuti jejak dua pendahulunya. Paling tidak harapan pribadi saya yang membaca Laskar Pelangi dan Sang Pelangi secara berurutan. (Sedikit banyak berterimakasih pada insomnia saya yang memungkinkan saya membaca keduanya tanpa jeda). Meninggalkan keingintahuan yang besar tentang perjalanan hidup si Ikal. Dan mungkin jawaban atas keingintahuan itu sepertinya tidak bisa didapatkan dalam waktu dekat. Meskipun sang penulis mengaku sedang menulis kedua novel lanjutannya ini secara simultan, paling tidak butuh waktu beberapa bulan untuk mengeluarkan novel berikutnya dan tentu saja beberapa bulan lagi untuk novel berikutnya. Jarak penerbitan Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi saja sekitar 7 bulan.

Laskar Pelangi


11 orang anak Melayu Belitong 'menikmati' pendidikan di sekolah yang hampir rubuh. Toh mereka tak pernah mengeluh. Menikmati pendidikan di sebuah kawasan yang strata sosialnya sangat mencolok terlihat. DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK. Sebuah kalimat yang seperti mengekalkan jurang yang terbentang antara bangsawan pengeruk timah dengan rakyat jelata. Rakyat jelata yang seperti tikus kurus di lumbung padi. Meskipun demikian, bibir-bibit kejeniusan tumbuh di sekolah yang hampir rubuh itu. Tengok saja Lintang yang membabat habis soal lomba cerdas cermat untuk membungkam siswa sekolah bangsawan timah atau Mahar yang menciptakan sebuah art performance yang mampu mengungguli marching band dari --lagi-lagi-- sekolah bangsawan timah. Dan 9 karakter lain yang unik.

Melihat alam Belitong. Itu yang didapatkan ketika membaca novel ini. Deskripsi alam Belitong yang cerdas menggiring pembaca hingga serasa menjejakkan kaki di Belitong. Penulis bercerita dengan garis waktu yang sedikit banyak melompat-lompat. Dari satu peristiwa ke peristiwa lain yang kadang membuat pembaca tidak tahu persis kapan peristiwa itu terjadi. Tapi hal itu tak mengurangi kekuatan dari cerita : mimpi, perjuangan, ilmu dan -tentu saja- cinta. Sesekali anda akan tersenyum bahkan tertawa lebar. Dan beberapa bagian membuat anda sedih atau mungkin sekedar terenyuh.

Sang Pemimpi


Jika Laskar Pelangi menceritakan perjalanan Ikal dari kelas 1 SD sampai 3 SMP, maka Sang Pemimpi menghadirkan kehidupan remajanya. Ikal, Arai dan Jimbron. Kekuatan mimpi mereka mengalahkan kepenatan hasil kerja fisik mereka. Persahabatan unik antara Ikal, Arai dan Jimbron menghadirkan petualangan yang sangat lucu tapi kadang juga sangat menyentuh. Bertiga mereka melarikan diri dari kejaran sang guru galak atau hanya sekedar berguru ke seorang playboy cap dua cula untuk meluluhkan hati seorang gadis. Ikal dan Arai mengejar mimpinya hingga pulau Jawa. Rela mengerjakan apapun untuk mengejar mimpinya hingga sebuah surat dari pak Pos memberikan jawaban atas penantian mereka. Sebuah mozaik yang membuka kesempatan Ikal dan Area kuliah di Sorbone. "Kita akan sekolah ke Prancis, menjelajah Eropa sampai Afrika! Apapun yang terjadi."

Masih seperti Laskar Pelangi, dalam Sang Pemimpi, Andrea Hirata masih menunjukkan kekuatannya dalam mendeskripsikan latar, mengaduk-ngaduk emosi pembaca dan masih memakai penutur orang pertama. Sedikit dialog dan begitu banyak informasi yang tertumpah di antara tulisan-tulisannya. Sang Pemimpi tidak selucu dan sepadat Laskar Pelangi. Mungkin karena tokohya lebih sedikit dan mulai beranjak dewasa. Sebagai memoar perjalanan hidupnya Andrea Hirata menawarkan ilmu, semangat, integritas, keberanian bercita-cita dan ajakan untuk tidak pernah menyerah.

Di tengah derasnya serbuan teenlit dan chicklit serta cerita-cerita yang bertema pop lainnya ataupun sastra wangi yang mulai jenuh dan memerlukan penyegaran, Andrea Hirata menghadirkan bacaan yang menghibur sekaligus mencerahkan. Menghadirkan potret realita kehidupan masyarakat yang memang 'penting' untuk diangkat. Dan yang tak kalah penting lagi, ia adalah sastrawan lokal alias dalam negeri.

Jadi, apa yang akan ada dalam Edensor dan Maryamah Karpov? Masihkan sesegar dan seunik Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi? Kita tunggu saja.

Thursday, July 27, 2006

A box of chocolate

-Saya sangat menikmati kehidupan malam di Bandung-. Hehehe. Gak jelas. Tapi yang jelas saya menuliskan itu di papan di depan bapak-bapak ibu-ibu yang hampir semuanya manajer HRD. Habisnya ketika saya minta contoh satu kalimat untuk simulasi mereka, malah menyebutkan kalimat itu. Yo wis, karena mereka yang minta, ya saya tulis kalimat itu. Kalau tidak salah kalimat itu hasil celetukan seorang bapak-bapak manajer salah satu perusahaan komunikasi yang cukup besar di Indonesia dan anehnya semuanya langsung mengiyakan. Dan saya berhasil mengerjai mereka hehehe. Saya menyuruh mereka menulis kalimat itu sebanyak 30 kali di kertas dan karena di tengah jalan mereka mengeluh pegel kecapekan nulis makanya simulasi tulis-menulis berhenti ketika mereka berhasil menulis kalimat itu sebanyak 20 buah.

Ceritanya waktu itu lagi simulasi penghitungan waktu baku. Karena sang trainer aslinya lagi ada keperluan, makanya saya menjadi trainer jadi-jadian. Sang trainer aslinya titip pesan, nanti kalau pas simulasi nyari waktu baku cari aja kalimat yang lucu pasti mereka seneng, trus suruh mereka nulis beberapa kali buat nyari waktu siklusnya. Sang trainer asli sih bilangnya cukup 5 atau 10 kali. Karena nanggung saya bulatin aja 30 kali hehe.

