Wednesday, November 29, 2006

Sang Arsitek [2]

Ia telah menungguku di sana. Di satu sudut kafe. Di mejanya terdapat sebuah laptop dan sebuah cangkir. Mungkin teh, mungkin juga kopi, isinya.
"Maaf. Aku harus menunggu hujan hingga agak reda". Aku menjelaskan.
"Ah. Santai saja. Aku punya banyak waktu." Ia tersenyum. Dan aku sedikit lega.

Aroma kopi menyeruak. Dan benar. Ternyata isinya kopi panas. Aku bisa melihat dari kepulan asapnya. Sesaat aku teringat, jikalau kopi adalah kesukaannya. Mungkin terlalu sedikit dari dirinya yang masuk ke rentang perhatianku.
"Kamu mau menunjukkan sesuatu", tanyaku. Aku pun duduk.
"Memang benar." Ia tersenyum, seperti menyimpan sebuah kegembiraan yang belum penuh terlihat
"Sebentar." Sesaat ia kembali sibuk dengan laptopnya. Ia mengajakku ke sini karena ingin menunjukkan sesuatu padaku. Dan aku belum tahu itu. Ia mengarahkan layar laptop ke arahku.
"Ta da...," ia setengah bersorak.
Aku membenahi kacamataku. Mataku menyipit, pipiku terangkat dan sesungging senyum tercipta.
"Ini untukku," tanyaku cepat.
"Yup, benar sekali," jawabnya pun cepat.
"Ini benar untukku," tanyaku lagi, memastikan.
"Memang untukmu. Seperti yang pernah aku janjikan." Ia tersenyum. "Untukmu, sebuah rumah dariku."

Ia menunjukkan setiap detail rancangan rumah yang ia buat. Ia mengatakan rancangan yang ia buat adalah gaya usonia. Aku tak tahu apa itu usonia dan gaya arsitekturnya. Yang aku tahu hanya, desain rumah untukku ini sangat indah. Ia menunjukkan sebuah ruangan yang diisi penuh dengan rak buku.
"Aku tahu, kamu suka membaca," katanya. "Aku buatkan sebuah perpustakaan untukmu.
"Wah, indah sekali."
"Dan satu lagi," ia menahan ucapannya. Ia menunjukkan selembar kertas, bergambar sketsa tangan.
"Apa ini ?" tanyaku.
"Kamu lihat jendela yang ini," katanya sambil menunjuk ke arah layar laptop.
"Ya, aku melihatnya."
"Ini adalah sketsa jendela perpustakaanmu. Aku tahu, kamu suka menulis. Jadi aku membuatkan sebuah jendela khusus untuk menemanimu mengembara, mengukir kata."
Ah, ia tahu begitu banyak tentangku.
"Lalu, kursi kecil yang berkaki tinggi ini," aku menunjuk sebuah kursi. Kursi yang ada di sebelah kursi dimana aku akan duduk dan mengukir kata.
"Ini untuk anakmu."
"Ha," aku bertanya.
"Iya. Untuk anakmu. Siapa tahu anakmu suka membaca seperti kamu dan suka menemanimu seharian menulis di samping jendela itu".
Kami pun tertawa.

Tapi, kapan aku bisa membuat rumah ini. Aku masih kuliah. Uang masih mengalir dari orang tua ke rekeningku. Hasil kerjaku sendiri hanya cukup untuk bermain-main.
"Tapi, kapan aku bisa membuat rumah ini," aku bertanya mengulangi kata hatiku.
"Tenang saja kawan," katanya dalam nada yang meyakinkan. "Aku membuatkan rumah indah untukmu. Tapi ia tidak mahal. Kamu tidak perlu menjual sawah untuk membangun rumah ini."
Haha. Aku tertawa. Antara bahagia dan senang.
"Ok arsitek. Aku akan membangunnya tahun depan."

Hujan merintik, semakin deras. Suara tetes air beradu tanah semakin keras. Pikiranku melayang-layang memikirkan rumah itu. Aku harus bekerja lebih semangat untuk membangun rumah itu. Rumah indah buatan Sang Arsitek.

2 comments:

Anonymous said...

Kami berdoa agar rumah impian mas cepat terwujud.Amin.

Jadikan rumah sebagai sorga dunia dan persiapan tabungan sorga akhirat.

Rumah yang dipenuhi dengan canda tawa ria adalah istana.Tetapi rumah besar tanpa ada keceriaan,adalah siksa.

Di website
kami
anda dapat Download Draft Kontrak,gambar design ,dan banyak lagi ilmu tentang Tips dan Trik konstruksi.

kami juga siap menjadi Kontraktor anda.
No matter what kind and size of building ( limitation based on Project On the Go )

Terimakasih

Semoga tips kami di website bermanfaat.Mohon ditambah pendapatnya ya mas.

Makasih

Dana 02192858971 www.arsitek.us

archebOOk said...

romantis kali pak
salam knal :)