Thursday, November 24, 2005

Seekor burung dan bidadari kecil

Aku keluar pagi ini dari rumah mungilku. Setelah merapikan sayapku, aku mengepakkan sayapku terbang keluar rumah. Udara terasa sangat segar membungkus tubuhku. Selembar angin membelai tubuhku dengan sangat sopan. Dunia yang indah.

Yang kutuju pagi ini adalah puncak pohon rindang ini, yang telah aku kenal seumur hidupku karena telah begitu setia meneduhi rumah mungilku.

Dari puncak pohon ini aku bisa melihat hijau indahnya lekukan kebun teh yang terhampar sejauh pandangan mata. Selaksa sebuah karpet yang terbentang tak berujung. Cakrawala tampak begitu perkasa, meleburkan birunya langit dengan hijaunya dedaunan. Dedaunan meliukkan tubuhnya mengikuti titah sang angin. Aku hanya bisa memandang dan menarik nafas, merasakan udara segar beraroma teh merasuki setiap rongga alveolusku.

Dari puncak pohon ini aku melihat sesosok makhluk mungil yang berjalan di antara rerimbunan semak teh. Sesosok perempuan kecil yang berpakaian serba putih. Dari kejauhan pun aku bisa menangkap paras wajahnya yang ayu. Jari-jemarinya yang lentik, bersentuhan lembut dengan pucuk daun teh saat perempuan kecil itu berlari, mengitari sekumpulan rimbun teh.

Aku meluncur ke bawah, menuju tempat perempuan kecil itu. Sesekali memejamkan mata sambil terus mengepakkan sayap. Menikmati setiap belaian udara yang menyapa tubuh. Semakin mendekat dengan perempuan mungil itu, aku semakin terpesona dengan keelokannya. Seperti seseorang bidadari.

Semakin dekat, aku mendaratkan kakiku di sebuah ranting tumbuhan teh ,dalam jarak yang cukup dekat untuk mengagumi kecantikannya. Sebuah mahakarya yang tercipta di antara mahakarya-mahakarya yang lain. Senyum yang terkembang dari bibir mungilnya sangggup menceriakan setiap hati yang berduka. Dari matanya yang biru aku menangkap sejumput kesedihan yang tak terungkap. Aku tak tahu apa itu. Gerak tubuhnya yang halus mengisyaratkan pada setiap angin untuk membeku.

Di balik kesempurnaannya, aku melihat embun-embun keangkuhan yang menempel di tiap helai gaunnya. Aku melihat....aku melihat...lebih baik aku memejamkan mata. Setetes air tangis mengalir dari kedua mataku. Aku tidak bisa berujar lagi, aku hanya bisa merasa. Inginku mendekat padanya, menguapkan setiap bulir embun keangkuhan dari dirinya. Tapi siapa aku...Aku hanya seekor burung sedang dia seorang bidadari.

Perempuan tercantik pertamaku

Ada seorang perempuan yang sangat dekat dengan kehidupanku. Aku menjadikannya sebagai perempuan tercantik pertamaku. Meskipun kala itu aku pun sendiri belum mengenal apa itu cantik apalagi definisi cantik yang kalau dibicarkan akan sangat njelimet.

Masih teringat sampai sekarang, waktu masih kecil aku sering mengatakan "Ibuku paling cantik sedunia". Persis seperti itu redaksi katanya dan dalam bahasa Indonesia (meskipun bahasa ibu yang aku pakai adalah bahasa Jawa). Ya, perempuan itu adalah ibuku. Perantara dari Tuhan yang mengeluarkan aku ke dunia ini.

Wajar saja, apabila anak kecil sangat dekat dengan orangtuanya. Dan waktu kecil, aku juga begitu dekat dengan ibuku. Boleh dikatakan sedikit manja karena waktu itu aku masih menjadi anak bungsu sebelum adikku lahir.