Pas bawain simulasinya... Bla bla bla. Waktu siklus ke waktu normal. Waktu normal ke waktu baku. Dst dst. Mereka nanya buanyaakkk banget. Untungnya sedikit-sedikit bisa terjawab. Meskipun harus menggali memori yang sudah mulai menua ini. Apalagi pas nanya rumus-rumus. Pfuih. Akhirnya pas bagian ngitung beban kerja diambil alih kembali oleh sang trainer asli. Dan tugas saya pun selesai. Harusnya simulasi ini dibawain oleh Mbak Liva yang jago banget tentang masalah-masalah seperti ini. Tanya aja tentang TA beliau hehehe.

Kejadian-kejadian selama beberapa hari terakhir ini mengingatkan saya pada sebuah SMS yang dikirimkan teman saya 3 tahun yang lalu. Tulisannya persis seperti ini : Life is like a box of chocolate. U dunno what u gonna get next. Dan kalau saya boleh menambahkan : But we'll always get a sweet one. Dan hari-hari terakhir inilah saya banyak mendapatkan hal-hal aneh. Dari tugas-tugas tambah aneh dari sang bos alias dosen pembimbing yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan TA saya sampai dengan TA saya yang semakin aneh karena dosen pembimbing satunya lagi membuat saya semakin bingung.

Meskipun tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok, 1 jam lagi bahkan 1 detik lagi, saat kita yakin bahwa kita sedang berjalan di jalan yang tepat dengan tujuan yang benar, tidak ada alasan kita untuk ragu bahwa Allah akan menurunkan yang terbaik buat kita. Asal kita ikhlas menjalaninya. Semoga.

Wednesday, July 26, 2006

Layang-layang

"Lagi ngapain cah bagus?" sapa perempuan setengah baya itu kepada kami.
"Biasa Budhe. Lagi nungguin layangan," jawabku.
"Budhe duluan ya." Perempuan berkebaya itu berlalu sambil tersenyum.
"Monggo, Budhe," jawabku sembari sedikit menundukkan kepala.
Oiya aku lupa memperkenalkan diri. Sebut saja namaku Joko. Kami bertiga sedang melakukan pekerjaan rutin kami jika liburan sekolah tiba. Maklum di desa yang kecil ini tidak banyak hiburan yang bisa dicari begitu liburan tiba. Kami sedang mengamati layang-layang yang sedang beradu di langit desa kami.
"Eh, kamu lihat ndak layangan itu?" ujar temanku Sugeng sambil menunjuk 2 layang-layang sedang beradu.
"Iya. Memangnya kenapa?" tanyaku.
"Menurutmu yang bakalan menang yang mana?"
"Hmmm. Yang mana ya?" aku berpikir. "Kalau aku sih njagoin yang biru".
"Kayaknya kamu salah deh, Jok" ujar Sugeng memulai komentarnya. "Kamu tahu ndak siapa yang mainin layangan itu?"
"Si Wahyu," jawabku setengah ragu.
"Nah itu."
"Nah kenapa emange?"
"Kalau kamu belum tahu ya, nih sekarang tak kasih tahu," Sugeng kembali memulai komentarnya. Tidak tahu kenapa, muka Sugeng yang hitam kelam itu akan semakin hitam dan lucu ketika penyakit sok tahu akutnya itu kumat.
"Begini, Jok. Seumur hidup si Wahyu itu ngadu layangan dan belum pernah menang."
"Lha emange kenapa kalau belum pernah menang. Kali aja, pas ngadu ini dia menang." Aku tak mau kalah dengan komentar Sugeng.
"Nah itu dia Jok. Kalo bahasanya komentator-komentator bola di tipi. Dia ngono ndak punya mental juara atau tradisi kemenangan. Mau gludak-gluduk kayak apapun ndak bakalan bisa menang."
Halah. Si Sugeng ini ngomong apa tho.
"Tapi paling ndak dia kan tetep terus main layangan tho. Ndak peduli dia bakalan menang atau kalah, dia tetep ngadu," aku melanjutkan perlawananku.
"Iya, tapi dia bakalan tetep kalah tho," ujar Sugeng ngeyel.
"Belum tentu kan. Siapa tahu bisa menang. Daripada kamu yang ndak pernah mainin layangan itu. Lihat tuh, layanganmu sampai kucel ndak karuan gitu. Hehe," ledekku.
"Yo ben. Biarin." Pipi gembil Sugeng semakin tembem ketika ia merengut. Tambah lucu. Memang aneh si Sugeng ini. Seumur hidup membawa layang-layang kucel itu kemana-mana tapi seumur hidup juga belum pernah sekalipun mencoba menerbangkan layang-layang itu.

