Friday, October 13, 2006

Ayahku

Garis wajahnya keras tapi ia tampan. Garis wajah itulah yang kumiliki sekarang. Ia duduk di kursi meja makan, menyeruput kopi kental nan panas. Udara pagi menyusur lewat jendela yang ada di sampingnya, melambaikan rambutnya yang beberapa telah mulai memutih.

Ia menatap ke arahku ketika aku berteriak, menyemburat ke arahnya.
"Ayah..."
"Ibu kan sudah bilang. Kalau besok pagi sekolah, peralatannya harus disiapkan. Jangan pagi-pagi begini baru sibuk mencari peralatan yang tidak ada."

Ayah menjadi benteng pelarianku ketika aku mendapat marah dari ibu. Pembawaannya sangat tenang meskipun sekali waktu amarahnya bisa meledak sangat hebat. Aku pernah melihatnya mematahkan sebuah meja kayu ketika bertengkar dengan ibu.

"Beristirahatlah, sayang. Engkau terlalu lelah bekerja, " kata ibuku suatu waktu ke Ayah.

Ia menggendong adik kecilku sambil melayani pukulan-pukulan raketku. Ia sanggup mengembalikan setiap shuttlecock yang terarah ke daerahnya meskipun satu tangannya menggendong adik kecilku. Ia sangat mahir bermain bulu tangkis. Aku dibuatnya jungkir balik, mengembalikan setiap pukulannya.

Ialah yang pertama kali mengajariku bersisir sendiri. Ialah yang sering berbelanja kopi, gula dan tentu saja minyak rambut. Minyak rambut yang dipakai untuk merapikan rambutku.

Aku sering mendengarnya membaca Qur'an di ruang tamu.
"Ayah hanya bisa membaca Qur'an, tapi tak bisa menulisnya," katanya sembari tersenyum.
Ia membaca sebuah Qur'an yang tulisannya tercetak di atas kertas yang coklat dengan huruf-huruf yang sangat berdempetan. Ketika aku membaca Qur'an itu, aku merasa sangat kesulitan. Tapi ayahku membacanya dengan sangat lancar.

Ialah yang setiap catur wulan membawakan sebuah piagam penghargaan dari kantornya. Piagam karena aku mendapatkan rangking berapapun. Dan piagam itu masih tertumpuk rapi hingga sekarang.

Ia beberapa kali menunjukkan bekas jahitan di perut bagian kirinya. Luka bekas operasi.

Suatu hari aku melihatnya kesakitan dan setelah itu ia pergi.

****

Pernah ada yang bertanya, "Bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang dicintai?"
"Apa kau pernah kehilangan sebuah benda?"
"Iya pernah."
"Jauh lebih sakit daripada itu."

Aku tidak ingat kapan ia meninggal. Yang jelas aku merindukannya. Merindukan secangkir kopi yang tiap pagi ia minum, dekapannya, suaranya membaca Qur'an, lelucon-leluconnya, piagam yang ia bawa setiap cawu dan semua hal tentang dirinya. Jika ia masih ada sekarang, aku ingin bercerita tentang banyak hal kepadanya. Ayahku.

-Jangan pernah menyiakan setiap detik yang dianugerahkan Allah kepada kita untuk berbakti kepada orang tua-

2 comments:

Anonymous said...

Ini kisah beneran? Kalo beneran,, banyak hal yang mirip ama sy

Anonymous said...

Karena cerita, isinya beneran kenyataan. Tapi untuk masalah kemasan cerita, tentu saja ada yang ditambah2in.