Friday, August 25, 2006

Pelangi

Rumput belum kering benar saat aku duduk di atasnya. Padahal matahari sudah setinggi penggalah. Aku duduk di sampingnya. Dia duduk di sampingku. Ia memegang pensil kesukaannya dan memindahkan setiap detail bangunan yang ada di depan kami ke dalam kertasnya. Aku sesekali memandang lewat matanya. Matanya yang bulat, sangat luas menyimpan kedalaman cita-cita yang tak terperi.

"Aku ingin jadi relawan kemanusiaan di Afrika. Biarpun susah tapi aku ingin," katanya suatu saat.
"Aku ingin berkeliling Eropa. Bernyanyi, berpuisi, apapun yang aku bisa," katanya di saat yang lain.

Dan di balik kacamata minus 2 itulah, setiap kejujurannya tertumpah.

Matahari memang belum tinggi. Tapi sinarnya mampu memanaskan satu sisi bumi yang kebetulan terkena cahayanya. Aku sesekali mengusap keringat dengan lengan bajuku. Pun ia.

Aku menanyakan tentang kabar ayahnya yang sakit. Ia menjawab dengan tenang sambil tetap lincah menggoreskan sketsa-sketsa di atas kertas. Ayahnya masih sakit. Ayahnya harus melakukan cuci darah setiap 2 minggu.

Dia balik bertanya padaku. Menanyakan kabar kuliahku. Aku langsung menumpahkan semua isi kepalaku yang penuh sesak dengan kedongkolan. Semua tugas-tugas kuliah yang menyebalkan. Tak sedikitpun dibiarkannya aku bernapas barang sejenak. Aku muak. Belum lagi pekerjaan-pekerjaan lain yang hanya menyempitkan waktu tidurku.

Dia hanya tersenyum. Menghentikan gerak jarinya dan menatapku. Matanya yang bening, menyihir, membiusku untuk tenang. Bukankah bersama kesulitan selalu ada kemudahan, katanya. Aku menerawang. Aku berpikir. Tidak, aku sedang tidak berpikir. Pikirannnyalah yang masuk ke kepalaku. Ah memang ia selalu lebih bijak. Bukankah Tuhan menciptakan kesulitan untuk mendewasakan hambaNya, lanjutnya. Ah ia memang benar. Aku malu.

Ia berpaling lagi ke sketsanya. Sebentar mengubah posisi duduknya, lalu tenang kembali, melanjutkan gerak jarinya. Kami selalu bersama semenjak kecil. Bermain hujan bersama hingga pelangi saja yang tinggal terlukis di cakrawala. Berlarian menyusuri jalanan kampung, menerobos kebun tebu atau sekedar mencuri mangga yang bahkan belum matang. Kami masih kecil waktu itu, lugu tak mengenal dosa.

Aku bosan dengan dunia ini. Katanya tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Apa. Dia mengulangi perkataannya lagi. Aku bosan dunia ini. Dunia yang mana, tanyaku. Dunia kita, katanya. Kepalaku berdentang, berdenting, berdetik. Pikiranku kosong, kenapa ia menanyakan ini. Apakah tak ada cara lain untuk lebih dekat kepada Tuhan, lanjutnya. Hah. Pikiranku semakin kosong, terkuras. Aku tak mampu menjawab itu. Lidahku kelu, kaku, beku. Aku coba menjawab. Mungkin ada, kataku dengan sangat tidak yakin. Jawaban macam apa ini. Aku bahkan tidak mampu menjawab pertanyaannya. Aku malu lagi.

Ia kembali berpaling ke sketsanya. Mutiara air dari langit menyentuh bahuku. Gerimis hujan. Aku beranjak setelah aku sadar ia juga beranjak. Pikiranku masih kosong. Kami berteduh. Kami masih menghadap bangunan itu. Ia menambah garis-garis gerimis hujan di sketsanya. Ia melukiskan kesedihan di sketsnya. Matanya yang bulat, bening tapi wajahnya tirus. Ia sakit. Ia sakit seperti ayahnya sakit. Tapi ia tegar. Aku malu lagi.

Hujan berhenti dan ia pun berhenti menggambar. Dengan telunjuknya ia menunjuk satu sisi langit. Lihat itu pelangi, katanya. Aku tidak melihat pelangi itu dengan mataku, tapi aku melihat pelangi itu lewat matanya yang bening.

Bandung, 25 Aug 2006

5 comments:

Anonymous said...

ini cerita tentang pelangi ape tentang matanya yang bening :p piss bro....

Anonymous said...

an, ak masih g bs kash komen g?

Anonymous said...

eh dah bisa ^ ^
anyway, that story is touching...what if we make it true, i mean, in a 10 minutes movie ^ ^

Anonymous said...

boleh2
bintang filmnya sapa?^ ^

Anonymous said...

lha ya kamu to an, dan seseorang yang bermata bulat ^ ^