Siang ini sangat panas. Angin berputar-putar kecil, menerbangkan debu-debu jalan di depan pos kamling tempat kami melakukan pengamatan. Sesekali debu itu menyapa muka kami, menambah tebal lapisan debu yang sedari pagi menempel di muka kami.
"Hoalah. Kok ndak ada layangan yang putus tho. Kita sudah nganggur seharian gini." Akhirnya Heru angkat bicara juga.
"Mungkin, mainnya pada hati-hati Ru. Jadi ndak ada yang putus," jawab Sugeng.
"Lha mosok tho. Segitu banyak yang main layangan tapi ndak ada yang serius ngadunya."
"Kali aja benangnya kuat-kuat Ru. Lha wong kemarin mas Rudi yang tukang bikin senar gelasan itu ngomong sendiri ke aku kok. Kalo benang bikinannya makin lama makin kuat," jawabku.
"Ooo, ngono tho," jawab kedua temanku itu kompak.
"Tapi ndak mungkin Jok," Sugeng memulai argumennya. "Sekuat-kuatnya benang, kalau diadu makin lama ya pasti putus, Ndak mungkin bisa kuat terus."
"Wah, cerdas kamu Geng," jawabku mengiyakan daripada Sugeng meneruskan argumennya yang biasanya jarang pendek.
Tiba-tiba Heru bangkit dari tempat duduknya. Dia menuju ke sebuah pohon kelapa yang ada di samping pos kamling. Masih dengan diam, ia memanjat pohon kelapa sampai setengah pohon. Ia berhenti lalu mendongak ke atas.
"Ngapain tuh si Heru?" tanya Sugeng.
"Biasa. Jeniusnya lagi kumat," kataku sambil mengangkat bahu.
Kami terus memandangi Heru yang masih memeluk pohon kelapa itu dengan erat. Satu menit. Dua menit. Dia masih khusuk memeluk pohon kelapa itu. Ia mendongakkan kepala lagi, lalu pelan-pelan ia turun dari pohon itu dan menghampiri kami.
"Sebentar lagi bakalan ada layangan putus," kata Heru mendekati kami.
"Beneran?" tanya si Sugeng.
"Iya bener. Tuh layangan yang lagi diadu disana. Bentar lagi pasti ada yang kalah," kata Heru sambil menunjuk ke arah lapangan. "Siap-siap lari ke arah timur."
"Eh. Iya-iya," kami masih tercenung dengan penjelasan si Heru. Ia memang paling jago dalam prediksi kapan akan ada layang-layang yang putus dan kemana layang-layang putus itu akan terbang.
Kami memandangi layang-layang yang dimaksud Heru. Lama. Adu layang-layang masih terjadi dan tampaknya belum ada tanda-tanda layang-layang yang akan putus.
"Mana, Ru? Katanya bakal ada layangan yang putus. Tuh layangan ndak ada yang kalah-kalah," tanya Sugeng tidak sabar.
"Sst," Heru menempelkan telunjuk ke bibirnya. "Bentar lagi. Sabar aja. Orang sabar itu disayang Tuhan." Heru kembali diam dan melekatkan pandangannya ke arah layang-layang yang sedang beradu itu.
Tak lama kemudian.
"Hoe, layangannya putus," sorai kerumunan anak-anak yang sedari tadi menyesaki pinggir lapangan. Sesaat kemudian deru lari mereka meninggalkan debu-debu tanah kering.
"Ayo lari," komandoku.
"Lha, kita ndak bawa apa-apa?" tanya Sugeng sambil tergopoh-gopoh.
"Udah, ndak sempet lagi. Nanti layangannya keburu jauh," teriakku sambil berlari.
Kami pun berlari. Menyusul anak-anak lain yang telah lebih dahulu berlari. Aku kira ada sekitar 20 bahkan mungkin 30an anak yang ikut melakukan pengejaran layangan putus ini. Kadang aku pun tidak mengerti apa enaknya melakukan pengejaran layang-layang putus semacam ini. 1 layang-layang diperebutkan belasan bahkan puluhan orang. Tak jarang kaki ini harus menahan pegal tak terkira karena biasanya rute pengejaran sangat jauh ataupun baju kotor nan kumal akibat pergumulan dengan sesama pengejar untuk mendapatkan sebuah layang-layang. Iya, sebuah layang-layang. Layang-layang yang mungkin tidak utuh lagi saat dipegang oleh sang pemenang pengejaran. Mungkin hanya kepuasan yang didapatkan, tak lebih.
"Hoe, Ru. Kamu lari kemana?" tanyaku. Heru yang sedari tadi berlari paling depan di antara kami bertiga, tiba-tiba berbelok meninggalkan rombongan utama pengejaran.
"Bukannya belok kanan ya?" tanyaku sambil mengatur napas.
"Udahlah, ndak usah banyak nanya," timpal Sugeng. "Biasanya Heru selalu benar kalau nebak dimana layangan putus bakalan nyangkut."
Iya, layang-layang yang putus jarang sekali jatuh ke tanah. Layang-layang itu seringkali menyangkut di sesuatu. Bisa pohon, tiang listrik, atap rumah bahkan kawat jemuran. Dan orang yang dapat menebak dimana layang-layang itu akan menyangkut, biasanya ia akan keluar sebagai pemenang.
"Eh, bentar-bentar Ru," ujar Sugeng menghentikan derap lari kami bertiga.
"Ada apa?" tanya Heru.
"Serius ni, mau lewat sini?" kata Sugeng. "Ini kan kebunnya Pak Warto. Biasanya kalau ada orang yang masuk kebunnya, pasti dimarahi."
Tidak bergeming, Heru meneruskan kembali larinya. Dan itu membuat kami berdua terpaksa mengikutinya.
Belum lama kami berlari membelah kebun ini, aku mengenali sesosok wajah yang berdiri di bawah pohon pisang. Waduh. Itu pak Warto. Dengan refleks, kami mengubah lari kami menjadi gerakan jalan yang sangat kalem. Sambil membungkukkan badan, kami lewat di depan pak Warto sembari berkata," Nuwun sewu." Kami hanya bisa cengar-cengir menghadapi tatapan pak Warto yang mengikuti gerak langkah kami. Pfuih, horor.
Setelah cukup jauh meninggalkan pak Warto yang masih di bawah pohon pisang, kamipun berlari kembali.
Rintangan berikutnya adalah sawah.
"Ati-ati. Tanahnya empuk," kataku mengingatkan kedua temanku.
Cburrr. Separuh kaki kanan Sugeng masuk ke lumpur sawah.
"Hahahaha," aku dan Heru tak sanggup menahan tawa.
"Bantuin lah," teriak Sugeng.
Setelah menyelamatkan Sugeng dari lumpur sawah, kami berlari lagi mengikuti jejak layang-layang putus.
Aneh sekali. Anak-anak yang tadi ikut mengejar layang-layang itu seperti menghilang. Sepertinya hanya kami bertiga yang mengejar layang-layang itu.
Layang-layang itu tersangkut di pohon randu.
"Hosh....hosh..." suara nafas kami bertiga.
"Halah, pohon randu ini lagi," kata Sugeng lesu.
Pohon randu ini mempunyai reputasi yang sangat bagus. Dikenal sebagai pohon tertinggi di desa, entah kenapa, pohon ini seperti mempunyai magnet yang menarik layang-layang putus untuk menyangkut di rantingnya. Dan yang lebih aneh lagi, seperti kataku tadi, tidak ada satu pengejarpun yang kesini selain kami.
Mengetahui tidak ada lawan lagi dalam pengejaran ini, kamipun berisitirahat. Duduk beralaskan tanah, bersandar pada pohon randu ini.
"Geng, giliran kamu yang manjat ke atas," kataku pada Sugeng.
"Lho, kenapa aku?"
"Aku sama Heru kan udah kemarin. Jadi sekarang giliran kamu," balasku.
"Wah, ndak bisa gitu," Sugeng mendongak ke atas. "Tinggi banget. Kayaknya layangannya ndak bakalan bisa diambil."
"Belum dicoba kok bilang ndak bisa," timpalku.
"Mendingan aku pulang deh daripada manjat pohon buat ngambil layangan. Pasti ndak bisa," tegas Sugeng.
"Yah orang-orang yang kayak gini nih yang ndak bisa diajak maju," kataku. "Belum dicoba udah nyerah, belum jalan udah mundur duluan. Ndak inget kata pak haji kemarin. Kita itu ndak boleh bilang ndak bisa kalau belum dicoba. Cuma pengecut yang bilang mau mundur bahkan sebelum ia melangkah maju. Kita ndak mau tho dibilang pengecut."
"Iya sih Jok," kata Sugeng pelan. "Tapi aku tuh paling ndak bisa manjat. Jangankan manjat pohon randu. Lha wong manjat pohon jambu depan rumah aja ndak bisa hehehe."
"Ooo, gitu tho. Aku baru tahu. Yo wis, biar aku aja yang manjat."

