Monday, December 17, 2007

Keterdesakan Artifisial vs Resolusi 2008

Beberapa orang mencantumkan kalimat 'be able to work under pressure' di dalam CV ataupun cover letter yang mereka buat. Dengan begitu, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka dapat bekerja dengan baik meskipun dalam kondisi tertekan. Kenapa? Karena berangkat dari pemahaman bahwa performansi seseorang akan berbeda di saat normal dan di saat tertekan. Ada yang performansinya turun, tetapi ada beberapa orang yang justru 'meledak' di bawah kondisi tertekan.

Anda pernah merasa terdesak? Apa bedanya terdesak dengan tertekan? Secara bahasa, 'terdesak' berkata dasar 'desak' sedangkan 'tertekan' mempunyai asal kata 'tekan'. Jika dalam keadaan nyata, kedua keadaan yang digambarkan oleh kata-kata tersebut, memaksa orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pernah merasa sakit perut dan berjuang mati-matian untuk mendapatkan tempat guna melepaskan semua beban yang ada di perut? Nah itu contoh salah satu kondisi terdesak.

Seorang motivator terkenal pernah menyampaikan bahwa dengan kadar keterdesakan yang cukup, seseorang akan mampu mencapai sesuatu melebihi jika ia ada pada keadaan normal. Untuk mencapai sukses seseorang bisa menciptakan sebuah keterdesakan. Ia menyebutnya dengan keterdesakan artifisial.

Keterdesakan artifisial merupakan sebuah keadaan atau lebih tepatnya sebuah pola pikir yang sengaja dibangun dari dalam diri untuk menghasilkan efek yang (kurang lebih) sama dengan efek yang ditimbulkan oleh desakan dari luar diri. Karena keadaan yang diciptakan adalah sebuah keterdesakan maka efek yang diharapkan muncul adalah gerakan. Karena hanya dengan gerakan semua pencapaian dapat diraih.

Itulah mengapa orang menetapkan target-target yang harus dicapai selama hidupnya. Mengingat sebentar lagi penghujung tahun 2007, biasanya banyak orang yang telah ancang-ancang untuk menyusun resolusi 2008. Resolusi bisa jadi berarti ketetapan hati. Menyiapkan niat untuk melakukan banyak hal agar mendapatkan apa yang diinginkan. Kalender mulai dibuka. Evaluasi tahun berjalan dilakukan. Target-target baru disusun. Langkah pencapaian pun ditetapkan. Maka keadaan mendesak pun (mulai) tercipta.

Saya belum pernah meluangkan waktu secara khusus untuk membuat resolusi tahun baru. Jikapun ada yang ingin dicapai di tahun berikutnya, biasanya hanya berupa keinginan-keinginan yang terbersit, tanpa pernah direkapitulasi. Untuk tahun 2008, ada banyak hal yang ingin dicapai. Tapi yang jelas, saya ingin meningkatkan berat badan sampai berat ideal, mengurangi waktu tidur yang sepertinya sudah terlalu banyak dan menambah bacaan yang lebih 'bergizi'. Jika ditanya alasan, maka jawaban saya sangat sederhana : Saya terdesak untuk menjadi orang baik :D.

Tuesday, November 13, 2007

Wednesday, October 10, 2007

Sang Tukang Pukul Tiang Listrik (STPTL)

Bekerja dengan penuh komitmen dan motivasi akan berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh. Meskipun motivasi seseorang tidak bisa dilihat secara kasat mata, tetapi keberadaannya bisa ditelisik dari sikap dan perilaku orang saat bekerja. Dan keberadaan motivasi yang tinggi inilah, yang membuat seseorang -yang tak bisa saya sebut namanya karena memang saya tidak tahu yang mana orangnya- dengan sepenuh hati dan segenap jiwa, memukulkan batang yang berbahan logam ke tiang listrik di sepanjang jalan depan rumah tinggal saya.

Ceritanya, saya sekarang tinggal di sebuah rumah kost. Saya mendapat kamar paling depan. Ukurannya lumayan luas dibandingkan dengan kamar-kamar yang lain di rumah kost tersebut. Karena letaknya paling depan, ventilasi kamar saya langsung berhubungan dengan udara luar. Meskipun sedikit percuma, karena udara Cilegon agak panas dan lembab.

Idealnya, sebuah kamar, tempat untuk istirahat, yang paling baik adalah yang paling tenang. Dan kamar yang terletak paling depan dan berdekatan dengan jalan adalah kamar yang paling banyak disinggahi polusi suara dari jalanan. Dan hal ini terkait dengan cerita di awal tulisan saya.

Sekarang-sekarang ini sedang berada dalam bulan Ramadhan. Sedikit banyak jam biologis tubuh berubah. Meski tidur sangat larut malam, saya akan 'sedikit' terbangun menjelang saat-saat sahur. Bangun tidur yang baik katanya yang 'tiba-tiba'. Karena, oksigen akan cepat menjalar ke otak dan membuat kita cepat tersadar. Tapi jikalau bangun tidur dan tersadar oleh sebuah suara dua buah logam yang beradu dengan sangat keras, percayalah, rasanya tidak enak.

Modus operandi yang dilakukan sang tukang pukul tiang listrik (STPTL) ini selalu sama. Dan cerita berikutnya adalah hasil rekaan saya melalui bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh STPTL. Mengapa demikian? Karena saya tidak melihat secara langsung 'kejahatan' yang dilakukan oleh STPTL ini.

Sepanjang jalan depan rumah kost saya, STPTL akan menyeret batang logam di atas jalan aspal. Suaranya cukup untuk pemanasan telinga. Beberapa kaki menjelang tiang listrik di depan kost saya, STPTL akan memantapkan langkahnya, memicingkan matanya dan mencari bagian mana dari tiang listrik yang akan menjadi sasaran pukulnya. Beberapa jengkal dari tiang listrik, STPTL akan menegakkan tubuhnya dan menarik nafas panjang. Batang logam digenggamnya dengan erat. Saatnya tiba. Diayunkannya batang logam itu ke udara dengan mantap. Dipukulkannya batang logam itu ke tiang listrik di depannya dengan sekeras-kerasnya. Senyum puas terlukis di sudut bibirnya. Suara logam beradu yang membahana ke seluruh penjuru kampung membuatnya bangga. Seakan-akan ia adalah penguasa kampung itu. Untung ia tidak mengencingi tiang listrik, sebagai tanda bahwa tiang listrik itu telah masuk ke wilayahnya.

Suara keras hasil aksi pukul STPTL terhadap tiang listrik bukan rekaan. Pagi ini, suara tersebut membuat saya terbangun dengan kondisi setengah sadar. Dalam kondisi setengah sadar pula saya mengambil beberapa lembar uang sambil menggerutu dalam hati. Keluar dari rumah, saya menyusuri jalan di belakang STPTL yang sedang menyeret sebuah batang logam -sepertinya linggis-. Saya tidak sempat memperhatikan tampilan bangun tidur saya. Yang jelas saya masih memakai pakaian lengkap dan potongan rambut saya masih pendek. Beberapa meter di belakang STPTL, saya menangkap siluet tubuhnya dengan pandangan yang masih kriyip-kriyip. Tak jelas seperti apa wajahnya memang. Tapi cukup mengobati rasa keingintahuan saya tentang STPTL. Sepertinya hanya seorang warga yang berbaik hati menjaga keamanan lingkungan dengan melakukan ronda. Di ujung jalan ia masih menyeret linggisnya dan berbelok ke kanan. Saya sendiri, yang sudah mulai waras, sesampainya di ujung jalan, berbelok ke kiri, ke arah rumah makan padang. Keputusan saya untuk mengambil sejumlah uang saat bangun tidur terbukti tepat karena berguna untuk membeli makan sahur.

Meski hati masih menggerutu bin dongkol akibat prosesi bangun tidur yang tidak wajar, syukurlah suasana sahur berjalan dengan enak. Bagi anda yang menonton TV saat bersantap sahur, pasti tahu sinetron Para Pencari Tuhan (PPT). Untuk ukuran sinetron, PPT menawarkan jalan cerita yang unik dan 'berisi', ciri khas tayangan-tayangan hasil besutan Deddy Mizwar. Dan tentu saja pemain-pemain PPT memberikan daya tarik tersendiri. Seperti teman kost saya -yang kebetulan mempunyai kamar di bagian depan dan bernasib sama akibat ulah STPTL- yang tak henti-hentinya mengagumi Zaskia Mecca. Meski mengeluh juga akibat ulah STPTL, teman saya itu akan mengacungkan kedua tangannya seraya berdoa ketika Zaskia Mecca muncul di layar kaca. Dan seseorang di antara penghuni rumah kost itu pun menyeletuk : "Sampai lebaran monyet, lo gak bakalan dapet Zaskia (Mecca)".

Wednesday, August 15, 2007

A Cup of Coffee Never Save Me

Notice : Tulisan di bawah ini adalah murni curhatan saya. Maka dari itu mohon dimaklumi atas kesemrawutan tata bahasa, kesalahan penggunaan kata-kata, ketidakjelasan tema, ketidakruntunan penyampaian dan ketidaknyamanan saat dibaca :).

Sebenarnya saya bukan penggila kopi, meski suatu ketika saya pernah sangat suka dengan minuman yang satu ini. Pahit, sangat harum dan sedikit asam. Meminum kopi dapat memacu kerja jantung, meningkatkan debit aliran darah dan ujung-ujungnya mengusir rasa kantuk. Dan untuk saya yang pernah merasakan bangku kuliah, manfaat ketiga itulah yang saya kejar. Meskipun efek yang saya rasakan tidak begitu signifikan, untuk tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali.

Dengan dosis yang wajar, kafein yang terdapat dalam kopi ternyata memberikan efek yang positif bagi kesehatan tubuh. Tapi karena terdapat efek kecanduan yang ditimbulkan oleh kafein dan karena saya mempunyai tingkat denyut jantung di atas rata-rata, maka saya sebisa mungkin menjauhi minuman enak ini. Ditambah dengan efek samping kopi yang memacu produksi asam lambung maka sempurna sudah alasan untuk menghindari konsumsi kopi.

Tapi apa daya. Rekor tak menyentuh kopi selama kurang lebih 1 bulan, pecah juga. Semua bermula dari paham 'work hard, play hard'. Jangan diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Indonesia, akan sangat buruk translasi yang dihasilkan. Intinya bermain-main dengan sangat rajin untuk mengimbangi kerja yang sangat keras. Meski kerja tidak terlalu keras yang penting bermain dengan sangat rajin.

