Sunday, March 26, 2006

Serius + santai


Ingin berada dalam suasana yang serius sekaligus santai. Tapi lebih tepatnya sesuatu yang santai dikerjakan dengan serius. Coba lakukan penelitian tentang kursi malas alias kursi untuk bersantai.

--Satu bagian kehidupan di masa-masa akhir kuliahku ^-^

Saturday, March 25, 2006


aku ingin melihatmu tersenyum
membagi semua keceriaan yang kau punya

aku tak ingin melihatmu bersedih
karena aku hanya ingin melihatmu tersenyum

Bunga untuk Bunda


17 Maret

"Di, makan dulu yuk. Gue dah laper ni."
"Mo makan dimana?"
"Dimana aja lah. Pokoknya yang kenyang. Kelaperan ni gue, ngikutin elo muter-muter seharian."
Skuter hitam nan lucu itu membelok pelan di persimpangan jalan dan berhenti di depan sebuah warung soto ayam.
"Mas, soto ayam 2, gak pake vetsin. Cepetan ya mas dah laper banget ni. Oiya sekalian es jeruk 1."
"Emang kamu laper banget ya, pake pesen 2 porsi. Saya juga mas, tapi satu mangkok aja, trus minumnya es teh manis aja."
Lalu lalang kendaraan di depan warung soto itu cukup padat seiring jam pulang kantor.
"Bukannya ulang tahun nyokap elo masih lusa? Kok dah grasak-grusuk nyari hadiahnya sekarang si?"
"Aku nggak mau aja kayak tahun kemarin. Dah niat buat ngasih kado buat bundaku, tapi nggak dapet gara2 baru nyari sehari sebelumnya."
"Emang bedanya ama yang sekarang apa? Elo bukannya ngedadak juga nyarinya?"
"Ya sih. Tapi paling nggak kan 2 hari sebelumnya, nggak kayak kemarin yang cuma punya waktu sehari, itupun nggak ketemu."
"Bukannya sekarang juga belum ketemu?"
"Ya sih. Tapi kan masih ada besok."
2 orang perempuan mungil berseragam SMA masuk ke warung dan mengambil duduk di sebelah dua pemuda ini.
"Untung ya Rin. Nenekku paling suka bunga yang ini. Soalnya sekarang lagi susah-susahnya nyari bunga yang kayak gini lho."
Adi yang di mulutnya masih penuh dengan nasi soto menoleh ke arah dua gadis itu. Melihat sebuah kantong plastik yang berisi bunga wamar berwarna putih. Seketika itu otaknya mengirim sinyal ke mulut untuk segera berkata.
"Mbwak, dwapet bwunganya dwari mnwana? Hargwanya brapwa? Mwaswih adwa gwak?"
Kedua perempuan itu tertegun.
"Mas ngomong apa sih?"
Dan seketika itu juga otak mengirimkan sinyal ke mulut, lidah dan kerongkongan untuk segera menelan makanan yang memenuhi mulut.
"Maksud aku, mbak beli taneman mawar itu dimana?"
"Yang ini mas?" perempuan itu menunjuk ke arah kantong berisi tanaman.
"Ya mawar putih itu."
"Ini belinya di tukang bunga dekat stadion sana," perempuan itu berkata sambil menunjuk ke arah luar warung.
"O yang deket SMA 1 itu?"
"Ya mas."
"Masih buka nggak sekarang?"
"Tadi sih masih. Coba aja kesana. Tadi sih bapaknya bilang buka sampe setengah lima."
Melirik sedikit jam tangannya, Adi segera bereaksi.
"Ri, cepetan makannya. Kita berburu lagi."
Adi dan Ari segera menuju skuter hitam nan lucu dan segera menggebernya ke arah Stadion Wilis.
Sampai di tukang bunga.
"Beneran nggak ada lagi ya pak?"
"Bener nak. Tadi yang ada bunganya terakhir dibeli sama anak SMA. Kalo mau tinggal yang cuma tanemannya doank."
"Yah, beneran nggak ada lagi ya pak".
Semburat cahaya kuning menerpa sisi bangunan stadion bola yang baru rampung dibangun itu.
"Dah yuk Ri. Pulang aja. Besok lagi aja."
Skuter hitam nan lucu itu segera dipacunya kembali menyusuri jalanan kota.

