Tuesday, January 02, 2007

Sebuah Cerita : Sekali Waktu di Halte Bus

Rintik tak kunjung berhenti. Tak ada tanda-tanda akan reda. Hujan terus mengguyur. Meninggalkan bau tanah yang sedap. Hujan pun masih tak sempat menyampaikan isyarat kepada awan yang berangsur-angsur dijadikannya tiada [1]. Air menghilangkan jejak-jejak debu di atas tanah, trotoar dan lantai halte bus. Lantai dimana aku berdiri sekarang.

Dingin tak kunjung berhenti. Tak ada tanda-tanda akan sirna. Angin terus berhembus. Meninggalkan semilir yang menusuk tulang. Jaketpun tak sempat menyampaikan kata-kata berhenti kepada angin yang terus membekukannya. Udara mencipratkan air hujan ke tempat duduk, koran bekas dan abang penjual gorengan. Manusia dimana aku terdiam di sebelahnya sekarang.

Matari tak jua tenggelam. Tak ada pertanda hari akan gelap. Cahayanya terus enggan bersinar. Meninggalkan terang yang tak lagi benderang. Katak tak sempat menyampaikan teriakannya kepada lalu lalang kendaraan yang mengaburkan suaranya. Api membakar tembakau dalam lintingan kertas, asap mengalir lewat campuran cengkeh dan masuk ke dada pemuda itu. Pemuda yang membuat aku terbatuk dalam tiap hembusan udaranya.

Ia tak jua datang. Tak ada langkah-langkah kecilnya. Waktu terus berputar girang. Meninggalkanku menunggu yang tak lagi sabar. Koin-koin detik tak sempat bergemerincing di saku-saku otakku yang mulai berkisut. Denting membisu dalam jam tanganku, mengelindan, mengirimkan cahaya bekunya ke mataku, ke syarafku, ke otakku. Ia yang membuat aku menunggu dalam tiap harap yang semakin cemas.

Lupa tak jua sirna. Tak ada kesempatan untuk mengubur. Memori terus menyeruak cepat. Mengingatkanku pada semua tentang ia. Bibir tak sempat mengucapkan namanya kala kaki melangkah meninggalkan perpisahan yang indah. Potongan-potongan masa menyatu, beranyam dan melebur dalam kanvas ingatanku. Kanvas yang meninggalkan begitu banyak warna yang kusam.

Ia tak jua datang. Tak ada pancar warnanya. Keinginan terus mendesak kuat. Membekukanku dalam tiap kata yang tak pernah terucap. Tangan tak sempat berujar ketika semua telah terlambat untuk diubah dengan segenap hati. Hanya Tuhan yang mengingatkan, membimbing dan menuntunku dalam tiap jejak langkahku. Jejak langkah di atas pasir lembut kehidupan.

Bukan ia tapi ia. Dan ia tak jua datang.

Koin-koin waktu telah penuh hingga tak bergemerincing lagi. Ia masih tak jua datang.

Waktu tak jua melambat. Tak ada sela yang dibiarkannya bercecer. Menyapu tiap jiwa tanpa pernah mengucap permisi. Pikiran tak sempat mencerna ketika semua alasan tertumpah ruah untuk menghibur diri yang resah. Hanya hati yang berbisik, ia akan datang, ia akan melangkah, karena ia yang menyuruhmu menunggu disini. Di tempat kau sedang menanti.

Langkahnya tak jua jenjang. Tak ada tanah panjang berlalu di bawah kakinya. Memastikan likunya yang hanya pendek. Kain tak sempat menghalangi tetesan air menimpa badannya langsung. Seorang anak kecil berjalan di sampingnya, menggandeng tangannya dan berjalan cepat-cepat. Tanyaku : siapa gerangan anak kecil itu?

Hujan tak lagi merambati tubuhnya (dan tubuh anak kecil itu). Tak ada sesuatu pun padaku untuk menyambutnya. Aku tak sempat berbuat apapun sebelum atau saat sedang berada di bawah atap ini. Akhirnya tanya tak sempat terhalang dari lidah untuk diteruskan ke bibir. Tentang anak kecil yang berjalan di sampingnya dan menggandeng tangannya tadi. Tanyaku (dengan senyum) : siapa ia?

Sunyi tak lagi terpatri. Tak ada hening lagi antara aku dan halte bus ini. Membuatku mempunyai sesuatu lain untuk menyambutnya. Ia tak sempat duduk untuk menjawab tanyaku. Jawaban keluar dari hatinya, berbinar-binar : Aku menemukannya di jalan saat orang-orang bergegas. Tak ada yang memperhatikannya. Ia terlihat bingung. Dan ternyata benar, ia tersesat, terpisah dari ibunya. Ia terlalu takut untuk bertanya, hingga hanya berdiam diri dan tak ada seorangpun yang melihatnya. Lalu aku mengajaknya. Ingin aku mengantarnya.

Ah ia masih saja baik. Bukankah untuk perempuan, kebaikan adalah kecantikan tambahan.

Ia meneruskan : Lalu karena ia juga tidak ingat jalan pulang, maka aku mengajak serta menemuimu. Ia hanya ingat daerah tempatnya tinggal, tapi tak ingat sedikitpun jalan pulang. Aku sempat bertanya ke beberapa orang. Mereka tahu, tapi terlalu rumit buatku. Dan karena sepertinya ia telah percaya padaku, maka aku ajak serta menemuimu. Kupikir engkau telah tahu kota ini, jadi pasti tak kesulitan untuk menemaniku mengantarnya pulang. Lagipula aku telah berjanji untuk menemuimu kan.

Ia menjelaskan dengan sangat jelas, seterang mentari yang kini telah beranjak. Ia cerdas. Untuk wanita, kecerdasan adalah kecantikan tambahan [2]. Dan ia masih saja cerdas.

Bimbang tak lagi menggerumuti diri. Tak ada lagi penantian yang tak jelas. Membuatku bertanya tentang semua ini. Aku tak sempat berhenti mengaguminya. Hanya waktu yang akan menguliti semua bisu waktu yang mengalir. Kami berjalan, meninggalkan halte dan abang penjual gorengan dan segala dingin yang tertinggal di sana. Tak hendak kami kemana-mana, hanya ingin mengantarkan anak kecil itu ke pangkuan orang tuanya, setelah kami bersinggah ke rumah Tuhan : Sholat Maghrib.

Lampu-lampu jalan pasti menyiram kepala kami. Memayungi setiap langkah kami yang entah sampai kapan masih tetap berdiri di atas bumi. Semoga Tuhan menghendaki.

[1] Kata -kata dari puisi karangan Sapardi Djoko Damono: Aku ingin
[2] Kata-kata diambil dari novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer