Thursday, July 27, 2006

A box of chocolate

-Saya sangat menikmati kehidupan malam di Bandung-. Hehehe. Gak jelas. Tapi yang jelas saya menuliskan itu di papan di depan bapak-bapak ibu-ibu yang hampir semuanya manajer HRD. Habisnya ketika saya minta contoh satu kalimat untuk simulasi mereka, malah menyebutkan kalimat itu. Yo wis, karena mereka yang minta, ya saya tulis kalimat itu. Kalau tidak salah kalimat itu hasil celetukan seorang bapak-bapak manajer salah satu perusahaan komunikasi yang cukup besar di Indonesia dan anehnya semuanya langsung mengiyakan. Dan saya berhasil mengerjai mereka hehehe. Saya menyuruh mereka menulis kalimat itu sebanyak 30 kali di kertas dan karena di tengah jalan mereka mengeluh pegel kecapekan nulis makanya simulasi tulis-menulis berhenti ketika mereka berhasil menulis kalimat itu sebanyak 20 buah.

Ceritanya waktu itu lagi simulasi penghitungan waktu baku. Karena sang trainer aslinya lagi ada keperluan, makanya saya menjadi trainer jadi-jadian. Sang trainer aslinya titip pesan, nanti kalau pas simulasi nyari waktu baku cari aja kalimat yang lucu pasti mereka seneng, trus suruh mereka nulis beberapa kali buat nyari waktu siklusnya. Sang trainer asli sih bilangnya cukup 5 atau 10 kali. Karena nanggung saya bulatin aja 30 kali hehe.

Pas bawain simulasinya... Bla bla bla. Waktu siklus ke waktu normal. Waktu normal ke waktu baku. Dst dst. Mereka nanya buanyaakkk banget. Untungnya sedikit-sedikit bisa terjawab. Meskipun harus menggali memori yang sudah mulai menua ini. Apalagi pas nanya rumus-rumus. Pfuih. Akhirnya pas bagian ngitung beban kerja diambil alih kembali oleh sang trainer asli. Dan tugas saya pun selesai. Harusnya simulasi ini dibawain oleh Mbak Liva yang jago banget tentang masalah-masalah seperti ini. Tanya aja tentang TA beliau hehehe.

Kejadian-kejadian selama beberapa hari terakhir ini mengingatkan saya pada sebuah SMS yang dikirimkan teman saya 3 tahun yang lalu. Tulisannya persis seperti ini : Life is like a box of chocolate. U dunno what u gonna get next. Dan kalau saya boleh menambahkan : But we'll always get a sweet one. Dan hari-hari terakhir inilah saya banyak mendapatkan hal-hal aneh. Dari tugas-tugas tambah aneh dari sang bos alias dosen pembimbing yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan TA saya sampai dengan TA saya yang semakin aneh karena dosen pembimbing satunya lagi membuat saya semakin bingung.

Meskipun tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok, 1 jam lagi bahkan 1 detik lagi, saat kita yakin bahwa kita sedang berjalan di jalan yang tepat dengan tujuan yang benar, tidak ada alasan kita untuk ragu bahwa Allah akan menurunkan yang terbaik buat kita. Asal kita ikhlas menjalaninya. Semoga.