Saat seseorang hanya ada di satu lingkungan tanpa keluar dari lingkungan tersebut dan tidak ada informasi luar yang masuk ke lingkungan tersebut,maka orang tersebut hanya tahu dan mengenal apa-apa yang ada di lingkungannya. Mungkin begitulah alasan logis mengapa waktu kecil itu aku menyebut ibuku sebagai perempuan tercantik sedunia. Saat sebagian besar waktu dihabiskan di rumah, interaksi dengan orang maksimal dengan tetangga rumah atau saudara, jelas saja kalau perempuan yang paling dekat denganku adalah ibuku, yang setiap hari merawatku, bermain denganku dan memarahiku saat aku nakal.

Meskipun pemikiran perempuan tercantik ini ada waktu aku masih kecil, tetapi aku masih konsisten sampai sekarang. Meskipun kerangka berpikir tentang perempuan tercantik ini sedikit banyak pasti berubah. (Ataukah persepsi tentang kecantikan tidak berasal dari pikiran yang logis tetapi dari rasa yang menilai keindahan. Apapunlah). Karena, seperti yang aku katakan tadi, sudah begitu banyak lingkungan yang keluar masuk dalam kehidupanku. Sudah banyak orang-orang yang berinteraksi denganku termasuk yang bernama perempuan. Dan itu pasti merubah sudut pandangku tentang kecantikan. Dulu aku menganggap ibuku tercantik karena hanya ibuku itulah perempuan yang dekat denganku. Tetapi sekarang aku masih menganggap beliau yang paling cantik (yang jelas jangan dinilai dari segi fisik) karena jasa-jasa beliau yang tidak ternilai. Mana ada sih yang lebih cantik dari ibunda kita tercinta?

Perempuan tercantik keduaku? Akupun belum tahu. Mungkin akan kutemui pada saat-saat mendatang. Semoga bisa menjadi perempuan tercantik pertama bagi anak-anakku kelak.......

Sunday, November 13, 2005

Bukan cewek psycho?

Perjalanan Bandung-Madiun biasanya ditempuh dalam waktu sekitar setengah hari atau 12 jam lebih (biasanya lebihnya banyak...). Begitu juga waktu mudik kemarin. Berangkat dari terminal Cicaheum jam 7 malam sampai Madiun jam 10 pagi.

Nah kalau perjalanan panjang sendirian, ritual yang dilakukan adalah pesan tiket (biasanya bus), pilih tempat duduk di lambung bis tengah bagian kanan yang dekat jendela. Pas udah di dalam bus, setelah nempatin barang bawaan langsung siap-siap buat tidur panjang...Nah kebiasaan tidur panjang ini nggak bisa dihilangin sampai-sampai waktu dulu mudik bareng temen-temen SMA, pasti saya yang tidurnya duluan dan paling lama. Cuma bangun pas busnya berhenti atau kalau ada yang bangunin.

Seperti mudik terakhir kemarin. Tidur panjang kali ini bukan karena memang ingin tidur tapi karena terpaksa tidur.

Begini ceritanya....

Jam setengah empat sore, sampai di Caheum, ngurus tiket blablabla, nunggu busnya nggak datang-datang... (yang ini dicut aja nggak penting...)

Akhirnya bus yang mau dinaiki tiba juga. Masuk ke bus, ngambil posisi. Suasana dalam bus lumayan kacau. Lagian, salah sendiri, di dalam bus nggak dikasih nomer tempat duduk, jadinya penumpang yang sudah naik ke badan bus harus bolak-balik nyari tempat duduk yang dimaksud di tiket. Kebetulan saya tadi ngelihat denah tempat duduk jadi begitu nyampe langsung ambil posisi.

Ada mbak-mbak (mbaknya cuma satu) yang datang, duduk di sebelah. Lalu ngomong kalau busnya nggak kaya' biasanya. Yang ini lebih jelek dst dst. Aku cuma bisa manggut-manggut aja. Eh ternyata mbak yang ini salah tempat duduk. Bukan di sebelahku tapi di belakang tempat duduk yang ditempatinya sekarang. Jadinya tempat duduk di sebelahku kosong. Menunggu manusia lain untuk menempatinya. Cie.. Perasaan jadi nggak enak deh.

