Tuesday, August 29, 2006

Sebuah Fasilitas Publik Bernama ATM

Tengah malam, hampir dini hari, di pinggiran kampusku. Masih di area kampus, tepatnya di dekat pos satpam depan. Karena uang di dompet tinggal beberapa lembar, maka meskipun tengah malam buta saya menyambangi ATM sebuah bank yang dengan setia melayani saya sejak SMA. Sebuah bank yang katanya memiliki jaringan ATM terbanyak se-Indonesia.

Saya menggunakan logika sederhana. ATM ini ada di area kampus. Jumlah mahasiswa jauh lebih banyak daripada dosen, pegawai TU, satpam dan jenis profesi lain yang ada di kampus. Jadi dengan logika sederhana pula, berarti pengguna terbesar ATM ini adalah mahasiswa.

Tapi apa yang terjadi dengan ATM itu. Dengan asumsi bahwa ATM itu secara berkala di-maintenance dan dibersihkan, maka saya menilai ATM itu sangat kotor. Dan kemungkinan besar penyebab kekotoran itu adalah pengguna terbanyak dari ATM ini. Lihat saja, struk hasil penarikan uang berserakan dimana-mana padahal di dalam ATM itu disediakan keranjang sampah.

ATM adalah fasilitas publik. Dan karena fasilitas publik, maka ada hak-hak orang lain yang harus dipenuhi. Memang ATM yang kotor tidak akan langsung menyebabkan kerusakan syaraf atau mualnya perut. Tapi setiap orang yang memakai fasilitas tersebut berhak mendapatkan kenyamanan meski hanya berdurasi tidak lebih dari 5 menit.

Saya tidak akan berteriak-teriak lantang tentang kebersihan, kerapian dan sebagainya. Kamar pribadi saya memang tidak super bersih, super rapi tapi cukuplah untuk memelihara kesehatan pribadi. Tapi lain halnya dengan fasilitas publik. Setiap orang yang memakainya berhak mendapatkan kenyamanan, dan itu berarti pemakai lain mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Dan saya pikir tidak hanya kasus ATM tapi juga ruang tunggu, kamar mandi dsb. Saat pribadi-pribadi terlalu cuek dan hanya menggunakan fasilitas publik sesuai dengan kepentingannya maka selama itulah banyak hak orang lain atas fasilitas publik itu diabaikan.

Kembali lagi ke kasus ATM di kampus. Apakah pemakai ATM ini tidak punya cukup tenaga sekedar untuk melemparkan selembar kertas struk yang bobotnya bisa diabaikan itu ke dalam tempat sampah? Apakah intelektualitas pemakai ATM tidak berbanding lurus dengan kesadarannya untuk memperhatikan kebersihan yang notabene hak orang lain?
Aku pun tak tahu.

-Hanya sangat sebal dengan orang-orang yang tidak memperhatikan hak orang lain di fasilitas publik misal merokok (sebenarnya dimanapun tempatnya), berisik gak jelas, bau:p dan hal-hal lainnya-

Friday, August 25, 2006

Pelangi

Rumput belum kering benar saat aku duduk di atasnya. Padahal matahari sudah setinggi penggalah. Aku duduk di sampingnya. Dia duduk di sampingku. Ia memegang pensil kesukaannya dan memindahkan setiap detail bangunan yang ada di depan kami ke dalam kertasnya. Aku sesekali memandang lewat matanya. Matanya yang bulat, sangat luas menyimpan kedalaman cita-cita yang tak terperi.

"Aku ingin jadi relawan kemanusiaan di Afrika. Biarpun susah tapi aku ingin," katanya suatu saat.
"Aku ingin berkeliling Eropa. Bernyanyi, berpuisi, apapun yang aku bisa," katanya di saat yang lain.

Dan di balik kacamata minus 2 itulah, setiap kejujurannya tertumpah.