Wednesday, July 26, 2006

Layang-layang

"Lagi ngapain cah bagus?" sapa perempuan setengah baya itu kepada kami.
"Biasa Budhe. Lagi nungguin layangan," jawabku.
"Budhe duluan ya." Perempuan berkebaya itu berlalu sambil tersenyum.
"Monggo, Budhe," jawabku sembari sedikit menundukkan kepala.
Oiya aku lupa memperkenalkan diri. Sebut saja namaku Joko. Kami bertiga sedang melakukan pekerjaan rutin kami jika liburan sekolah tiba. Maklum di desa yang kecil ini tidak banyak hiburan yang bisa dicari begitu liburan tiba. Kami sedang mengamati layang-layang yang sedang beradu di langit desa kami.
"Eh, kamu lihat ndak layangan itu?" ujar temanku Sugeng sambil menunjuk 2 layang-layang sedang beradu.
"Iya. Memangnya kenapa?" tanyaku.
"Menurutmu yang bakalan menang yang mana?"
"Hmmm. Yang mana ya?" aku berpikir. "Kalau aku sih njagoin yang biru".
"Kayaknya kamu salah deh, Jok" ujar Sugeng memulai komentarnya. "Kamu tahu ndak siapa yang mainin layangan itu?"
"Si Wahyu," jawabku setengah ragu.
"Nah itu."
"Nah kenapa emange?"
"Kalau kamu belum tahu ya, nih sekarang tak kasih tahu," Sugeng kembali memulai komentarnya. Tidak tahu kenapa, muka Sugeng yang hitam kelam itu akan semakin hitam dan lucu ketika penyakit sok tahu akutnya itu kumat.
"Begini, Jok. Seumur hidup si Wahyu itu ngadu layangan dan belum pernah menang."
"Lha emange kenapa kalau belum pernah menang. Kali aja, pas ngadu ini dia menang." Aku tak mau kalah dengan komentar Sugeng.
"Nah itu dia Jok. Kalo bahasanya komentator-komentator bola di tipi. Dia ngono ndak punya mental juara atau tradisi kemenangan. Mau gludak-gluduk kayak apapun ndak bakalan bisa menang."
Halah. Si Sugeng ini ngomong apa tho.
"Tapi paling ndak dia kan tetep terus main layangan tho. Ndak peduli dia bakalan menang atau kalah, dia tetep ngadu," aku melanjutkan perlawananku.
"Iya, tapi dia bakalan tetep kalah tho," ujar Sugeng ngeyel.
"Belum tentu kan. Siapa tahu bisa menang. Daripada kamu yang ndak pernah mainin layangan itu. Lihat tuh, layanganmu sampai kucel ndak karuan gitu. Hehe," ledekku.
"Yo ben. Biarin." Pipi gembil Sugeng semakin tembem ketika ia merengut. Tambah lucu. Memang aneh si Sugeng ini. Seumur hidup membawa layang-layang kucel itu kemana-mana tapi seumur hidup juga belum pernah sekalipun mencoba menerbangkan layang-layang itu.