Meminjam istilah 'art for art sake' maka 'work for work sake' pun bukan pemikiran yang saya sepakati. Jika anda bekerja untuk orang lain atau di perusahaan maka anda akan tidak akan heran dengan ilustrasi ini. Anda bangun pagi-pagi kemudian menyiapkan perlengkapan untuk bekerja. Mandi, sarapan dan berangkat ke tempat kerja. Seringkali cahaya matahari belum sempat menyentuh muka bumi, anda sudah berlomba dengan ayam untuk mencari kehidupan. Selama di kantor, praktis anda terikat oleh jam kantor. Anda seringkali pulang lebih malam dari jam pulang ayam ke kandangnya. Sampai rumah, buat anda yang telah berkeluarga, maka keluarga adalah tempat yang tepat untuk berbagi kelelahan. Buat yang belum berkeluarga maka tempat tidur bukan tempat yang buruk juga untuk berbagi kelelahan. Jika anda membawa pulang PR dari tempat kerja, maka anda harus menunda berbagi kelelahan. Dan anda pun tidur agar keesokan harinya bisa bangun pagi dan bekerja kembali.

Tak dapat dipungkiri, bahwa hasil dari kerjalah yang menopang kehidupan anda. Tapi anda juga mempunyai kehidupan lain di samping pekerjaan anda. Anda tentu tak akan mau apabila terpaksa menolak ajakan berlibur dari teman anda yang sudah lama tak bertemu karena anda harus menyelesaikan pekerjaan anda. Dan itu adalah hari minggu. Kecuali memang ada pertimbangan lain yang membuat anda harus bekerja saat hari libur. Idealnya adalah bekerja dengan profesional tanpa meninggalkan kehidupan pribadi anda.

"Work hard, play hard" menawarkan suatu konsep keseimbangan antara bekerja dengan bermain atau bersenang-senang. Kedua-duanya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan serius. Bukan hanya bekerja saja yang membutuhkan keseriusan tetapi bersenang-senang juga. Tentu saja pengertian bersenang-senang disini akan berbeda untuk masing-masing pribadi. Ada yang mengartikulasikan bersenang-senang dengan tidur, pergi ke tempat wisata, melamun, bernyanyi, membaca buku sampai mengikuti pengajian. Jika bekerja merupakan cara anda untuk mengaktualisasikan diri dan memperoleh pemasukan, maka bermain adalah jalan untuk mengaktualisasikan diri juga tetapi memperbesar pengeluaran. Anda bisa memilih jenis kegiatan bermain atau bersenang-senang sesuai dengan seberapa besar pemasukan, gaya hidup dan yang tak kalah penting : masa depan yang anda cita-citakan.

Bagi saya, berjalan-jalan merupakan satu pilihan untuk bermain. Entah itu berjalan-jalan menggunakan dua kaki sendiri ataupun menumpang kaki-kaki kendaraan. Dan bagi saya perjalanan itu sendiri yang menjadi keseruan tersendiri melebihi keasyikan saat sampai di tempat tujuan. Tentu saja ada konsekuensi dari melakukan perjalanan yaitu keletihan badan.

Alkisah, setelah melakukan perjalanan, saya sampai di kota tempat saya bekerja dini hari menjelang pagi. Kali pertama, saya tiba dini hari karena berangkat dari kota tempat saya berjalan-jalan memang telah cukup larut malam. Kali kedua, saya tiba menjelang pagi karena saya baru terbangun di terminal pelabuhan Merak. Alhasil saya harus menumpang 1 angkutan umum lagi untuk menuju rumah. Dan kedua-duanya ada di hari Senin. Hari dimana banyak orang yang bekerja seperti saya ini sangat menyukainya. Di tempat saya bekerja, hari Senin adalah hari dimana rencana seminggu ke depan dibuat dan dibahas dalam rapat. Tentu bisa dibayangkan : pasokan tidur yang kurang, keletihan badan dipadu dengan pekerjaan yang cukup padat dan harus mengikuti rapat. Hasilnya adalah manusia dengan tiga perempat kantuk mengisi kepalanya.

Senin pertama, saya berhasil melewatinya dengan setengah selamat. Persiapan planning seminggu ke depan selesai dan saya berhasil untuk tetap terjaga sampai rapat selesai. Tapi tetap saja rasa kantuk membombardir tanpa ampun. Senin kedua, saya meminta mas office boy membuatkan secangkir kopi. Kopi hasil racikannya: kopi hitam pekat, sangat manis tapi bukan espresso. Efeknya langsung terasa meski tidak lama. Pekerjaan lebih cepat selesai tapi hasilnya pertahanan saya terhadap kantuk nyaris punah setelah makan siang. Saat rapatpun saya curi-curi istirahat. A cup of coffee couldn't save me that day. Dan naasnya, hari ini adalah hari ketiga saya memulai hari dengan secangkir kopi. Gara-gara tak tahan godaan mas office boy: "Mau dibuatin kopi Pak?".Halah.

Thanks to:

-Semua manusia yang telah bersedia menemaniku (dan mentraktir) jalan-jalan dalam 2 minggu terakhir : sahabat-sahabatku, sopir bus beserta kru termasuk bus kota, sopir angkot terutama angkot dari pelabuhan Merak, sopir dan kru busway, penjual koran, mas-mas penjaga tempat penitipan sepatu, pengelola tempat wisata, penjual es Goyobod dan dodol, penjual gado-gado dekat masjid Bulak Rantai, orang-orang yang baik rela atau tidak telah menjadi obyek foto saya dan menjadikan saya sebagai obyek foto. Orang-orang lain yang tidak berhasil saya ingat, yang telah membantu acara jalan-jalan saya.

-Mas Ajat, sang office boy, penyuplai teh sangat manis, kopi sangat pekat, coca-cola sangat dingin, pengharum ruangan sangat wangi.