Nah berikutnya daripada bengong gak jelas, aku baca buku. Beberapa saat kemudian datanglah mbak-mbak lagi. Nggak ngelihat langsung, tapi bisa kelihatan dari pantulan kaca bus yang ada di sebelahku. Masih baca buku dan nyuekin si mbak-mbak tadi. Lalu si mbak ini mbuyarin konsentrasi, pake acara nawar majalah yang kira-kira durasinya nyampe 15 menitan, sampe nggak tega denger suara penjual majalahnya yang akhirnya kalah sama si mbak ini. Trus berikutnya nawar harga roti, lama juga, kasihan juga ndenger penjual roti yang akhirnya ditaklukkan sama si mbak ini. Akhirnya karena penasaran, aku berhenti baca buku, kaya apa sih mbak yang duduk di sebelahku ini. Rupanya si mbak ini lebih sigap. Dia membuka obrolan lebih dulu. Pertanyaan standar. Turun dimana masa? dst dst. Tapi yang membuat saya merasa aneh, setiap kali mbak ini selesai bicara selalu senyum-senyum nggak jelas trus ketawa kecil. Jadi inget Mpok Hindun-nya bajaj bajuri. Lumayan persis. Serem.

"Mas namanya aan ya?"
Waduh kok tahu. "Kok tahu mbak?". Gawat nih, perasaan nggak pernah kenalan deh.
"Ya tahu donk". Waduh tambah gawat aja nih. Jangan-jangan cewek psycho.
"Kan tadi ngelihat di daftar penumpang yang ada di loket sana". Oh jawaban si mbak ini lumayan menenangkan tapi tetap aja ngerasa serem. Lalu ngobrol ngalur-ngidul, nggak lupa mbak ini masih cengar-cengir nggak jelas.

Lalu mencoba mencari bala bantuan. SMS ke seorang temen. TOLONG!!! sebelahku ada cewek psycho. Senyum-senyum sendiri gak jelas. Lalu dibales. Ya udah mending pura-pura tidur aja. Kalau masih nggak mempan jutekin aja. Tapi ati2 ntar diapa2in lho. Lumayan solutif. Jadinya untuk selanjutnya aku memilih untuk tiduk aja. Cuek mau diapain juga.

Tengah malam, masih di bus, nggak tahu sudah nyampe mana. Terbangun gara-gara ramai orang, termasuk dari mbak sebelahku ini. Cerewet banget. Rupanya beberapa orang terkena tetesan air dari atap bus. Nggak tahu dari AC atau dari air hujan. Nah karena masih berasumsi kalau mbak di sebelahku tuh psycho, makanya cuek aja, nerusin tidur. Tapi nggak bisa, karena rame banget. Berusaha memberikan sedikit perhatian dan karena aku sendiri akhirnya terkena tetesan air juga.
"Masih ketetesan mbak?"
"Ya nih masih".
"Saya juga ketetesan". Sambil menunjuk celana bagian kiri yang sedikit basah. Eh tiba-tiba si mbak ini pegang paha saya sambil ngomong, "Nggak basah gini kok". Waduh gawat nih udah pegang-pegang. Nggak bisa dibiarin nih. Sebelum sempat bertindak, si mbak sudah memindahkan tangannya menjauh dari saya. Ya Allah kuatkan hamba-Mu ini. Cewek psycho bukan sih? Karena sudah malas berfikir akhirnya tidur lagi.

Bangun, sholat Subuh, trus tidur lagi.

Akhirnya si Mbak turun juga. Satu terminal sebelum terminal Madiun. Pfuih akhirnya si mbak ini turun juga.

Sampai di terminal Madiun, kirim SMS ke teman yang sama dengan sebelumnya, menceritakan (dan menertawakan) kejadian semalam. Temanku bales SMSnya lumayan panjang. Ada doanya pula. .....semoga pas balik ntar nggak ketemu sama cewek psycho lagi.... Amin.

Friday, November 11, 2005

Liburan Lebaran

Liburan. Mudik. Pulang kampung. Menikmati hari-hari terakhir Ramadhan dan juga Idul Fitri bareng keluarga. Nah yang paling seru tentu saja bisa berantem lagi ama adek kecilku hehe.

Ada beberapa hal yang sedikit mengusik (tapi setelah dipikir-pikir lagi ternyata tidak...)selama liburan kemarin.