Siang ini sangat panas. Angin berputar-putar kecil, menerbangkan debu-debu jalan di depan pos kamling tempat kami melakukan pengamatan. Sesekali debu itu menyapa muka kami, menambah tebal lapisan debu yang sedari pagi menempel di muka kami.
"Hoalah. Kok ndak ada layangan yang putus tho. Kita sudah nganggur seharian gini." Akhirnya Heru angkat bicara juga.
"Mungkin, mainnya pada hati-hati Ru. Jadi ndak ada yang putus," jawab Sugeng.
"Lha mosok tho. Segitu banyak yang main layangan tapi ndak ada yang serius ngadunya."
"Kali aja benangnya kuat-kuat Ru. Lha wong kemarin mas Rudi yang tukang bikin senar gelasan itu ngomong sendiri ke aku kok. Kalo benang bikinannya makin lama makin kuat," jawabku.
"Ooo, ngono tho," jawab kedua temanku itu kompak.
"Tapi ndak mungkin Jok," Sugeng memulai argumennya. "Sekuat-kuatnya benang, kalau diadu makin lama ya pasti putus, Ndak mungkin bisa kuat terus."
"Wah, cerdas kamu Geng," jawabku mengiyakan daripada Sugeng meneruskan argumennya yang biasanya jarang pendek.
Tiba-tiba Heru bangkit dari tempat duduknya. Dia menuju ke sebuah pohon kelapa yang ada di samping pos kamling. Masih dengan diam, ia memanjat pohon kelapa sampai setengah pohon. Ia berhenti lalu mendongak ke atas.
"Ngapain tuh si Heru?" tanya Sugeng.
"Biasa. Jeniusnya lagi kumat," kataku sambil mengangkat bahu.
Kami terus memandangi Heru yang masih memeluk pohon kelapa itu dengan erat. Satu menit. Dua menit. Dia masih khusuk memeluk pohon kelapa itu. Ia mendongakkan kepala lagi, lalu pelan-pelan ia turun dari pohon itu dan menghampiri kami.
"Sebentar lagi bakalan ada layangan putus," kata Heru mendekati kami.
"Beneran?" tanya si Sugeng.
"Iya bener. Tuh layangan yang lagi diadu disana. Bentar lagi pasti ada yang kalah," kata Heru sambil menunjuk ke arah lapangan. "Siap-siap lari ke arah timur."
"Eh. Iya-iya," kami masih tercenung dengan penjelasan si Heru. Ia memang paling jago dalam prediksi kapan akan ada layang-layang yang putus dan kemana layang-layang putus itu akan terbang.
Kami memandangi layang-layang yang dimaksud Heru. Lama. Adu layang-layang masih terjadi dan tampaknya belum ada tanda-tanda layang-layang yang akan putus.
"Mana, Ru? Katanya bakal ada layangan yang putus. Tuh layangan ndak ada yang kalah-kalah," tanya Sugeng tidak sabar.
"Sst," Heru menempelkan telunjuk ke bibirnya. "Bentar lagi. Sabar aja. Orang sabar itu disayang Tuhan." Heru kembali diam dan melekatkan pandangannya ke arah layang-layang yang sedang beradu itu.
Tak lama kemudian.
"Hoe, layangannya putus," sorai kerumunan anak-anak yang sedari tadi menyesaki pinggir lapangan. Sesaat kemudian deru lari mereka meninggalkan debu-debu tanah kering.
"Ayo lari," komandoku.
"Lha, kita ndak bawa apa-apa?" tanya Sugeng sambil tergopoh-gopoh.
"Udah, ndak sempet lagi. Nanti layangannya keburu jauh," teriakku sambil berlari.
Kami pun berlari. Menyusul anak-anak lain yang telah lebih dahulu berlari. Aku kira ada sekitar 20 bahkan mungkin 30an anak yang ikut melakukan pengejaran layangan putus ini. Kadang aku pun tidak mengerti apa enaknya melakukan pengejaran layang-layang putus semacam ini. 1 layang-layang diperebutkan belasan bahkan puluhan orang. Tak jarang kaki ini harus menahan pegal tak terkira karena biasanya rute pengejaran sangat jauh ataupun baju kotor nan kumal akibat pergumulan dengan sesama pengejar untuk mendapatkan sebuah layang-layang. Iya, sebuah layang-layang. Layang-layang yang mungkin tidak utuh lagi saat dipegang oleh sang pemenang pengejaran. Mungkin hanya kepuasan yang didapatkan, tak lebih.
"Hoe, Ru. Kamu lari kemana?" tanyaku. Heru yang sedari tadi berlari paling depan di antara kami bertiga, tiba-tiba berbelok meninggalkan rombongan utama pengejaran.
"Bukannya belok kanan ya?" tanyaku sambil mengatur napas.
"Udahlah, ndak usah banyak nanya," timpal Sugeng. "Biasanya Heru selalu benar kalau nebak dimana layangan putus bakalan nyangkut."
Iya, layang-layang yang putus jarang sekali jatuh ke tanah. Layang-layang itu seringkali menyangkut di sesuatu. Bisa pohon, tiang listrik, atap rumah bahkan kawat jemuran. Dan orang yang dapat menebak dimana layang-layang itu akan menyangkut, biasanya ia akan keluar sebagai pemenang.
"Eh, bentar-bentar Ru," ujar Sugeng menghentikan derap lari kami bertiga.
"Ada apa?" tanya Heru.
"Serius ni, mau lewat sini?" kata Sugeng. "Ini kan kebunnya Pak Warto. Biasanya kalau ada orang yang masuk kebunnya, pasti dimarahi."
Tidak bergeming, Heru meneruskan kembali larinya. Dan itu membuat kami berdua terpaksa mengikutinya.
Belum lama kami berlari membelah kebun ini, aku mengenali sesosok wajah yang berdiri di bawah pohon pisang. Waduh. Itu pak Warto. Dengan refleks, kami mengubah lari kami menjadi gerakan jalan yang sangat kalem. Sambil membungkukkan badan, kami lewat di depan pak Warto sembari berkata," Nuwun sewu." Kami hanya bisa cengar-cengir menghadapi tatapan pak Warto yang mengikuti gerak langkah kami. Pfuih, horor.
Setelah cukup jauh meninggalkan pak Warto yang masih di bawah pohon pisang, kamipun berlari kembali.
Rintangan berikutnya adalah sawah.
"Ati-ati. Tanahnya empuk," kataku mengingatkan kedua temanku.
Cburrr. Separuh kaki kanan Sugeng masuk ke lumpur sawah.
"Hahahaha," aku dan Heru tak sanggup menahan tawa.
"Bantuin lah," teriak Sugeng.
Setelah menyelamatkan Sugeng dari lumpur sawah, kami berlari lagi mengikuti jejak layang-layang putus.
Aneh sekali. Anak-anak yang tadi ikut mengejar layang-layang itu seperti menghilang. Sepertinya hanya kami bertiga yang mengejar layang-layang itu.
Layang-layang itu tersangkut di pohon randu.
"Hosh....hosh..." suara nafas kami bertiga.
"Halah, pohon randu ini lagi," kata Sugeng lesu.
Pohon randu ini mempunyai reputasi yang sangat bagus. Dikenal sebagai pohon tertinggi di desa, entah kenapa, pohon ini seperti mempunyai magnet yang menarik layang-layang putus untuk menyangkut di rantingnya. Dan yang lebih aneh lagi, seperti kataku tadi, tidak ada satu pengejarpun yang kesini selain kami.
Mengetahui tidak ada lawan lagi dalam pengejaran ini, kamipun berisitirahat. Duduk beralaskan tanah, bersandar pada pohon randu ini.
"Geng, giliran kamu yang manjat ke atas," kataku pada Sugeng.
"Lho, kenapa aku?"
"Aku sama Heru kan udah kemarin. Jadi sekarang giliran kamu," balasku.
"Wah, ndak bisa gitu," Sugeng mendongak ke atas. "Tinggi banget. Kayaknya layangannya ndak bakalan bisa diambil."
"Belum dicoba kok bilang ndak bisa," timpalku.
"Mendingan aku pulang deh daripada manjat pohon buat ngambil layangan. Pasti ndak bisa," tegas Sugeng.
"Yah orang-orang yang kayak gini nih yang ndak bisa diajak maju," kataku. "Belum dicoba udah nyerah, belum jalan udah mundur duluan. Ndak inget kata pak haji kemarin. Kita itu ndak boleh bilang ndak bisa kalau belum dicoba. Cuma pengecut yang bilang mau mundur bahkan sebelum ia melangkah maju. Kita ndak mau tho dibilang pengecut."
"Iya sih Jok," kata Sugeng pelan. "Tapi aku tuh paling ndak bisa manjat. Jangankan manjat pohon randu. Lha wong manjat pohon jambu depan rumah aja ndak bisa hehehe."
"Ooo, gitu tho. Aku baru tahu. Yo wis, biar aku aja yang manjat."