Aku sudah ada di salah satu cabang pohon randu ini, tempat layang-layang tersangkut. Aku mengambil layang-layang itu dan menjatuhkan ke bawah. Kedua temanku itu telah bersiap di bawah. Sebelum turun, aku menyempatkan diri untuk melihat desaku dari ketinggian ini. Memang indah desaku, apalagi dilihat dari ketinggian.
Suara adzan Ashar khas mas Paimin mengiringiku menikmati keindahan desa dari ketinggian. Dan suara adzan inilah yang menjadi penanda kami bertiga untuk segera mengakhiri pekerjaan rutin liburan kami.
Aku meluncur ke bawah. Kami bertiga pulang. Akhir sebuah pengejaran.
"Hoe pren, jangan lupa. Besok stand by di pos kamling lagi ya."

Madiun, 5 Juli 2006

Wednesday, July 19, 2006

Anak Kecil

I am one
I am child
I’m the saint who marches in love
........
(Child - Nidji)

Anak kecil katanya sangat jujur. Anak kecil spontan berekspresi meskipun ekspresinya kadang-kadang menyakiti orang-orang yang ada di sekitarnya. Anak kecil katanya sangat peka. Anak kecil katanya bagai selembar kertas polos yang siap diwarnai. Anak kecil katanya seperti sepon yang menyerap segala sesuatu dengan cepat.

Anak kecil akan menjadi bintang. Saya, kakak saya, sepupu-sepupu saya yang sekarang telah kuliah bahkan bekerja pernah menjadi anak-anak kecil di keluarga besar kakek saya. Dan sekarang anak-anak kecil itu telah digantikan oleh sepupu-sepupu saya yang masih duduk di SD dan keponakan-keponakan saya yang masih kecil-kecil. Merekalah yang menjadi bintang sekarang. Hal itu terasa saat kemarin saya berkumpul dengan keluarga besar kakek. Di saat eyang putri, eyang kakung, pakpuh, bupuh, om dan bulik menanyakan perihal kapan lulus, mau kerja dimana, sudah punya calon apa belum dan sejenisnya, saya harus merelakan diri saya menjadi bahan olokan anak-anak kecil itu bahkan menjadi sasaran pukul setiap saat. Bergantian melayani obrolan antara anak kecil vs sesepuh-sepuh keluarga atau menggendong sepupu kecil saya yang centilnya minta ampun. Dan ajaibnya (itulah keajaiban yang kita dapatkan saat bersama anak kecil) saya melakukannya dengan baik-baik saja.

Itulah anak kecil. Kita bisa belajar banyak hal dari anak kecil meskipun masing-masing kita pernah menjadi anak kecil. Mengapa kita sabar bahkan terkadang sangat sabar menghadapi polah tingkah anak kecil. Mengapa kita bertutur dengan sangat sopan dan terkadang menggunakan bahasa mereka saat berbicara dengan mereka. Mengapa kita mati-matian berbuat apa saja hanya untuk melihat sebulir senyum di bibir mereka ataupun hanya karena tidak tega melihat air mata yang mulai tampak di sudut mata mereka. Mengapa hal-hal itu kadang sulit kita lakukan kepada orang dewasa.

Bandung, 19 Juli 2006

Tuesday, July 18, 2006

Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken


Judul : Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken
Penulis : Jostein Gaarder & Klaus Hagerup
Penerjemah : Ridwana Saleh
Penyunting : Andityas Prabantoro
Penerbit : Mizan Pustaka
Cetakan : I, Mei 2006
Tebal : 294 hlm
Harga : Rp, 32.500,-





Buku yang berjudul asli Bibbi Bokkens Magische Bibliothek (1993) ini merupakan novel karya Jostein Gaarder, penulis berkebangsaan Norwegia. Novel yang konon katanya diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh Mizan ini belum pernah diterbitkan dalam bahasa Inggris. Tidak tahu apakah bahasa asli dari novel ini bahasa Jerman atau bukan. Tapi yang jelas bahasa Norwegia masih satu rumpun dengan bahasa Jerman (Wikipedia).

Mungkin berbeda dengan novel karya Gaarder yang lain. Jika novel semacam Sophie World, Orange Girl, The Solitaire Mystery dll menekankan perenungan hidup, maka novel ini lebih bersifat petualangan, pemecahan teka-teki dan sejenisnya. Warna tulisan Gaarder masih terlihat jelas pada novelnya ini meskipun ia bertandem dengan Klaus Hagerup, seorang penulis fiksi remaja dan anak berkebangsaan Norwegia juga. Novel yang cukup pendek (untuk ukuran sebuah novel) ini padat dengan pengetahuan. Jadi meski novelnya tidak begitu tebal tetapi novel ini cukup 'berat'. Meskipun berat tetapi novel ini cukup menghibur.

Anda akan menemukan petualangan dua orang bersaudara, Berit dan Nils Boyum yang tinggal di kota berbeda, Oslo dan Fjaerland - Norwegia. Mereka saling mengirimkan buku surat yang menceritakan pengalaman mereka dengan Bibbi Bokken dan beberapa tokoh lain yang seakan berhubungan untuk mendapatkan buku surat mereka. Dari petualangan yang mereka tuliskan di buku surat sampai kaki mereka benar-benar menginjak perpustakaan ajaib Bibbi Bokken. Cerita yang berbau konspiratif ini tidak mudah untuk ditebak jalan ceritanya (minimal buat saya) bahkan ketika sampai pada lembar-lembar halaman terakhir.