18 Maret

"Bi, Nah, Bunda ada di rumah?"
"Nggak ada mas. Lagi arisan. Mau titip pesen?"
"Nggak usah deh Bi. Jangan bilang-bilang kalau aku telpon ya."
"Lho kenapa mas?"
"Pokoknya nggak usah aja, Bi. Ntar aku kasih tahu deh pokoknya."
"Oke deh mas."
Adi memasukkan sebuah senter besar ke tas kecilnya lalu meluncur menuju skuternya. Beberapa detik kemudian ia telah menunggangi skuter hitamnya nan lucunya itu.
Tretetetetetretetetet......beberapa detik kemudian suara mesin skuter tersebut menghilang. Sengaja dimatikan beberapa meter sebelum depan rumahnya dan memanfaatkan gaya gravitasi akibat jalan menurun yang menghantarkan skuternya sampai tepat di depan rumah dengan hening. Diparkirnya skuter di bawah pohon jambu depan rumah.
"Bi, bunda belum pulang kan?"
"Belum mas. Jadinya mas mau ngapain? Tadi kan belum cerita."
"Sini deh, Bi, " perempuan yang sudah cukup sepuh itu mendekat dan Adi membisikkan sesuatu.
Beberapa saat kemudian. "Beres deh Mas. Pokoknya Bibi yang tanggung jawab kalau sewaktu-waktu Ibu pulang."
Adi segera mengeluarkan senter dari dalam tasnya dan menghambur ke halaman belakang. Sinar bulan purnama tak cukup menerangi gelapnya halaman belakang itu. Senter yang nyalanya redup nian karena baterai yang hampir habis itupun tak mampu berbuat banyak menolong penglihatannya. Alhasil ia harus membuka matanya lebar-lebar untuk memperjelas pandangannya.
Beberapa meter melangkah. "Mana ya??"
Beberapa meter berikutnya. "Dukkk. Aduh.." Kepala Adi terantuk pot gantung.
Sedangkan di dalam rumah. "Bi, daging yang tadi pagi sudah dimasukin ke kulkas kan?". Suara Bunda terdengar cukup keras meskipun dari dalam rumah.
Waduh, Bunda dah dateng, batin Adi.
Setelah berpuluh-puluh meter berkeliling di halaman belakang rumah dengan bantuan secuplik cahaya senter, akhirnya Adi menyerah.
"Kok nggak ada ya? Tadi ada tapi nggak ada." Adi menggaruk-garuk kepala dan bingung sendiri.
Adi benar-benar menyerah. Dengan jalan mengendap-ngendap ala maling, berputar lewat samping rumah akhirnya sampai ke tempat skuternya. Pfuihhh. Akhirnya berhasil menyelinap keluar dari halaman belakang tanpa ketahuan Bunda. Segera menuntun skuternya beberapa meter dan langsung tancap gas pulang ke kostan. Kost yang menampung kehidupan mandiri Adi. Adi yang memilih untuk nge-kost daripada tinggal dengan orang tuanya karena alasan ingin mandiri dan terutama jarak rumah-kampus yang sangat jauh.
"Waduh, gagal deh rencana 2." Adi mencoret kertas yang bertuliskan 'PLAN 2 --> aMbil aja pot bunga Bunda yang bunganya ada+mekar, tinggal diganti potnya dikasih ke Bunda-->beres [agak curang sih hehe;p].
Rencana apa lagi ya, batin Adi.
'Rencana 2 gagal,ada saran lain gak????", Adi mengirim SMS ke Ari.
Semenit hening, 5 menit belum dibalas, 15 menit Adi mulai jungkir balik gak jelas di tempat tidur. Menit ke 16 sebuah SMS masuk.
'Sori jek, baru bls.Mikirna susah tau.Lo dtg aj ke Ayu,dy kn punya byk bunga...'
Heeee, Adi terpana melihat solusi yang ditawarkan temannya itu. Berpuluh-puluh kata bercampur aduk di otaknya begitu melihat satu nama AYU. Hee cewek yang satu itu. Mantanku yang satu itu. Yang dulu belain nyusul kuliah disini biar sering ketemu. Ya sih punya banyak bunga en kalo gak salah juga punya mawar putih. Tapi gimana ya. Masa dah lama gak ketemu, dateng-dateng minta bunga. Kan gak enak@#$%^@@(&. Otak Adi setengah konslet.
'G punya usul laen ap', sebuah SMS meluncur.
'Gw g punya usul lg.Tu aj mikirna 1/2mati.Klo g brani bsok gw tmenin dh.Lgian bsok kn dh hrs ad bt nyokap lo'.
Adi dalam posisi berfikir. Mengingat, menimbang dan akhirnya memutuskan, besok ke rumah Ayu. Titik.
'G usah dtemenin.Bsok aq bs ksn sndiri.Thx'. Satu message meluncur.

19 Maret

Pagi yang cerah menemani Adi mengendarai skuter hitam nan lucu. Berhenti di depan pagar berwarna hijau, rumah Ayu. Sekali menarik napas panjang, berusaha meredakan ketegangan. Memasuki pekarangan yang penuh bunga, Adi sampai di depan pintu. Ting tong, bel pintu berbunyi. Seorang anak kecil membuka pintu.
"Pagi, Na...," Adi tersenyum ke anak kecil itu.
"Eh mas Adi."
"Mbak Ayu-nya ada?"
"Ada mas."
"Siapa Na yang datang?" seorang bapak muncul menuju ruang tamu. "Eh Adi."
"Ya, Om. Ayu-nya ada?"
"Ada tuh di belakang. Sebentar ya." Bapak dan anak itu masuk kembali ke dalam.
Adi duduk sendiri di ruang tamu itu. Masih seperti yang dulu. Harum wangi melati memenuhi ruang tamu ini. Sebuah boneka sapi lucu ada di sudut ruangan. Adi memandang ke langit-langit ruang itu.
Seorang perempuan telah ada di ruang tamu itu tanpa disadari Adi.
"Adi," perempuan itu memecah keheningan.
"Eh, Ayu." Tanpa bisa dikendalikan, Adi tiba-tiba menyerocos berkata.
"Sori, aku dateng. Aku cuma mau minta tolong. Aku nggak bakal ganggu kamu lagi setelah ini. Cuma sekali ini aja. Habis itu aku bakalan ngejauhin kamu lagi."
"Kamu ngomong apa sih?"
Untuk beberapa saat mereka berdua berbicara. Cukup lama.
"Sebenernya aku juga ngerasain itu," kata Ayu. "Sejak kita mutusin buat jadi sahabatan aja, aku ngerasa kita gak lagi sahabatan. Kita kayak lagi musuhan."
Adi terdiam dan mengangguk.
"Kamu tahu kan, " Ayu meneruskan," setahun terakhir kita cuma SMS 2 kali, itupun pas ulang tahunku sama ulang tahunmu. Itu namanya bukan sahabatan."
Hening sejenak.
"Okelah, dulu mungkin kita sempat marahan. Tapi itu kan dah lama banget. Kita dulu mutusin buat sahabatan kan, bukan musuhan. Jadi anggep aja kita baru ketemu trus kenalan trus jadi temen. That's all. Gimana?"
"Sepakat," kata Adi. Mereka berdua tersenyum.
Setelah berpanjang lebar, memperbaiki persahabatan mereka.....
"Jadi kamu mau ngehadiain mawar putih ke Bunda kamu?"
"Ya."
"Dan kamu kesini gara-gara di semua tempat gak ada?"
"Hehehe, iya sih.."
Mereka berdua keluar ke halaman depan.
"Aku pilihin mawar yang paling cantik buat bundamu." Beberapa saat kemudian, Ayu memegang pot berisi bunga mawar putih yang anggun merekah. "Pegang bentar ya," Ayu melangkah masuk rumah.
Ayu yang telah berganti pakaian menemui Adi yang masih memegang pot bunga. "Ayo pergi."
"Kemana?" Adi tertegun.
"Ya ke rumahmu."
"Ha..." Adi masih tertegun.
"Aku pingin ngasih selamat ke bundamu sekalian nganterin bunga yang cantik ini. Boleh kan?" Ayu tersenyum.
"Ya... boleh sih," Adi menggaruk-garuk kepala.
****
"Bunda ini bunga dari sahabatku......"

Bandung, 25 Maret 2006. Untuk Ibuku yang berulang tahun 19 Maret kemarin

Thursday, March 09, 2006

Panggung [Part 1]

Lagi suka dengan istilah 'panggung' setelah membaca beberapa halaman sebuah buku bagaimana menciptakan sebuah tokoh fiktif. Meskipun belum selesai membaca, tapi cukup mendapat gambaran tentang bagaimana cara pembaca berpikir tentang suatu tokoh dan bagaimana juga pembaca menyimpulkan suatu tokoh dari berbagai aktifitas yang terkait dengan tokoh tersebut. Kurang lebih seperti membaca sebuah buku psikologi bagaimana cara menilai kepribadian orang.

Kembali ke masalah panggung dan buku tadi. Saat menulis (lebih khusus saat membuat fiksi), seseorang bisa menjadi pelaku sekaligus sutradara. Penulis bisa menjadi orang yang terlibat di cerita tersebut atau juga berdiri berjarak dengan mengendalikan cerita yang dia buat. Saat berdiri di atas panggung ia bisa berbicara apa saja yang dia pikir ataupun menjadi sutradara yang hanya duduk di kursi sutradara sambil memegang skrip cerita. Nah semacam tersadar setelah membaca buku Stephen King on Writing, seseorang menulis cerita berdasarkan sebagian karakter yang dia punya. Jadi benar kalau kita bisa menebak pikiran orang dari cerita yang dia buat apalagi dari tulisan serius. Coba baca Little Prince (karangan sapa ya, pokoknya orang Prancis lah, susah nyebut namanya ^-^) kemudian bandingkan dengan kehidupan nyatanya. Mirip-mirip meski pakai simbol.

Nah kembali ke panggung lagi. (Kalau anda membaca tulisan di atas akan sedikit banyak tidak nyambung dengan tulisan selanjutnya, biasa penyakit kemana-mana dulu, gak bisa fokus...).

Apakah anda pandai 'membuat' panggung. Atau kalau istilah di atas, anda lebih banyak menjadi sutradara dalam suatu cerita daripada menjadi pelaku. Atau anda sering menjadi pelaku yang dapat mempengaruhi dramawan lain. Saya perjelas, apakah anda sering menjadikan orang lain perantara untuk mencapai tujuan anda atau sering mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu untuk kepentingan anda. Atau lebih jelas lagi anda termasuk orang yang manipulatif. Hati-hati anda bisa tergolong seorang psikopat (Ini menurut sebuah tulisan lho...) Lebih lengkapnya mungkin akan ditulis di lain kesempatan karena keterbatasan kondisi fisik saat menulis ini. Tunggu saja.