Aku sudah ada di salah satu cabang pohon randu ini, tempat layang-layang tersangkut. Aku mengambil layang-layang itu dan menjatuhkan ke bawah. Kedua temanku itu telah bersiap di bawah. Sebelum turun, aku menyempatkan diri untuk melihat desaku dari ketinggian ini. Memang indah desaku, apalagi dilihat dari ketinggian.
Suara adzan Ashar khas mas Paimin mengiringiku menikmati keindahan desa dari ketinggian. Dan suara adzan inilah yang menjadi penanda kami bertiga untuk segera mengakhiri pekerjaan rutin liburan kami.
Aku meluncur ke bawah. Kami bertiga pulang. Akhir sebuah pengejaran.
"Hoe pren, jangan lupa. Besok stand by di pos kamling lagi ya."

Madiun, 5 Juli 2006

Wednesday, July 19, 2006

Anak Kecil

I am one
I am child
I’m the saint who marches in love
........
(Child - Nidji)

Anak kecil katanya sangat jujur. Anak kecil spontan berekspresi meskipun ekspresinya kadang-kadang menyakiti orang-orang yang ada di sekitarnya. Anak kecil katanya sangat peka. Anak kecil katanya bagai selembar kertas polos yang siap diwarnai. Anak kecil katanya seperti sepon yang menyerap segala sesuatu dengan cepat.

Anak kecil akan menjadi bintang. Saya, kakak saya, sepupu-sepupu saya yang sekarang telah kuliah bahkan bekerja pernah menjadi anak-anak kecil di keluarga besar kakek saya. Dan sekarang anak-anak kecil itu telah digantikan oleh sepupu-sepupu saya yang masih duduk di SD dan keponakan-keponakan saya yang masih kecil-kecil. Merekalah yang menjadi bintang sekarang. Hal itu terasa saat kemarin saya berkumpul dengan keluarga besar kakek. Di saat eyang putri, eyang kakung, pakpuh, bupuh, om dan bulik menanyakan perihal kapan lulus, mau kerja dimana, sudah punya calon apa belum dan sejenisnya, saya harus merelakan diri saya menjadi bahan olokan anak-anak kecil itu bahkan menjadi sasaran pukul setiap saat. Bergantian melayani obrolan antara anak kecil vs sesepuh-sepuh keluarga atau menggendong sepupu kecil saya yang centilnya minta ampun. Dan ajaibnya (itulah keajaiban yang kita dapatkan saat bersama anak kecil) saya melakukannya dengan baik-baik saja.