Friday, August 10, 2007

Potret Mbah

Ia membuat saya sangat jengkel ketika pertama kali masuk kantor. Intonasi suaranya keras, medekati kasar malah. Postur badannya tidak terlalu tinggi tetapi kekar. Sorot matanya tajam, bahkan mirip orang yang senantiasa melotot sepanjang waktu. Sorot matanya yang tajam itu dibingkai dengan kacamata berlensa oval. Kumisnya tebal. Sangat cocok jika ia memakai baju loreng merah putih, celana tigaperempat dan celurit di balik pinggang. Meski saya tahu setelahnya ia bukan orang Madura, tetapi orang Jawa.

Kami memanggilnya Mbah. Pertama kali saya ada di kantor, saya memanggilnya Pak Sri. Saya tak tahu pasti darimana sebutan Mbah berasal. Mungkin saja karena ia adalah salah satu karyawan sejak perusahaan tempat saya bekerja pertama kali berdiri. Di saat dulu dimana sekitar pabrik masih berupa rawa-rawa, bisa dikatakan Mbah ikut 'mbabat suket' alias memotongi rumput (tentu saja dalam arti kiasan).

Sampai sekarang bicaranya tak begitu enak didengar. Bukan masalah isi bicaranya, tapi masalah penyampaiannya. Tetapi sekali bercerita, kadang bicaranya enak didengar juga.

Suatu sore, sembari menunggu pulang, Mbah bercerita tentang banyak hal. Mulai pengalamannya melihat 'penampakan' saat awal-awal bekerja di perusahaan hingga cerita 'ospek' yang dialaminya dulu. Bagaimana dengan keberaniannya ia berkeliling pabrik saat yang lainnya gentar meski hanya sampai bagian tengah pabrik karena hari telah malam. Bagaimana ia dulu adalah seorang operator mesin pembuat pipa baja hingga menjadi tetua di mesin tersebut. Tentang pengajuan pensiun dini yang Mbah ajukan beberapa tahun silam tetapi ditolak oleh bos-bosnya karena masih sangat dibutuhkan. Tentang prinsip kerjanya yang sangat sederhana : Mau ditempatkan dimana saja saya mau.

Mbah seseorang yang dipercayai oleh banyak orang. Sesuatu yang paling mudah terlihat adalah tentang uang. Mbah mungkin orang di kantor yang paling sering ke bank. Meski sering mengecek rekening pribadi, ia lebih sering melakukan transaksi titipan orang. Entah itu penarikan uang, setor atau hanya cek rekening. Mungkin mbah seperti kasir bank keliling. Meski tentu saja tak ada kasir yang bermuka gahar nan menakutkan:).

Melihatnya bekerja saya teringat Joni dalam film Janji Joni yang diperankan Nicholas Saputra. Tentu saja bukan faktor kemiripan wajah tetapi tampilan kerjanya. Pekerjaan Mbah adalah memastikan tersedianya bahan baku pipa baja sesuai proyek yang ada. Mbah memakai tas selempang besar berisi buku berukuran folio (bukan berisi rol film). Mengenakan pakaian setelan jeans dan sepatu boot. Ia berkendara memakai motor untuk bertemu dengan orang yang bertanggungjawab atas produksi rol baja di perusahaan induk (bukan memastikan rol film sampai tepat waktu). Meskipun menerima laporan berkala tentang produksi bahan baku yang dipesan, mbah tetap mengecek langsung terutama untuk proyek-proyek yang kritis. Ia akan mengejar rol baja sampai ke ujung dunia untuk memastikan tersedianya pasokan bahan baku.

Usianya 51 tahun sekarang. Ia telah bekerja di perusahaan lebih dari 30 tahun. Dan 4 tahun lagi Mbah dijadwalkan pensiun. Baru beberapa waktu yang lalu, beliau dipindahkan ke bagian lain. Dan sekarang masih dalam masa transisi tugas lama ke tugas yang baru. Melihatnya bekerja, seperti melihat sebuah potret perjuangan manusia yang digariskan tak ada yang persis satu sama lain. Dan bukankah kita juga sedang membuat potret untuk dilihat kelak di kemudian hari?

Friday, July 20, 2007

Panggil Aku Aulia (Saja) !

Nama panggilan diciptakan untuk memudahkan orang untuk menyebut nama. Entah itu diberikan oleh orang tua, diri sendiri ataupun orang lain. Anda mungkin pernah mengenal seseorang yang mempunyai hobi membuat nama panggilan yang sepintas seperti seenaknya sendiri. Jadi jangan heran kalau anda mendengar seorang manusia yang dipanggil dengan sebutan 'kroto' (bhs Jawa = semut rangrang kecil), seorang cowok bernama panggilan 'Yuti', nama 'Luqman' menjadi 'Lukboy' dengan analogi Superman yang dulu waktu kecil dipanggil 'Superboy' atau nama panggilan aneh bin ajaib : Tarsonson. Saya tidak akan membahas orang itu.

Nama panggilan saya sejak kecil adalah 'aan'. Entah darimana kata aan itu berasal. Tapi yang jelas itu pemberian orang tua saya. Orang tua saya biasa memanggil dengan nama panggilan 'aan' atau 'dik' atau 'mas' atau 'le'.

Waktu TK, praktis yang ada hanya 'aan'. Nama lengkap saya hanya terpajang indah pada akte kelahiran. Waktu SD saya bisa sedikit berbangga karena nama lengkap saya terpampang di badge nama seragam. Meski nama aan masih tetap saja berlalu-lalang setiap harinya. Waktu SMP, mulai ada satu dua orang yang memaksa memanggil selain nama panggilan resmi. Maka panggilan berbunyi 'al', 'ul' bahkan 'lia' sering terdengar. Saat SMA, 'aan' masih menjadi nama panggilan resmi saya dan hanya guru saya yang memanggil 'aulia'. Waktu kuliah, nama 'aulia' muncul saat dosen membaca absensi kuliah dan tentu saja saat wisuda.