--Setelah kuliah beruntun 3 jam yang isinya hanya mendengarkan...-

Sunday, March 05, 2006

Because we are not a “one size fits all” world

Pernahkah anda merasa berada di atas sebuah panggung. Dengan lampu yang sangat terang menyorot ke wajah anda hingga anda sendiri tidak mampu memandang apapun dengan jelas. Atau ketika di panggung ketika lampu mulai meredup, anda melihat puluhan atau bahkan ratusan pasang mata memandang anda. Mengamati setiap gerak yang anda buat bahkan ketika anda sekedar menarik napas. Atau ketika duduk di kursi pesakitan dengan sepasang polisi menginterogasi anda dan anda memandang ke depan ke arah sebuah cermin yang anda tahu bahwa ada orang lain di balik cermin itu sedang mengamati setiap ucapan anda.

Anda mungkin pernah merasa ketika semua mata memandang ke arah anda, memandang dengan mata yang berbicara "Anda bersalah". Atau anda merasa semua yang anda kerjakan dipandang salah oleh orang lain. Dan lebih parahnya lagi sering tidak tahu letak kesalahan tersebut sebenarnya ada dimana.

Anda melakukan sesuatu dan tiba-tiba beberapa orang di sekitar anda memandang salah di diri anda. Dan anda sendiri pun bingung "Ada apa sih sebenarnya". Dan anda benar-benar bingung dengan kondisi itu. Bayangkan ketika beberapa teman anda melakukan embargo bicara kepada anda. Dan anda tidak tahu letak masalahnya ada dimana karena orang di sekitar anda memilih tutup mulut. Dan anda harus rela untuk mengejar-ngejar informasi tentang masalah yang menyangkut diri anda. Dan ketika anda telah tahu duduk permasalahannya anda bisa berujar "Oooo " sembari merasakan kelegaan.

Saat ada orang lain yang 'bermasalah' dengan anda dan anda tidak tahu bahwa anda 'dipermasalahkan', bisa jadi karena faktor komunikasi yang terhambat. Mungkin anda terlalu cuek atau anda terlalu 'galak' hingga orang tidak berani mendekati anda. Saat itu anda harus melepas sebentar ego anda (jikalau cuek atau galak adalah ego anda) dan bertanya "Emang gue salah apa sih?" atau "Emang ada masalah ya?".

Nah saat anda berbicara "Emang ada masalah ya?" ada hal yang menarik. Kata salah seorang teman saya "Masalah itu adanya di kepala". Saat orang lain mengatakan sesuatu itu masalah, anda mungkin menyatakan itu tidak masalah. Teringat cerita Nasrudin Hoja dengan anaknya yang berjalan dengan keledai. Setiap hal yang dilakukan Nasrudin dan anaknya dengan keledainya itu selalu menghasilkan komentar dari orang yang melihatnya. Pertama, saat sang anak duduk di atas keledai, Nasrudin berjalan. Kedua, Nasrudin di atas keledai, sang anak berjalan. Ketiga, sang anak dan Nasrudin sama-sama menuntun keledainya. Keempat, sang anak dan Nasrudin sama-sama menaiki keledainya. Karena masih mendapat komentar orang, akhirnya keduanya menggotong keledainya. Alih-alih mendapat penyelesaian mereka malah mendapat komentar yang lebih keras. Dan akhirnya Nasrudin berkata, "Kita tidak akan dapat memuaskan setiap orang."

Nah setelah berputar-putar tidak karuan dengan tulisan di atas saya hanya bisa berkata "Ngomong dong kalo ada masalah. Gue bukan dukun". Atau anda harus sejenak melepas rompi-rompi ego anda, 'turun ke bumi', untuk akhirnya berkata " Ooo itu tho masalah. Nyuwun pangampunten." Atau anda harus lebih bersabar ketika anda telah berjungkirbalik melakukan sesuatu yang benar dengan benar pula dan masih ada pula yang berujar "Nggak gitu seharusnya, Jek. Punya lo itu salah." Because we are not a “one size fits all” world. Pfuihh...

--Because we are not a “one size fits all” world-- salah satu slogan yang mengiringiku mengerjakan Tugas Akhir. ^-^