Itulah anak kecil. Kita bisa belajar banyak hal dari anak kecil meskipun masing-masing kita pernah menjadi anak kecil. Mengapa kita sabar bahkan terkadang sangat sabar menghadapi polah tingkah anak kecil. Mengapa kita bertutur dengan sangat sopan dan terkadang menggunakan bahasa mereka saat berbicara dengan mereka. Mengapa kita mati-matian berbuat apa saja hanya untuk melihat sebulir senyum di bibir mereka ataupun hanya karena tidak tega melihat air mata yang mulai tampak di sudut mata mereka. Mengapa hal-hal itu kadang sulit kita lakukan kepada orang dewasa.

Bandung, 19 Juli 2006

Tuesday, July 18, 2006

Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken


Judul : Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken
Penulis : Jostein Gaarder & Klaus Hagerup
Penerjemah : Ridwana Saleh
Penyunting : Andityas Prabantoro
Penerbit : Mizan Pustaka
Cetakan : I, Mei 2006
Tebal : 294 hlm
Harga : Rp, 32.500,-





Buku yang berjudul asli Bibbi Bokkens Magische Bibliothek (1993) ini merupakan novel karya Jostein Gaarder, penulis berkebangsaan Norwegia. Novel yang konon katanya diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh Mizan ini belum pernah diterbitkan dalam bahasa Inggris. Tidak tahu apakah bahasa asli dari novel ini bahasa Jerman atau bukan. Tapi yang jelas bahasa Norwegia masih satu rumpun dengan bahasa Jerman (Wikipedia).

Mungkin berbeda dengan novel karya Gaarder yang lain. Jika novel semacam Sophie World, Orange Girl, The Solitaire Mystery dll menekankan perenungan hidup, maka novel ini lebih bersifat petualangan, pemecahan teka-teki dan sejenisnya. Warna tulisan Gaarder masih terlihat jelas pada novelnya ini meskipun ia bertandem dengan Klaus Hagerup, seorang penulis fiksi remaja dan anak berkebangsaan Norwegia juga. Novel yang cukup pendek (untuk ukuran sebuah novel) ini padat dengan pengetahuan. Jadi meski novelnya tidak begitu tebal tetapi novel ini cukup 'berat'. Meskipun berat tetapi novel ini cukup menghibur.

Anda akan menemukan petualangan dua orang bersaudara, Berit dan Nils Boyum yang tinggal di kota berbeda, Oslo dan Fjaerland - Norwegia. Mereka saling mengirimkan buku surat yang menceritakan pengalaman mereka dengan Bibbi Bokken dan beberapa tokoh lain yang seakan berhubungan untuk mendapatkan buku surat mereka. Dari petualangan yang mereka tuliskan di buku surat sampai kaki mereka benar-benar menginjak perpustakaan ajaib Bibbi Bokken. Cerita yang berbau konspiratif ini tidak mudah untuk ditebak jalan ceritanya (minimal buat saya) bahkan ketika sampai pada lembar-lembar halaman terakhir.

Cerita yang dituturkan Gaarder ini dikemas dalam format yang unik. Terdiri dari 2 bagian. Bagian pertama bernama Buku Surat dan bagian kedua bernama Perpustakaan. Cerita ini ditulis dalam sudut pandang orang pertama 'Aku'. Tetapi yang unik ada dua 'Aku' dalam cerita ini. 'Aku' milik Berit dan satu lagi milik Nils. Sehingga dibutuhkan konsentrasi yang lebih ketika membaca buku ini.

Anda akan disuguhi keajaiban dunia yang disusun oleh 26 huruf. Anda akan dijejali dengan berbagai pengetahuan yang berhubungan dengan dunia buku. Dan buat anda, para pencinta buku, novel ini sangat cocok untuk dibaca. Anda akan semakin mencintai buku-buku yang anda miliki (dan yang berhasil anda pinjam :p) setelah membaca cerita ini. Percayalah :).

Seperti komentar yang tertera pada sampul buku:
-Buku terbaik mengenai buku dan budaya baca yang ada saat ini-

Bandung, 18 Juli 2006

Wednesday, July 12, 2006

Selamat buat Ian dan Hasna

Aku turun melewati tangga ini. Aku melihat seorang ibu setengah baya, seorang pemuda yang membawa tas belanjaan dan seorang perempuan berjilbab yang menggandeng tangan pemuda itu. Aku pun tersenyum. Itu temanku, ibunya dan tentu saja istrinya. Aku menggaruk-garuk kepala tidak gatal. Iri. Mereka baru menikah sebulan yang lalu. Aku menghampiri mereka. Bersalaman dengan ibunya, temanku itu dan hanya bersalaman jarak jauh dengan istrinya hehe.

Buat Ian dan Hasna, selamat ya. Maaf kemarin ndak bisa datang pas akad. Biasa sok sibuk:D.