Waktu pertama kali kerja, saya mempunyai niat agar dipanggil dengan nama 'aulia'. Alasannya sangat sederhana : agar tidak ada yang berpikir bahwa Aan dan Aulia itu 2 orang yang berbeda. Maka saya memperkenalkan diri sebagai Aulia. Meski sudah terlanjur menyebut diri sebagai 'aan' kepada teman-teman yang diterima kerja bersamaan, berikutnya saya selalu menyebut nama Aulia saat mengulurkan tangan dan berkenalan dengan orang lain. Lalu hari-hari dengan nama panggilan Aulia dimulai.

Selang beberapa lama, ada beberapa orang kantor yang mulai bertanya : nama panggilanmu siapa sih? Dengan berat hati maka nama 'aan' pun keluar kembali. Maka teman kerja saya memanggil : 'aan' atau 'ul'. Bos saya kadang menyebut 'aan', kadang 'aulia'. Saat rapat nama 'aulia' yang eksis. Bosnya bosnya bosnya bos saya memanggil saya dengan tambahan kata 'pak' menjadi Pak Aulia. Dan terakhir ibu kos saya memanggil dengan sebutan 'nak'. Tentu saja untuk semua anak kost yang tinggal di rumahnya :).

Friday, May 18, 2007

Berburu Pantai

Entah selera kami yang terlalu tinggi atau tidak ada orang lokal yang mampu menunjukkan pantai yang indah. Alih-alih mencari di Anyer, pagi itu kami mencoba mencari pantai yang indah di daerah Merak. 5 orang kurang kerjaan tapi kelebihan energi (termasuk saya) berangkat dari 'rumah tinggal sementara' menuju Merak.

Setelah perjalanan panjang menggunakan angkutan umum ditambah jalan kaki singkat cerita kami tiba di pantai yang direkomendasikan 'oknum tak berselera'. Tiba di pantai yang dimaksud, pertama kali yang terlintas di pikiran saya : "Ini yang namanya pantai??" seraya garuk-garuk kepala tak gatal. Dengan pasir pantai yang minim, ditambah background kapal tongkang di kejauhan ditambah ramainya pengunjung membuat selera berwisata langsung turun drastis.
Saya bertekad tidak akan mengabadikan gambar saya di pantai ini. Cukup gambar teman-teman saya saja. Saya cukup puas dengan menggoreskan nama saya di atas pasir. Berharap akan ikut hilang disapu ombak laut yang datang hiks.

Setelah cukup 'puas' menikmati 'keindahan' pantai, kamipun bergegas kembali ke kota. Mampir di sebuah rumah makan Sunda untuk mengisi perut lapar kami. Seorang dari kami yang berjenis kelamin perempuan berkata "Lihat sunset di mercusuar yuukk". Halah. Lha wong jalan-jalan yang barusan saja capeknya belum hilang, ini minta jalan-jalan lagi. Ini mungkin salah satu bukti perempuan lebih kuat jalan kaki daripada laki-laki untuk kasus-kasus tertentu seperti belanja atau berwisata. Akhirnya daripada teman perempuan kami ini menangis, terpaksa kami menurutinya.

Sebuah perjalanan panjang ke arah Anyer dimulai. Dan seperti yang saya perkirakan sebelumnya, kami mendapatkan sebuah 'perfect sunset'. Bukan sebuah jingganya sang surya tenggelam dengan suasana romantis tapi benar-benar matahari telah tenggelam dengan sempurna. Maksud hati hendak mengabadikan mercusuar berlatar belakang 'perfect sunset', apa dikata kameraku tak sanggup. Jadilah sebuah penampakan mercusuar.

Dengan lunglaipun kami kembali ke rumah. Menyusuri jalanan yang telah gelap. Lagi-lagi karena kemampuan kameraku yang tak mumpuni mengambil gambar dalam kondisi gelap, hanya gambar lampu jalan memayungi pohon yang menutup cerita perjalanan kami.
Doakan saya ya, agar bisa menemukan pantai yang benar-benar bagus.....^ ^

Sunday, April 29, 2007

4 kota, 7 musim

Saya bukan tipikal orang yang suka jalan-jalan apalagi melancong. Berpergian cukup seperlunya saja. Intinya tipikal orang rumahan. Bisa jadi ini yang membuat kemampuan spasial saya tidak terlalu bagus. Terbukti dengan seringnya saya tersasar entah dimana:). Tapi apa mau dikata, hingga kini saya telah merasakan tinggal di 4 kota.

Saya lahir dan besar di Madiun. Sebuah kota dataran rendah yang ada di Jawa Timur. Hawanya hangat, kehidupannya tidak terlalu ramai. Cocok untuk dijadikan persinggahan di hari tua :). Boleh dikatakan, kota ini menjadi setting masa kecil saya.

Kehidupan saya harus berpindah saat SMA. Tepatnya ke Bekasi. Saya tak tahu banyak tentang kota ini. Tak pernah berjalan-jalan jauh untuk mengenali kota ini. Hanya berputar-putar di sekitar kompleks sekolah yang kebetulan berada di sebuah kawasan industri. Saya tahu Bekasi kota yang ramai, tetapi keramaian itu tidak terlalu saya rasakan. Karena tempat saya bersekolah dan tinggal cukup tenang. Di kota ini, kesepian adalah kata yang jamak muncul meski keseruan hidup terpancar setiap harinya.

Bandung, Parijs van Java, adalah kota ketiga yang saya singgahi. Sebuah kota indah, tempat saya menjadi seorang mahasiswa. Soal kenangan, pasti banyak sekali yang bisa diceritakan. Boleh jadi sebagian besar isi otak saya sekarang adalah tentang kehidupan di Bandung ini. Dan Bandung akan tetap menjadi satu latar belakang kehidupan saya.

Dan sekarang, Cilegon. Sebuah kota di ujung Barat-Utara propinsi Banten. Tentu saja saya belum bisa bercerita banyak tentang kota ini karena baru beberapa kali 'main' ke 'kota' dan hanya sekali jalan-jalan ke Anyer. Yang jelas, udaranya sangat panas dan lembab. Jika sekarang-sekarang ini Bandung sering hujan lebat, di Cilegon cukup hujan rintik-rintik saja. Belum lama ini saya bertanya ke seorang bapak-bapak tentang panasnya kota Cilegon. Dengan santainya ia menjawab : "Oo, ini panasnya baru setengahnya Dik?"

Monday, April 02, 2007

Sisihan

Saya belum menemukan padanan kata 'sisihan' dalam bahasa Indonesia. Sisihan adalah kata dalam bahasa Jawa (setidaknya dipakai di daerah saya, Madiun) dari kata sisih yang berarti sisi. Saksisih artinya satu sisi. Untuk mengungkapkan apa itu arti sisihan, saya akan memakai sedikit ilustrasi. Jika anda masuk ke sebuah ruangan, lalu mencopot sepasang sandal anda. Lalu anda keluar dari ruangan itu dan berniat memakai kembali sepasang sandal anda. Anda adalah orang terakhir yang keluar dari ruangan itu dan anda menemukan bahwa sandal anda tidak sepasang lagi. Bisa jadi sandal kanan anda bersebelahan dengan sandal kiri empunya entah siapa, atau malah dua-duanya sandal sebelah kiri. Itu namanya sisihan. Kalau dua buah sandal tersebut bukan punya anda, itu berarti sepasang sandal anda hilang.

Sisihan bisa berarti lawan dari keserasian. Bisa jadi sangat tidak nyaman mengenakan sepasang sandal yang sisihan. Bisa jadi harus menahan malu jika memakai sandal yang dua-duanya adalah sandal sebelah kiri. "Mas, sandalnya model baru ya?" Bisa jadi lebih baik bertelanjang kaki alias nyeker daripada memakai sandal tapi sisihan. "Nyeker nggak kedinginan mas?" Kecuali jika terpaksa tak ada pilihan lagi melainkan memakai sandal yang sisihan. "Biarin sisihan, yang penting pake sandal".

Menghindari sisihan bukan berarti memakai sepasang benda yang sama persis. Sandal sebelah kiri tentu berbeda dengan sebelah kanan karena telapak kaki kiri berbeda dengan telapak kaki kanan. Kalau anting-anting kuping kanan dan kuping kiri dibuat sama, itu lain soal. Dibuat sama karena lebih bagus. Masalahnya bukan harus identik atau tidak tetapi meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Kalau kata pelajaran PPKN dulu : selaras, serasi, seimbang.

Menghindari sisihan berarti memasangkan satu pasang dengan pasangannya yang lain secara tepat. Bisa dengan satu, bisa dengan beberapa. Jika pada akhirnya anda harus memasangkan diri untuk memenuhi setengah agama, paling tidak jangan membuat diri anda menjadi pasangan yang sisihan :). "Bukan begitu mas?"

Friday, February 16, 2007

Coincidence

coincidence• noun 1 a remarkable concurrence of events or circumstances without apparent causal connection. 2 correspondence in nature or in time of occurrence.

Saat mata saya terlalu letih untuk terbuka karena belum terpejam sejak semalam, saya dipertemukan dengan hari jumat. Kali ini mata saya yang telah berat tak dibiarkan terpejam karena khotbah sang penceramah yang berkobar-kobar. Saya terselamatkan dari tidur saat khotbah jumat.

Saat saya sedang membutuhkan banyak gerak, stamina saya diuji. Bolak-balik dari satu gedung ke gedung lain, naik turun dari satu lantai ke lantai lain. Dua kali hampir basah kuyup kehujanan. Semoga semakin sehat, bukan semakin sakit.

Saat saya terburu-buru pergi ke gedung rektorat, ada angkot yang sedang berhenti. (Ini sudah biasa di gerbang belakang ITB). Sekilas pandang ada yang menarik dari angkot itu. Joknya berwarna merah muda tapi agak gelap bercampur ungu. Di jok itu (jok angkot maksudnya) sudah duduk seorang perempuan berkerudung senada dengan warna jok. Perempuan itu memaki semacam sweater berwarna belang merah muda dan abu-abu muda. Sangat match dengan joknya bukan?! Dan saat saya telah mendapatkan posisi duduk yang enak, angkot itupun melenggang kangkung meninggalkan gerbang belakang.

Angkot berjalan beberapa saat. Berhenti di gerbang belakang SBM ITB. Dua orang perempuan masuk ke angkot. Pasti anak ITB, terlihat dari baju olahraganya. Dan mereka angkatan 2006. Dua perempuan yang duduk di depan saya ini menyapa perempuan berkerudung merah bersweater belang merah muda-abu-abu yang ada di sebelah saya. Mereka ternyata sekelas. Dan tentu saja mereka bertiga mahasiswa angkatan 2006 ITB.

Sepanjang perjalanan menelusuri Taman Sari, suara cakap ketiga perempuan ini tidak bisa tidak masuk ke telinga, tak dapat dihiraukan. Terlalu keras. Standar obrolan anak muda (ITB) : kuliah, gosip, kehidupan baru di Bandung. Salah seorang perempuan yang duduk di depan saya tidak tahu arti kata 'gandeng' (bahasa Sunda) tapi mengerti kata 'sadayana' yang diucapkan seorang pengamen jalanan. Jangankan yang baru 7 bulan di Bandung, saya saja yang sudah lebih dari 4.5 tahun di Bandung, kosakata Sunda saya tidak bertambah secara signifikan.

Mendekati rektorat, suara mereka tetap saja keras. Sepertinya mereka sedang bertukar tanggal lahir. Sayup-sayup saya mendengar perempuan yang berkerudung merah menyebutkan : Mei 1989. Itu artinya, 4 tahun yang lalu saya seumuran dia sekarang atau 4 tahun lagi ia akan setua saya :).

Hidup bisa jadi serangkaian pilihan. Bisa juga kita bertaut dengan kejadian-kejadian yang tak mampu kita kendalikan. Kadang kejadian-kejadian bertaut itu bisa jadi menyenangkan:).

Tuesday, February 13, 2007

Dosen Pembimbing

Ini tentang dosen pembimbing saya. Kata orang, beliau jutek, galak dan seterusnya. Dan dosen pembimbing saya ini kata orang cocok dengan saya, karena saya, kata orang : jutek dan galak pula :). Meski beliau dosen di lab saya, Tugas Akhir inilah yang membuat saya semakin sering bertemu dengan beliau. Alhasil semua pekerjaan beliau yang membutuhkan bantuan baik berkaitan dengan TA maupun tidak, selalu melibatkan saya sebagai asistennya. Kenyataannya pekerjaan yang nomor dua yang lebih banyak saya kerjakan.

Waktu pertama kali mendapat dosen pembimbing beliau, kontrak perjanjian pertama adalah saya tidak bisa lulus lebih cepat dari Maret 2007. Dengan alasan akan melanjutkan S3 ke luar negeri, beliau akan cuti di tengah membimbing saya. Alih-alih melanjutkan S3, beliau dinyatakan hamil dan akhirnya tetap saja harus cuti saat mendekati kelahiran putrinya. Jadwal membimbing saya yang harusnya Februari - Maret diteruskan Agustus dan seterusnya menjadi Februari-Juni diteruskan Januari (2007) dan seterusnya. Alhasil, saat beliau cuti saya harus mengerjakan TA sendiri dengan hanya sesekali saling berbalas email. Mungkin karena sudah percaya dengan saya, mungkin juga karena tidak begitu mengerti dengan apa yang saya kerjakan. Praktis pekerjaan saya selama hampir setahun dibeberkan lengkap saat beliau masuk lagi pada awal bulan Januari 2007, yang notabene tanggal 29 Januari adalah batas terakhir pendaftaran sidang sarjana. Jelas saja waktu yang kurang dari sebulan itu dimanfaatkan dosen pembimbing saya untuk 'memugar' tugas akhir saya. Meski tidak banyak tetap saja membutuhkan banyak waktu dan tenaga untuk memperbaikinya. Satu hal yang membuat saya salut dengan beliau : detail. Mulai dari ejaan, tabel, gambar sampai memperbaiki abstrak bahasa Inggris saya :). Sampai menjelang pengumpulan draft TA pun beliau masih menyempatkan memeriksa lagi. Hasilnya: satu kalimat lagi harus terbuang dari draft TA saya.

Saat sidang, satu hal yang saya takuti adalah meracau. Alhamdulillah, sidang TA dimudahkan, hingga saya tidak bisa meracau lebih dari 1 jam. Persediaan jawaban untuk merespon pertanyaan yang mungkin muncul, praktis tak terpakai. Soal revisi setelah sidang, karena sebelum mengumpulkan draft telah direparasi habis-habisan, saya cukup menambahkan satu paragraf di TA saya. Lumayan juga, tidak harus menge-print semuanya dari awal.

Setelah sidang, kontrak saya dengan beliau belum habis. Sembari menunggu maret, masih ada yang harus dikerjakan. Makasih bu!

-Ternyata capek juga ya ngerjain TA, meski akhirnya happy ending:)

Tuesday, January 02, 2007

Sebuah Cerita : Sekali Waktu di Halte Bus

Rintik tak kunjung berhenti. Tak ada tanda-tanda akan reda. Hujan terus mengguyur. Meninggalkan bau tanah yang sedap. Hujan pun masih tak sempat menyampaikan isyarat kepada awan yang berangsur-angsur dijadikannya tiada [1]. Air menghilangkan jejak-jejak debu di atas tanah, trotoar dan lantai halte bus. Lantai dimana aku berdiri sekarang.

Dingin tak kunjung berhenti. Tak ada tanda-tanda akan sirna. Angin terus berhembus. Meninggalkan semilir yang menusuk tulang. Jaketpun tak sempat menyampaikan kata-kata berhenti kepada angin yang terus membekukannya. Udara mencipratkan air hujan ke tempat duduk, koran bekas dan abang penjual gorengan. Manusia dimana aku terdiam di sebelahnya sekarang.

Matari tak jua tenggelam. Tak ada pertanda hari akan gelap. Cahayanya terus enggan bersinar. Meninggalkan terang yang tak lagi benderang. Katak tak sempat menyampaikan teriakannya kepada lalu lalang kendaraan yang mengaburkan suaranya. Api membakar tembakau dalam lintingan kertas, asap mengalir lewat campuran cengkeh dan masuk ke dada pemuda itu. Pemuda yang membuat aku terbatuk dalam tiap hembusan udaranya.

Ia tak jua datang. Tak ada langkah-langkah kecilnya. Waktu terus berputar girang. Meninggalkanku menunggu yang tak lagi sabar. Koin-koin detik tak sempat bergemerincing di saku-saku otakku yang mulai berkisut. Denting membisu dalam jam tanganku, mengelindan, mengirimkan cahaya bekunya ke mataku, ke syarafku, ke otakku. Ia yang membuat aku menunggu dalam tiap harap yang semakin cemas.

Lupa tak jua sirna. Tak ada kesempatan untuk mengubur. Memori terus menyeruak cepat. Mengingatkanku pada semua tentang ia. Bibir tak sempat mengucapkan namanya kala kaki melangkah meninggalkan perpisahan yang indah. Potongan-potongan masa menyatu, beranyam dan melebur dalam kanvas ingatanku. Kanvas yang meninggalkan begitu banyak warna yang kusam.

Ia tak jua datang. Tak ada pancar warnanya. Keinginan terus mendesak kuat. Membekukanku dalam tiap kata yang tak pernah terucap. Tangan tak sempat berujar ketika semua telah terlambat untuk diubah dengan segenap hati. Hanya Tuhan yang mengingatkan, membimbing dan menuntunku dalam tiap jejak langkahku. Jejak langkah di atas pasir lembut kehidupan.

Bukan ia tapi ia. Dan ia tak jua datang.

Koin-koin waktu telah penuh hingga tak bergemerincing lagi. Ia masih tak jua datang.

Waktu tak jua melambat. Tak ada sela yang dibiarkannya bercecer. Menyapu tiap jiwa tanpa pernah mengucap permisi. Pikiran tak sempat mencerna ketika semua alasan tertumpah ruah untuk menghibur diri yang resah. Hanya hati yang berbisik, ia akan datang, ia akan melangkah, karena ia yang menyuruhmu menunggu disini. Di tempat kau sedang menanti.

Langkahnya tak jua jenjang. Tak ada tanah panjang berlalu di bawah kakinya. Memastikan likunya yang hanya pendek. Kain tak sempat menghalangi tetesan air menimpa badannya langsung. Seorang anak kecil berjalan di sampingnya, menggandeng tangannya dan berjalan cepat-cepat. Tanyaku : siapa gerangan anak kecil itu?

Hujan tak lagi merambati tubuhnya (dan tubuh anak kecil itu). Tak ada sesuatu pun padaku untuk menyambutnya. Aku tak sempat berbuat apapun sebelum atau saat sedang berada di bawah atap ini. Akhirnya tanya tak sempat terhalang dari lidah untuk diteruskan ke bibir. Tentang anak kecil yang berjalan di sampingnya dan menggandeng tangannya tadi. Tanyaku (dengan senyum) : siapa ia?

Sunyi tak lagi terpatri. Tak ada hening lagi antara aku dan halte bus ini. Membuatku mempunyai sesuatu lain untuk menyambutnya. Ia tak sempat duduk untuk menjawab tanyaku. Jawaban keluar dari hatinya, berbinar-binar : Aku menemukannya di jalan saat orang-orang bergegas. Tak ada yang memperhatikannya. Ia terlihat bingung. Dan ternyata benar, ia tersesat, terpisah dari ibunya. Ia terlalu takut untuk bertanya, hingga hanya berdiam diri dan tak ada seorangpun yang melihatnya. Lalu aku mengajaknya. Ingin aku mengantarnya.

Ah ia masih saja baik. Bukankah untuk perempuan, kebaikan adalah kecantikan tambahan.

Ia meneruskan : Lalu karena ia juga tidak ingat jalan pulang, maka aku mengajak serta menemuimu. Ia hanya ingat daerah tempatnya tinggal, tapi tak ingat sedikitpun jalan pulang. Aku sempat bertanya ke beberapa orang. Mereka tahu, tapi terlalu rumit buatku. Dan karena sepertinya ia telah percaya padaku, maka aku ajak serta menemuimu. Kupikir engkau telah tahu kota ini, jadi pasti tak kesulitan untuk menemaniku mengantarnya pulang. Lagipula aku telah berjanji untuk menemuimu kan.

Ia menjelaskan dengan sangat jelas, seterang mentari yang kini telah beranjak. Ia cerdas. Untuk wanita, kecerdasan adalah kecantikan tambahan [2]. Dan ia masih saja cerdas.

Bimbang tak lagi menggerumuti diri. Tak ada lagi penantian yang tak jelas. Membuatku bertanya tentang semua ini. Aku tak sempat berhenti mengaguminya. Hanya waktu yang akan menguliti semua bisu waktu yang mengalir. Kami berjalan, meninggalkan halte dan abang penjual gorengan dan segala dingin yang tertinggal di sana. Tak hendak kami kemana-mana, hanya ingin mengantarkan anak kecil itu ke pangkuan orang tuanya, setelah kami bersinggah ke rumah Tuhan : Sholat Maghrib.

Lampu-lampu jalan pasti menyiram kepala kami. Memayungi setiap langkah kami yang entah sampai kapan masih tetap berdiri di atas bumi. Semoga Tuhan menghendaki.

[1] Kata -kata dari puisi karangan Sapardi Djoko Damono: Aku ingin
[2] Kata-kata diambil dari novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer