Wednesday, September 13, 2006

Cerita perjalanan

Saya tidak tahu apakah hal ini baik atau buruk.

Ceritanya, beberapa hari yang lalu saya bepergian ke daerah Jakarta Utara sendirian. Menyusuri bagian utara Jakarta Utara yang menyemburkan bau anyir atau amis (saya juga tidak tahu itu jenis bau apa). Angkot-angkot yang saya tumpangi tak jauh beda dengan angkot-angkot yang biasa saya kendarai di Bandung. Tapi ada beberapa hal aneh ketika saya 'berjalan' di daerah utara Jakarta Utara ini.

Pertama. Orang Jakarta biasanya sangat individualis. Itu stereotip. Entah karena ketatnya persaingan atau memang keturunan. Hal itu bisa dilihat dari sopir-sopir bajaj yang saling tidak mau mengalah sambil menaruh kaki kirinya di 'dashboard' bajaj dengan santainya. Atau teriakan-teriakan kernet yang memekakkan telinga memaksa orang memasuki busnya. Atau bunyi-bunyi klakson dari kendaraan yang terus saja meraung padahal semua orang yang tumpah ruah disitu tahu kalau sedang macet. Tapi di hari saya melakukan perjalanan itu ada hal yang membuat saya sedikit termenung. Ketika saya menanyakan apa yang harus saya kendarai dari daerah Kelapa Gading ke daerah Pluit, orang-orang yang saya tanyai menjawab saya dengan sangat sangat ramah. Begitu juga ketika di bus kota. Kernet akan melambatkan waktu berhenti-jalan bus ketika ada orang yang sudah sepuh hendak naik atau turun. Orang-orang akan rela menyerahkan tempat duduknya ke orang yang sudah sepuh agar orang yang sudah sepuh tersebut lebih nyaman mengendarai kendaraan yang sebenarnya tak lagi layak pakai ini. Jadi tidak hanya seperti yang kita lihat di salah satu iklan rokok yang berjargon 'Buktikan merahmu' saja. Sampai tahap ini, sisi individualis dari orang-orang Jakarta tidak terlihat. Mungkin saya memang sedang tidak bisa melihatnya.

Kedua. Masih berkaitan dengan paragraf di atas. Kenapa banyak orang-orang sepuh yang bepergian sendiri di kota seramai ini. Apakah memang mereka tidak mempunyai keluarga yang paling tidak bisa mengantarkan mereka bepergian memakai kendaraan umum yang jarang nyaman ini. Saya melihatnya sebagai salah satu hal yang tidak biasa. Kenapa tidak biasa, karena dari 2 kota yang saya tinggali (Madiun dan Bandung) kejadian orang sepuh 'berjalan-jalan' sendiri sangat jarang terjadi. Untuk negara dengan tingkat aksesibilitas bagi orang cacat dan lanjut usia sangat rendah seperti Indonesia ini, kejadian tersebut sangat memprihatinkan (minimal buat saya). Jika di negara Eropa sarana publik sangat memperhatikan faktor aksesibilitas untuk orang cacat dan lanjut usia, maka sangat wajar jika orang-orang cacat dan lanjut usia bepergian sendirian. Di samping karena orang-orangnya juga individualistis. Tapi di negara kita, yang sarana publiknya sangat 'sederhana' ini, yang asal ada tanpa memperhatikan penggunanya, yang masyarakatnya katanya kolektif, bagaimana bisa orang-orang lanjut usia dibiarkan bepergian sendirian. Aneh.

Karena sendirian, saya banyak merenung selama bepergian di tatar Sunda Kelapa itu. Hanya sesekali bercakap untuk memastikan saya tidak akan tersesat di kota sebesar ini. Dan dalam perenungan itu saya menemukan hal-hal baik yang ada di sekitar hal yang 'kurang baik'. Dan hal-hal 'kurang baik' yang bergumul dengan hal-hal baik. Sebenarnya saya ingin menuliskan hal lebih banyak lagi. Tapi cukuplah sampai disini cerita perjalanan saya di tatar Sunda Kelapa itu.

No comments: