Aku keluar pagi ini dari rumah mungilku. Setelah merapikan sayapku, aku mengepakkan sayapku terbang keluar rumah. Udara terasa sangat segar membungkus tubuhku. Selembar angin membelai tubuhku dengan sangat sopan. Dunia yang indah.
Yang kutuju pagi ini adalah puncak pohon rindang ini, yang telah aku kenal seumur hidupku karena telah begitu setia meneduhi rumah mungilku.
Dari puncak pohon ini aku bisa melihat hijau indahnya lekukan kebun teh yang terhampar sejauh pandangan mata. Selaksa sebuah karpet yang terbentang tak berujung. Cakrawala tampak begitu perkasa, meleburkan birunya langit dengan hijaunya dedaunan. Dedaunan meliukkan tubuhnya mengikuti titah sang angin. Aku hanya bisa memandang dan menarik nafas, merasakan udara segar beraroma teh merasuki setiap rongga alveolusku.
Dari puncak pohon ini aku melihat sesosok makhluk mungil yang berjalan di antara rerimbunan semak teh. Sesosok perempuan kecil yang berpakaian serba putih. Dari kejauhan pun aku bisa menangkap paras wajahnya yang ayu. Jari-jemarinya yang lentik, bersentuhan lembut dengan pucuk daun teh saat perempuan kecil itu berlari, mengitari sekumpulan rimbun teh.
Aku meluncur ke bawah, menuju tempat perempuan kecil itu. Sesekali memejamkan mata sambil terus mengepakkan sayap. Menikmati setiap belaian udara yang menyapa tubuh. Semakin mendekat dengan perempuan mungil itu, aku semakin terpesona dengan keelokannya. Seperti seseorang bidadari.
Semakin dekat, aku mendaratkan kakiku di sebuah ranting tumbuhan teh ,dalam jarak yang cukup dekat untuk mengagumi kecantikannya. Sebuah mahakarya yang tercipta di antara mahakarya-mahakarya yang lain. Senyum yang terkembang dari bibir mungilnya sangggup menceriakan setiap hati yang berduka. Dari matanya yang biru aku menangkap sejumput kesedihan yang tak terungkap. Aku tak tahu apa itu. Gerak tubuhnya yang halus mengisyaratkan pada setiap angin untuk membeku.
Di balik kesempurnaannya, aku melihat embun-embun keangkuhan yang menempel di tiap helai gaunnya. Aku melihat....aku melihat...lebih baik aku memejamkan mata. Setetes air tangis mengalir dari kedua mataku. Aku tidak bisa berujar lagi, aku hanya bisa merasa. Inginku mendekat padanya, menguapkan setiap bulir embun keangkuhan dari dirinya. Tapi siapa aku...Aku hanya seekor burung sedang dia seorang bidadari.
No comments:
Post a Comment