Cerita yang dituturkan Gaarder ini dikemas dalam format yang unik. Terdiri dari 2 bagian. Bagian pertama bernama Buku Surat dan bagian kedua bernama Perpustakaan. Cerita ini ditulis dalam sudut pandang orang pertama 'Aku'. Tetapi yang unik ada dua 'Aku' dalam cerita ini. 'Aku' milik Berit dan satu lagi milik Nils. Sehingga dibutuhkan konsentrasi yang lebih ketika membaca buku ini.

Anda akan disuguhi keajaiban dunia yang disusun oleh 26 huruf. Anda akan dijejali dengan berbagai pengetahuan yang berhubungan dengan dunia buku. Dan buat anda, para pencinta buku, novel ini sangat cocok untuk dibaca. Anda akan semakin mencintai buku-buku yang anda miliki (dan yang berhasil anda pinjam :p) setelah membaca cerita ini. Percayalah :).

Seperti komentar yang tertera pada sampul buku:
-Buku terbaik mengenai buku dan budaya baca yang ada saat ini-

Bandung, 18 Juli 2006

Wednesday, July 12, 2006

Selamat buat Ian dan Hasna

Aku turun melewati tangga ini. Aku melihat seorang ibu setengah baya, seorang pemuda yang membawa tas belanjaan dan seorang perempuan berjilbab yang menggandeng tangan pemuda itu. Aku pun tersenyum. Itu temanku, ibunya dan tentu saja istrinya. Aku menggaruk-garuk kepala tidak gatal. Iri. Mereka baru menikah sebulan yang lalu. Aku menghampiri mereka. Bersalaman dengan ibunya, temanku itu dan hanya bersalaman jarak jauh dengan istrinya hehe.

Buat Ian dan Hasna, selamat ya. Maaf kemarin ndak bisa datang pas akad. Biasa sok sibuk:D.

Wednesday, June 28, 2006

Ketinggalan Kereta

Ada yang pernah baca tulisan yang bunyinya seperti ini?
"Kalau kau ingin tahu arti 1 tahun, tanyakan kepada murid yang tidak naik kelas...." dst dst
Pokoknya intinya seperti itu.
Dan saya juga punya tulisan sendiri semacam itu.
"Kalau kau ingin tahu arti 10 menit, tanyakan kepada sopir angkot S*dang S*rang C*ringin yang seenak hati ngetem di Balubur, depan Rektorat alias Annex, Unisba, BEC & Gramedia dst dst.
Kalau kau ingin tahu arti 10 menit, tanyakan seberapa besar dendamku ke sopir angkot s****n itu karena membuatku tertinggal kereta api eksekutif"

Tulisan di atas mewakili awal kisah perjalanan aneh saya ke Surabaya. Perjalanan Bandung-Surabaya dengan membawa misi tertentu hanya dilewati dalam 2 malam 1 hari alias bermalam di kendaraan alias pagi sampai Surabaya, sore balik lagi ke Bandung. Perjalanan yang mirip ketika dulu saya ke Jogja dan dengan komentar yang hampir sama juga "Nggak capek tuh?". Saya cuma bisa membatin, "Iya sih capek, tapi gimana lagi."

Diawali dengan ketinggalan kereta eksekutif. Waktu itu mulai panik. Akhirnya naik kereta apa saja asal ke arah timur dan berangkat lebih dari jam 18.45. Pokoknya berangkat malam itu juga, gak peduli. Alhamdulillah akhirnya sampai juga di Surabaya meski telat beberapa jam. Setelah menyelesaikan semua urusan di Surabaya, saya langsung ke stasiun. Karena masih penasaran dengan sebuah kereta eksekutif yang bernama Turangga, maka saya memesan tiket kereta itu untuk balik ke Bandung. Karena tidak ingin ketinggalan kereta lagi, saya stand by di stasiun beberapa jam sebelum keberangkatan. Lagipula saya juga tidak tahu mesti kemana lagi. Berputar-putar di sekitar stasiun mencari sebuah makhluk bernama Kue Lapis tapi tidak ketemu. Ya sudah, akhirnya duduk manis di ruang tunggu sambil menikmati udara panas kota Surabaya.

Yang membuat saya lebih menyesal lagi ketinggalan kereta itu adalah setelah tahu fasilitas yang disediakan oleh kereta yang bernama Turangga itu. Makan malam, kursi empuk^ ^, toilet yang cukup bersih, AC, bantal, selimut dan yang paling penting adalah bebas asap rokok. "Yah hitung2 beramal buat PT. KA yang hampir .....," kata teman saya setelah tahu saya ketinggalan kereta itu. Hehehe. Bener gitu bang Trian :p.

Tuesday, June 20, 2006

Kupu-kupu


Aku menguyah makanan yang ada di mulutku sambil berjalan kecil.
"Adek. Makannya jangan sambil jalan donk. Kan nggak baik," kata Bundaku.
Aku berhenti sebentar lalu berjalan kembali sambil tetap menguyah makanan yang ada di mulutku.
"Bunda, aku mau lihat kupu-kupu itu," kataku sambil mengarahkan telunjukku ke arah makhluk bersayap itu.
"Boleh," kata Bundaku dengan sangat sabar.
"Bunda. Aku tidak bisa menangkapnya," ujarku setengah sedih.
"Mungkin adek harus mengejarnya."
Aku segera mempercepat langkahku, setengah berlari, mengejar kupu-kupu itu. Kupu-kupu itu berbalik arah menuju ke bundaku. Aku tetap mengejarnya.
"Tidak bisa, Bunda," teriakku setengah kesal.
"Tanganmu kurang tinggi meraih kupu-kupu itu. Coba kau angkat tanganmu setinggi-tingginya. Sampai kau bisa menyentuh kupu-kupu itu."
Aku masih berlari. Aku berusaha merentangkan tangan sepanjang-panjangnya, berusaha menggapai kupu-kupu itu. Tapi tetap tidak bisa.
"Ah, tidak bisa, Bunda."
"Apa mau Bunda bantu menangkapnya?" bundaku bertanya.
"Ah, nggak usah bunda. Aku ingin menangkapnya sendiri. Kan nggak seru jadinya."
"Ya udah."
Beberapa menit aku mengejarnya. Tapi tetap saja tidak bisa.
"Adek kesini dulu," kata Bundaku.
Aku yang hampir menyerah, menuruti kata-kata bundaku dan untuk sementara menghentikan pengejaran.
"Adek, makannya dihabiskan dulu," ucap Bundaku dengan sangat lembut.
"Nanti kalau makanannya dihabiskan, adek akan cepet gedhe. Adik akan setinggi Bunda dan bisa menangkap kupu-kupu itu."
"Gitu ya Bunda?" tanyaku memastikan.
"Iya."
Lalu Bundaku menyuapkan sesendok makanan ke mulutku. Dan aku tersenyum sambil memandangi kupu-kupu yang terbang lincah mengitari kami.