Matahari memang belum tinggi. Tapi sinarnya mampu memanaskan satu sisi bumi yang kebetulan terkena cahayanya. Aku sesekali mengusap keringat dengan lengan bajuku. Pun ia.

Aku menanyakan tentang kabar ayahnya yang sakit. Ia menjawab dengan tenang sambil tetap lincah menggoreskan sketsa-sketsa di atas kertas. Ayahnya masih sakit. Ayahnya harus melakukan cuci darah setiap 2 minggu.

Dia balik bertanya padaku. Menanyakan kabar kuliahku. Aku langsung menumpahkan semua isi kepalaku yang penuh sesak dengan kedongkolan. Semua tugas-tugas kuliah yang menyebalkan. Tak sedikitpun dibiarkannya aku bernapas barang sejenak. Aku muak. Belum lagi pekerjaan-pekerjaan lain yang hanya menyempitkan waktu tidurku.

Dia hanya tersenyum. Menghentikan gerak jarinya dan menatapku. Matanya yang bening, menyihir, membiusku untuk tenang. Bukankah bersama kesulitan selalu ada kemudahan, katanya. Aku menerawang. Aku berpikir. Tidak, aku sedang tidak berpikir. Pikirannnyalah yang masuk ke kepalaku. Ah memang ia selalu lebih bijak. Bukankah Tuhan menciptakan kesulitan untuk mendewasakan hambaNya, lanjutnya. Ah ia memang benar. Aku malu.

Ia berpaling lagi ke sketsanya. Sebentar mengubah posisi duduknya, lalu tenang kembali, melanjutkan gerak jarinya. Kami selalu bersama semenjak kecil. Bermain hujan bersama hingga pelangi saja yang tinggal terlukis di cakrawala. Berlarian menyusuri jalanan kampung, menerobos kebun tebu atau sekedar mencuri mangga yang bahkan belum matang. Kami masih kecil waktu itu, lugu tak mengenal dosa.

Aku bosan dengan dunia ini. Katanya tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Apa. Dia mengulangi perkataannya lagi. Aku bosan dunia ini. Dunia yang mana, tanyaku. Dunia kita, katanya. Kepalaku berdentang, berdenting, berdetik. Pikiranku kosong, kenapa ia menanyakan ini. Apakah tak ada cara lain untuk lebih dekat kepada Tuhan, lanjutnya. Hah. Pikiranku semakin kosong, terkuras. Aku tak mampu menjawab itu. Lidahku kelu, kaku, beku. Aku coba menjawab. Mungkin ada, kataku dengan sangat tidak yakin. Jawaban macam apa ini. Aku bahkan tidak mampu menjawab pertanyaannya. Aku malu lagi.

Ia kembali berpaling ke sketsanya. Mutiara air dari langit menyentuh bahuku. Gerimis hujan. Aku beranjak setelah aku sadar ia juga beranjak. Pikiranku masih kosong. Kami berteduh. Kami masih menghadap bangunan itu. Ia menambah garis-garis gerimis hujan di sketsanya. Ia melukiskan kesedihan di sketsnya. Matanya yang bulat, bening tapi wajahnya tirus. Ia sakit. Ia sakit seperti ayahnya sakit. Tapi ia tegar. Aku malu lagi.

Hujan berhenti dan ia pun berhenti menggambar. Dengan telunjuknya ia menunjuk satu sisi langit. Lihat itu pelangi, katanya. Aku tidak melihat pelangi itu dengan mataku, tapi aku melihat pelangi itu lewat matanya yang bening.