Awal-awal liburan main ke rumah Mbahkung (Mbah kakung : kakek). Nah disitu ketemu dengan beberapa sepupuku yang perempuan (nggak tahu kenapa pas main kok ya ketemunya yang cewek...;p). Pertama kali ngobrol...
"Lho mas, JI tho??"
"Apa tuh JI?"
"Jenggot item.."
Gubrak. Pertanyaan nggak penting. Ternyata ngebahas jenggotku yang rupanya sudah mulai memanjang, lupa dicukur sebelum pulang kampung. Waduh ketahuan deh. Asal nggak dicap sebagai anggota JI beneran nggak papa deh. Yang ini beneran lho. Rupanya media memang benar-benar menjadi alat propaganda yang sangat ampuh untuk menggerakkan pikiran publik. Buktinya benar-benar bisa dirasakan. Ya di keluargaku itu. Kasus terakhir ketika saya ingin pindah SMU ke AL Azhar. Hanya karena memakai kata-kata 'Al Azhar', hampir saja saya tidak bisa pindah sekolah, dilarang sama PakPuh (Bapak Sepuh : Om). Untung saja setelah lobi-lobi secara akal sehat (apa coba...), akhirnya diperbolehkan.

Berikutnya, masih di rumah Mbahkung, tapi saat Idul Fitri tiba. Setelah sungkeman dan lain sebagainya. Seperti biasa keluarga besar kakekku itu bercengkerama seperti biasa. Di sela-sela pembicaraan yang panjang lebar, tiba-tiba mbahkung berkata...
"Lha kalo Aan dah punya cais?"
"Cais, makanan apaan sih ??" batinku.
"Cais apaan sih mbahkung ?"
"Hoalah dasar bocah cilik, cais tuh ya calon istri".
Gubrak lagi. Kalo ini pertanyaan ehmm lumayan penting sih.
Dengan malu-malu dan muka menunduk.
"Belum mbahkung. Ntar kalau udah ada pasti bilang".
Ya maklum, di antara cucu-cucunya, hampir semuanya sudah beranjak dewasa. Hanya beberapa cucunya saja yang masih kecil, banyak yang sudah menikah dan mempunyai momongan. Jadi kecil-kecil begini dah jadi om lho.

Masih di rumah mbahkung, dan masih di hari yang sama. Kali ini giliran ngobrol sama sepupuku. Temanya adalah pekerjaan, karena mengingat kuliahku yang sudah masuk tingkat-tingkat akhir. Kebetulan sepupuku ini (lagi-lagi cewek) kerja di bank. Di kawasan Sudirman Jakarta, wuiih. Lumayan ngobrol banyak, dapat gambaran ke depan.

Kali ini sedang bercengkerama dengan ibunda tercinta.
"Nanti setelah lulus mau kerja dimana?"
"Nggak tahu Bu. Mungkin di Bandung".
Mungkin sedang nonton acara infotainment yang isinya artis yang nggak bisa masak trus ditinggal mudik pembantunya.
"Ntar kalo nyari istri yang bisa masak ya".
Glek. Masih bengong dengan pertanyaan Ibuku, tiba-tiba keluar jawaban, "Kalo nggak ada gimana Bu?".
"Ya ntar biar kursus dulu sama Ibu".
Hmm. Ya terserah lah. Tapi yang jelas pertanyaan ini bukan provokasi. Saya tahu kalau ibuku ingin anak-anaknya mapan dahulu, paling nggak bisa bisa mandiri terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk berkeluarga. Kalau yang ini sih sepakat. Minimal tidak membebani orang tua lagi.

Nah lain cerita saat main ke rumah teman.
"An, kok masih kurus sih?".
"Ya nih di Bandung nggak ada yang ngurusin"
"Ya udah cepet cari orang yang ngurusin"
"Pembantu??"
Hehehe. Apapun lah.

Ternyata sadar ataupun nggak sadar, kita akan beranjak semakin tua (dan dewasa). Semakin banyak tanggungjawab yang harus kita pegang. Semakin banyak harapan-harapan yang muncul dari orang-orang di sekitar kita. Dan mungkin akan muncul manusia yang menunggu kehadiran kita (pede benget ;p).