Contre-jour


Kontras. Beda. Kadang itu yang sering kita butuhkan dalam hidup ini. Pernah mendengar daerah abu-abu? Daerah yang bukan hitam, tapi putihpun bukan. Daerah peleburan antara dua hal yang sebetulnya berbeda. Gradasi warna menyebabkan kita tidak merasakan perbedaan yang jelas antara keduanya. Mata kita terlalu terpana dengan kelembutan halus yang berubah pelan antara hitam dan putih.

Dunia tidak seperti bilangan biner dimana nol dan satu dapat dibedakan dengan sangat jelas. Dunia seperti sebuah palet dimana setiap warna bisa tumpah ruah di atasnya, bercampur dengan warna yang lain dan meninggalkan jejak warna murninya. Warna yang terkadang menjadi sangat indah tetapi sering juga menipu.

Beruntunglah orang-orang yang bisa membedakan berbagai macam warna yang berbaur di kanvas dunia ini. Beruntunglah orang-orang yang mampu memilah satu warna dari jutaan warna yang lain dan mencerap warna yang benar-benar baik baginya dan murni. Beruntunglah orang-orang yang dikelilingi oleh orang-orang yang mampu menyaring dan menyuling setetes tinta menjadi setetes air murni yang menyegarkan. Beruntunglah orang-orang yang mempunyai warna yang tegas dan mampu mewarnai yang lain dengan kemurnian warnanya itu.

Ah, andai dunia ini hanya hitam dan putih. Tapi tidak.....

Tidak semudah itu menciptakan kontras yang kuat antara hitam dan putih, terang dan gelap.

Saturday, June 17, 2006

Cuma butuh istirahat

Mungkin tidak penting, tapi saya hanya mau berbagi ;p.

Kemarin, saya memecahkan sebuah rekor yang nggak penting. Pertama kali ke dokter selama kuliah 4 tahun di ITB dan pertama kali ke dokter sendirian alias nggak ada yang nemenin. Terakhir ke dokter, seingat saya 4 tahun yang lalu dan masih ditemani ibuku tersayang hehehe. Entah kenapa saya sangat malas berhubungan dengan obat, dokter, rumah sakit dan sejenisnya.

Berawal dari rasa penasaran terhadap sakit yang misterius, saya memutuskan untuk cek darah. Pikir saya, sekalian saja cek darah biar ketahuan kalo ada sakit yang aneh-aneh.

"Mbak mo cek darah."
"Cek darah apa mas?"
"Widal gitu? Ada ya mbak?" jawabku sangat tidak yakin sambil ngelihatin mbaknya. Abis mbaknya 'lucu' sih. Haha :D gak penting.
"Sekalian trombositnya?"
"Emm. Ya deh. Biar skalian."
"Emang udah berapa lama ngerasa sakitnya?"
"Ya, sebulanan lah mbak."
"Ha, sebulan." Saya cuma bisa tersenyum.
Pasti bukan mbak ini yang bakalan ngambil sampel darahnya. Eh ternyata salah. Mbak ini juga yang ngambil sampel darah. Akhirnya lengan baju dilipat sampai abis, lengan atas diikat sama karet (persis kayak orang mo ngobat) trus darah diambil pake jarum suntik. Lumayan ngilu dan bekas suntiknya masih ada sampai sekarang.

Nunggu seperempat jam buat tahu hasil tes darahnya.
"Gimana mbak?"
"Trombositnya normal. Tipus juga nggak ada. Tapi ini mungkin yang nyebabin demam, " sambil nunjukin angka di hasil cek darah yang sama sekali saya tidak tahu artinya apa. Alhamdulillah.
"Jadi gimana mbak?"
"Mendingan mas sekarang ke dokter. Nanti dokternya pasti tahu kok ngasih obat apa."
"Oh gitu ya mbak. Ya udah mbak. Makasih."
"Cepet sembuh ya mas."
"Eh ya mbak. Makasih."

Berikutnya ke dokter rekomendasi seorang teman.
"Sakit apa?"
Sedikit blablabla tentang maag dan demam trus nunjukin hasil cek darah.
Singkat kata setelah diperiksa dokternya bilang, cuma butuh istirahat.
"Udah sholat mas?". Waktu itu sedang maghrib.
"Belum dok."
"Ya udah sholat dulu saja. Biar saya ambil obatnya dulu."
Setelah sholat.
"Jadi beneran gak papa ya, dok?" memastikan.
"Iya. Cuma butuh istirahat. Ini obat maagnya diminum 3 kali sehari. Trus obat ini kalo demam saja."
"Terima kasih dok."
"Cepet sembuh ya. Syafakallah," kata dokternya.
Ziiing. Hampir saja mau saya balas dengan ucapan jazakallah (lha wong seharusnya jazakillah) tapi gak jadi. Langsung aja cabut dengan sebelumnya bilang "Makasih banyak Dok". Wah bisa malu nih kalo salah jawab hehe.

Setelah semua kejadian itu saya hanya bisa senyum-senyum sendiri. Mungkin seperti anak kecil yang rewel kalo harus ke dokter tetapi lega setelah tahu kalo dokter itu bukan seperti seorang nenek sihir yang suka makan anak kecil. Hahaha benar-benar gak penting. Paling tidak saya mempunyai perspektif baru tentang obat (yang dikasih dokter), dokter, rumah sakit (dan dokternya) dan hal-hal sejenis (pokoknya yang berhubungan dengan dokter). Btw, emang dokter itu kebanyakan baik dan 'lucu' ya???hehehe.

----------------------------------
Syafakallah : semoga Allah menyembuhkanmu
Jazakallah (untuk perempuan jazakillah) : semoga Allah membalas kebaikanmu

Sunday, June 11, 2006

Selaksa Makna Lagi dari Pangeran Kecil

Entah berapa kali membaca buku Little Prince karangan Antoine de Saint Exupery dan setiap membacanya pasti menemukan sesuatu yang baru dari cerita yang ditulisnya itu. Mungkin benar bahwa di dalam cerita itu bertebaran begitu banyak teka-teki yang mungkin tidak bisa langsung dipahami dalam sekali baca. Mungkin itulah yang terjadi pada saya. Saat pertama kali membaca, kesan yang timbul cuma 'ooh, begitu ya ceritanya'. Begitu membaca kali kedua, ketiga, keempat dan seterusnya semakin banyak hal baru yang berhasil ditangkap. Mungkin seperti mendapat jawaban dari teka-teki yang ada. Mungkin juga hanya rasa 'sok tahu' yang muncul dari saya, seorang pembaca yang masih bego.

Tetapi melihat latar belakang penulis, saya mulai sedikit banyak mengerti 'makna' di balik cerita yang ia tulis. Di cerita yang menurut seorang teman saya cukup menjelek-jelekkan orang dewasa itu, saya cukup banyak menangkap pesan yang coba ia sampaikan lewat novel ini.

Satu hal yang sangat saya rasakan dan begitu mengena ketika terakhir kali saya baca dan ketika mencoba browsing ke Wikipedia, ternyata Wikipedia merasakan hal yang sama hehehe. Saya mencoba mengutip tulisan tentang Little Prince dari Wikipedia (yang bahasa Inggris lebih ngena soalnya :D) :
"On ne voit bien qu'avec le cœur, l'essentiel est invisible pour les yeux" (You only see rightly with the heart, what matters is invisible to the eyes)
"You become responsible, forever, for what you have tamed"
"It is the time you have wasted for your rose that makes your rose so important".
Tiga kalimat itu diucapkan oleh rubah saat bertemu dengan Pangeran kecil. Tentang maknanya mungkin semua orang akan merasakan hal yang berbeda meskipun mirip.

Aku mungkin sama seperti ribuan rubah yang lain dan mungkin kau seperti ribuan anak kecil yang lain. Tetapi jika kau menjinakkan aku, maka kau akan menjadi unik bagiku. Mungkin seperti itulah yang diucapkan rubah kepada Pangeran Kecil (tentu saja redaksinya tidak persis sama). Satu lagi yang dirasakan Pangeran Kecil. Saat pertama kali melihat ribuan mawar di taman, ia melihat bahwa ribuan mawar itu sama dengan mawarnya yang ada di planet tempat asalnya. Tetapi setelah beberapa lama, ia menyadari bahwa mawar yang ia punyai itu tidak sama dengan mawar lain yang ada di manapun. Intinya, mawar yang ia miliki adalah unik, baginya.

Saat mencoba memasuki kehidupan orang lain lebih dalam, maka bersiap-siaplah untuk terluka lebih dalam juga saat kehilangannya. Paling tidak itulah yang pernah saya rasakan saat kehilangan seseorang yang begitu berarti bagi saya. Tapi saya rasa ada harga yang pantas untuk tiap sesuatu. Begitu juga saat kita mencoba memasuki kehidupan orang lain lebih dalam. Mungkin tidak perlu jauh-jauh berbicara. Mungkin mulai dari keluarga kita masing-masing.

Dulu saya dekat sekali dengan ayah saya (kata ibu saya, dulu pas masih muda, mirip banget dengan saya). Setiap kali mendapat marah dari ibu, selalu lari ke ayah yang notabene sangat sabar. Sangat sabar juga saat menghadapi kemarahan ibu versus kenakalan saya. Yang jelas saya sangat kehilangan beliau ketika beliau tidak lagi merasakan sakit dalam usia yang masih relatif muda. I miss u dad.

Pernah juga menangis karena 'kehilangan' seorang sahabat dekat. Cukup dekat, karena itu sangat sakit.

Tapi saya rasa jangan terlalu memikirkan rasa sakit yang timbul karena perpisahan. Karena perpisahan adalah sesuatu yang pasti terjadi. Anda hanya perlu menyiapkan hati. Nikmati saja saat-saat bersama orang yang anda 'jinakkan' atau bersama orang-orang yang 'menjinakkan' anda (Maaf kalau bahasa yang dipakai terkesan tidak baik, agak sulit mencari terjemahan kata 'tame' yang enak dibaca). Nikmati saja dunia anda yang semakin berwarna dengan dunia orang-orang yang ada di sekitar anda. Cerap setiap keindahan yang bertebaran di sekitar anda dan anda akan semakin indah. Selamat menjinakkan ^ ^.

Monday, June 05, 2006

Petuah Liburan

Saat melewati sebuah liburan, tak lengkap rasanya jikalau tidak berbagi atau bercerita. Seperti dulu saat SD barangkali. Tak terlalu banyak yang diceritakan mungkin, tapi saya rasa ada beberapa yang bisa dibagi.

Kemarin, tepatnya hari sabtu-minggu (3-4 Juni) keluarga besar lab kami mengadakan liburan bersama ke Ciwidey. Sebuah liburan yang tidak terlalu mewah barangkali, tetapi cukup berkesan bagi saya.

Banyak 'petuah' yang berhasil saya tangkap selama liburan lab kemarin, baik yang jelas terdengar oleh saya (tersurat) maupun yang tersirat (alias sok2an narik hikmah or something dari sesuatu yang saya lihat, dengar dan rasakan ;p).