Bandung, 25 Aug 2006

Tuesday, August 15, 2006

Antrian Mahasiswa

Dg dg dg dg. Suara baling-baling helikopter memekik di udara.
"Baba. Tolong laporkan kondisi di bawah. Dari atas tampak kerumunan orang yang tidak biasa."
Sedangkan di bawah. Di antara kerumunan orang.
"Baik Dada. Akan coba saya laporkan situasi disini. Disini terdapat antrian."
"Antrian?"
"Ya, antrian mahasiswa."
"Kenapa mereka mengantri?"
"Mereka sedang melakukan pendaftaran ulang Da."
"Daftar ulang. Bukankah mereka seharusnya daftar ulang di gedung Annex? Bukankah yang di bawah itu gedung labtek?"
"Betul sekali Da. Disini ini gedung labtek. Dan mereka memang sedang mengantri untuk daftar ulang."
"Jurusan apa mereka?"
"Saya tidak begitu tahu, Da. Tapi saya kenal satu orang. Ia jurusan TI."
"Mmm. TI ya. Bukankah mereka seharusnya melakukan pendaftaran ulang online."
(Tidak perlu disebutkan, bagaimana ia tahu informasi itu)
"Iya betul, Da. Tapi mereka harus mengantri untuk mengambil KSMnya."
"Ooo begitu ya. Saya dengar meskipun mereka melakukan pendaftaran ulang online, mereka harus minta persetujuan dosen wali mereka. Dan itu tidak bisa dilakukan secara online."
"Sebentar, Da. Akan saya tanyakan kepada mereka."
Selang beberapa menit kemudian.
"Ooo itu betul, Da. Mereka harus bertemu dosen wali langsung. Sepertinya tidak ada bedanya dengan daftar ulang biasa alias yang tidak online."
"Lalu apa kelebihan daftar ulang online kalau begitu?"
"Mmm. Mungkin lebih gaya, Da. Meskipun mengantrinya sama panjang, tetapi disini lebih dingin dibandingkan di Annex. Terlebih ruang tunggunya yang ber-AC. Wuih dingin..."
"Baik, kalau begitu, Ba. Saya akan melanjutkan ke Annex. Sepertinya disana terdapat antrian juga."
Dg dg dg dg. Baling-baling masih memekik.
"Demikian pemirsa. Laporan langsung dari ITB tentang daftar ulang mahasiswa untuk semester baru. Tetap bersama kami, radio KITA. 109,9FM. Bersama melangkah menuju hari depan...."
Dg dg dg dg.
Seorang laki-laki tergopoh-gopoh keluar dari ruangan.
"Kenapa anda tampak tergesa-gesa?" tanya Baba pada laki-laki itu.
"Saya ingin minta tanda tangan lagi ke dosen wali."
"Bukankah anda telah mendapatkan KSM?"
"Ah tidak usah banyak tanya kamu..."
--------
Cerita ini hanya fiktif belaka. Kesamaan peristiwa (sepertinya) bukan hal yang disengaja.
Annex : gedung rektorat
Labtek : laboratorium teknik
TI : Teknik Industri
KSM : Kartu Studi Mahasiswa
AC : Air Conditioner ;p
ITB : Institut Teknologi Bandung
KITA : nama stasiun radionya

Thursday, August 10, 2006

Tak sabar menunggu : Edensor dan Maryamah Karpov

Edensor dan Maryamah Karpov. Dua judul terakhir yang direncanakan untuk melengkapi tetralogi Laskar Pelangi. Andrea Hirata. Jaminan yang besar bahwa kedua tulisannya ini akan mengikuti jejak dua pendahulunya. Paling tidak harapan pribadi saya yang membaca Laskar Pelangi dan Sang Pelangi secara berurutan. (Sedikit banyak berterimakasih pada insomnia saya yang memungkinkan saya membaca keduanya tanpa jeda). Meninggalkan keingintahuan yang besar tentang perjalanan hidup si Ikal. Dan mungkin jawaban atas keingintahuan itu sepertinya tidak bisa didapatkan dalam waktu dekat. Meskipun sang penulis mengaku sedang menulis kedua novel lanjutannya ini secara simultan, paling tidak butuh waktu beberapa bulan untuk mengeluarkan novel berikutnya dan tentu saja beberapa bulan lagi untuk novel berikutnya. Jarak penerbitan Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi saja sekitar 7 bulan.

Laskar Pelangi


11 orang anak Melayu Belitong 'menikmati' pendidikan di sekolah yang hampir rubuh. Toh mereka tak pernah mengeluh. Menikmati pendidikan di sebuah kawasan yang strata sosialnya sangat mencolok terlihat. DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK. Sebuah kalimat yang seperti mengekalkan jurang yang terbentang antara bangsawan pengeruk timah dengan rakyat jelata. Rakyat jelata yang seperti tikus kurus di lumbung padi. Meskipun demikian, bibir-bibit kejeniusan tumbuh di sekolah yang hampir rubuh itu. Tengok saja Lintang yang membabat habis soal lomba cerdas cermat untuk membungkam siswa sekolah bangsawan timah atau Mahar yang menciptakan sebuah art performance yang mampu mengungguli marching band dari --lagi-lagi-- sekolah bangsawan timah. Dan 9 karakter lain yang unik.

Melihat alam Belitong. Itu yang didapatkan ketika membaca novel ini. Deskripsi alam Belitong yang cerdas menggiring pembaca hingga serasa menjejakkan kaki di Belitong. Penulis bercerita dengan garis waktu yang sedikit banyak melompat-lompat. Dari satu peristiwa ke peristiwa lain yang kadang membuat pembaca tidak tahu persis kapan peristiwa itu terjadi. Tapi hal itu tak mengurangi kekuatan dari cerita : mimpi, perjuangan, ilmu dan -tentu saja- cinta. Sesekali anda akan tersenyum bahkan tertawa lebar. Dan beberapa bagian membuat anda sedih atau mungkin sekedar terenyuh.

Sang Pemimpi


Jika Laskar Pelangi menceritakan perjalanan Ikal dari kelas 1 SD sampai 3 SMP, maka Sang Pemimpi menghadirkan kehidupan remajanya. Ikal, Arai dan Jimbron. Kekuatan mimpi mereka mengalahkan kepenatan hasil kerja fisik mereka. Persahabatan unik antara Ikal, Arai dan Jimbron menghadirkan petualangan yang sangat lucu tapi kadang juga sangat menyentuh. Bertiga mereka melarikan diri dari kejaran sang guru galak atau hanya sekedar berguru ke seorang playboy cap dua cula untuk meluluhkan hati seorang gadis. Ikal dan Arai mengejar mimpinya hingga pulau Jawa. Rela mengerjakan apapun untuk mengejar mimpinya hingga sebuah surat dari pak Pos memberikan jawaban atas penantian mereka. Sebuah mozaik yang membuka kesempatan Ikal dan Area kuliah di Sorbone. "Kita akan sekolah ke Prancis, menjelajah Eropa sampai Afrika! Apapun yang terjadi."

Masih seperti Laskar Pelangi, dalam Sang Pemimpi, Andrea Hirata masih menunjukkan kekuatannya dalam mendeskripsikan latar, mengaduk-ngaduk emosi pembaca dan masih memakai penutur orang pertama. Sedikit dialog dan begitu banyak informasi yang tertumpah di antara tulisan-tulisannya. Sang Pemimpi tidak selucu dan sepadat Laskar Pelangi. Mungkin karena tokohya lebih sedikit dan mulai beranjak dewasa. Sebagai memoar perjalanan hidupnya Andrea Hirata menawarkan ilmu, semangat, integritas, keberanian bercita-cita dan ajakan untuk tidak pernah menyerah.

Di tengah derasnya serbuan teenlit dan chicklit serta cerita-cerita yang bertema pop lainnya ataupun sastra wangi yang mulai jenuh dan memerlukan penyegaran, Andrea Hirata menghadirkan bacaan yang menghibur sekaligus mencerahkan. Menghadirkan potret realita kehidupan masyarakat yang memang 'penting' untuk diangkat. Dan yang tak kalah penting lagi, ia adalah sastrawan lokal alias dalam negeri.

Jadi, apa yang akan ada dalam Edensor dan Maryamah Karpov? Masihkan sesegar dan seunik Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi? Kita tunggu saja.