Petuah pertama. Yang ini tersurat, berasal dari Pak Ifti, dosen lab saya, saat membuka acara liburan dan makan siang. Seperti biasa, petuah beliaulah yang selalu ditunggu setiap acara lab kami. Intinya adalah 'kalian harus meningkatkan kapabilitas kalian, terutama penguasaan bahasa asing'. Boleh jadi sekarang ITB menjadi the best university in Indonesia, tetapi melihat perkembangan universitas-universitas lain terutama universitas swasta bukan tidak mungkin ITB tidak lagi menjadi 'the best' tetapi 'among the best'. Mendengar petuah Pak Ifti itu rasanya ingin garuk-garuk kepala. Terutama yang bagian bahasa asing alias bahasa Inggris. Teringat dulu saat wawancara dengan Pak Ifti waktu rekruitmen asisten lab. Saat itu harus berpikir keras saat harus mem-bahasainggris-kan 'SD alias Sekolah Dasar'. Tidak tahu kenapa, waktu itu otak serasa kosong. Dan dengan muka polos waktu itu hanya menjawab "Yes, it is, Sir", saat Pak Ifti mengucapkan Elementary School. Lumayan malu sih tapi untungnya tetep lolos jadi asisten hehe.

Petuah kedua. Yang ini juga tersurat. Masih dari Pak Ifti, saat kami mengunjungi beliau di cottage-nya pagi-pagi. Diawali dari sebuah pertanyaan, kenapa perkebunan teh ini bisa bertahan sampai sekarang. Mungkin sudah lebih dari 150 tahun sejak Belanda pertama kali membuka perkebunan ini yang mungkin sebelumnya adalah hutan, sama seperti hutan yang mengelilingi perkebunan teh ini sekarang. Jawabannya adalah riset. Belanda saat itu melakukan riset tentang kondisi tanah, curah hujan, suhu, ketinggian dsb sebelum memutuskan membuka kebun teh di daerah itu. Dan buktinya sampai sekarang, riset itu berhasil dan kebun teh itu tetap ada sampai sekarang. Sesaat terbersit kekaguman akan riset yang dilakukan oleh Belanda yang notabene saat itu masih berlabel 'penjajah'. Sesaat berikutnya, dzig, tertohok. ITB yang notabene salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia, yang setiap tahunnya menghasilkan ratusan penelitian, tetapi (katanya) tidak lebih dari 10 persen hasil penelitian tersebut teraplikasikan. Hiks, semoga hasil TA saya nantinya berguna bagi masyarakat. Yah, kalo tidak untuk masyarakat umum paling tidak berguna untuk pihak industri (mode pembenaran on ;p).

Petuah ketiga. Yang ini tersirat. Berasal dari sebuah insiden saat kami dalam perjalanan pulang ke Bandung. Jangan pernah melawan batu dengan batu. Jika anda ingin melawan kekerasan dengan kekerasan anda mungkin saja menang, tetapi pasti anda akan merasa sakit. Saat melakukan negosiasi atau musyawarah pastikan kedua belah pihak telah dapat menerima hasil yang disepakati dengan lapang dada, tanpa ganjalan apa-apa. Itulah kenapa saya kemarin turun kembali dari mobil meskipun kesepakatan telah tercapai karena saya tahu orang 'utama' dari insiden itu yang tidak ikut mengambil kesepakatan, pasti masih dongkol. Dan penilaian saya benar. Orang tersebut belum sepenuhnya menerima. Meskipun pada akhirnya menerima kesepakatan setelah hampir saja terjadi 'benturan' antar kubu. (Sory prend, kalo kemarin ada yang sampai luka).

Petuah ketiga (plus). Kalau anda ada dalam proses negosiasi yang berkemungkinan akan terjadi 'clash' maka siapkan beberapa hal. Mental, agar tetap tenang dan berpikir sehat selama proses negosiasi serta tentu saja keberanian. Refleks, untuk menghindari pukulan (atau apapunjenis serangan) dari pihak 'lawan'. Terakhir fisik, kalau terpaksa perkelahian tidak bisa dihindari. Minimal untuk mempertahankan diri. Tapi saya rasa fisik+skill. Paling tidak anda bisa mengelak atau menangkis saat diserang. Atau memukul, menendang saat anda perlu menyerang. Tapi perkelahian memang bukan pilihan yang baik. Satu petuah lagi. Jangan ngebut di jalan, terutama di jalan yang naik-turun dan berkelok. Kalo anda ngebut pastikan bahwa anda ber-skill dan mampu menanggung risiko (minimal kerusakan kendaraan dan fisik anda). Kalau anda tidak berskill dan tetap nekat untuk ngebut, yah (ini bener2 syarat minimal) anda harus tetap bisa mempertahankan laju motor anda (hanya berlaku untuk jenis kendaraan: motor) agar tidak sampai masuk selokan meskipun anda menabrak dan mematahkan spion mobil yang sedang melaju. Tapi hal ini benar-benar tidak disarankan. Please don't try this at street.

That's all. Semoga petuah-petuah liburan di atas dapat berguna bagi pembaca. Selamat berlibur. ^ ^

Monday, May 29, 2006

Jogja

Pagi ini aku terbangun dengan sebuah guncangan di tempat tidurku. Setengah sadar aku mendengar ibuku berkata, "Ada gempa. Mungkin Merapi meletus," dalam bahasa Jawa. Guncangan berikutnya, mungkin sekitar jam 10, tapi aku tak yakin, aku baru benar-benar tersadar. Beberapa saat kemudian aku baru tahu kalau memang telah terjadi gempa, di Jogja pusatnya, tapi terasa sampai Madiun, bukan dari Merapi tapi gempa tektonik.

Aku tidak dilahirkan di Jogja, tidak dibesarkan di Jogja, pun tidak pernah mengenyam pendidikan di kota pelajar itu. Tapi ada beberapa hal yang melekat di hatiku tentang Jogja ini. Baru pagi kemarin aku sholat Shubuh di musholla stasiun Lempuyangan, saat perjalanannku pulang ke Madiun. Baru beberapa minggu yang lalu aku berputar-putar, menyusuri jalanan kota itu. Dan tadi aku menyaksikan lewat kotak kaca, beberapa bangunan Kraton rubuh, aku tak tahu pasti.

Beberapa orang yang ada di Jogja atau mempunyai keluarga di Jogja, yang berhasil aku hubungi, semuanya mengabarkan jikalau mereka dan keluarga mereka baik-baik saja. Aku hanya bisa berdoa....


Dan sekali lagi kita diingatkan akan kebesaranNya. Sekali lagi kita diingatkan akan kekuatanNya. Semoga kita semua dikuatkan oleh Sang Maha Kuat.

Madiun, 27 Mei 2006