Friday, April 14, 2006

Irish Coffee

Pagi yang cerah. Sapaan alam yang lembut. Aku duduk di bangku taman ini menunggu munculnya hangat mentari yang masih enggan memanas. Padahal 1 jam yang lalu.
"Waduh, jam 7. Kok nggak ada yang bangunin sih!!!"
Aku berburu dengan nyawaku yang baru saja terkumpul. Tidur setelah Shubuh memang sangat enak tapi tentu saja melenakan.
"Hoe, pada kemana klean. Kok gak ada yang bangunin sih," teriakku.
Sepi, batinku, pasti semua sudah berangkat kuliah. Aku menuju kamar mandi dengan seperangkat alat mandiku. Dasar anak-anak.
Dan sekarang, aku duduk di bangku taman ini. Setelah tersadar, beberapa saat setelah masuk ke angkot, jikalau hari ini kuliah libur. Beruntungnya aku mendapatkan tempat pelarian yang indah untuk menutupi kebodohanku di awal hari ini.
Taman yang indah. Menikmati ketenangan yang semakin jarang kudapatkan di keseharianku. Dalam ketenangan ini aku bisa mendengarkan kicauan burung.
"Permisi, Dik."
"Silahkan, Pak."
Seorang Bapak duduk di sebelahku. Kemudian membuka koran yang dibawanya lalu masuk ke dunia kata-kata yang tercipta antara ia dan surat kabarnya.
Seorang gadis kecil duduk di bangku taman. Bangku taman yang terletak beberapa langkah di depan bangku tamanku. Gadis kecil itu lucu, mungkin berumur 4 tahun, tapi aku rasa 5 tahun. Maaf aku tidak pandai menebak umur. Ia bermain dengan boneka beruangnya.
Seorang perempuan menghampiri gadis kecil itu.
"Iena, kemana aja? Kakak kan bingung nyariin," perempuan yang kira-kira sebaya denganku itu tersenyum meski guratan cemas sedikit tergambar di wajahnya.
"Iena kan pingin jalan-jalan. Abis Pogel gak bisa diajak diem sih."
"Oo, Pogel to yang ngajak Iena jalan-jalan," perempuan itu mencubit kecil boneka beruang yang digendong gadis kecil itu.
Kakak beradik itu bermain di bangku taman itu.
Perempuan itu manis juga ya, batinku. Aku tidak biasa berbohong dengan perasaanku, aku jujur, perempuan itu manis menurutku.
Aku mengeluarkan buku skets dari tasku. Benda yang mungkin aneh untuk mahasiswa Teknik Industri, yang tidak pernah berkutat dengan skets apapun kecuali mungkin gambar teknik, itupun biasanya membutuhkan bantuan seperangkat komputer. Tinggal berikutnya, pensil. Ah pasti ketinggalan. Kok yang ada 2B. Masih terlalu lunak untuk menggambar sketsa. Tapi tak apalah. Aku tidak ingin kehilangan momen ini.
Momen keanggunan seorang perempuan menemani gadis kecil yang bermain boneka beruang berlatarbelakang taman indah di pagi hari. Mengagumkan bukan. Oiya, biarkan aku dengan definisi kecantikan, keanggunan yang kusematkan pada perempuan itu. Setiap orang boleh berwacana tentang kecantikan, tetapi aku punya pendapat sendiri tentang kecantikan.
Goresan-goresan pensilku, mengabadikan momen mengagumkan itu di atas kertas. Kelucuan gadis kecil itu sempat terhapus oleh usapan penghapusku sebelum kususun kembali dengan goresan pensil. Hmm masih mengagumkan.
Satu goresan kecil dan sketsaku selesai. Aku kembali memandangi kursi taman yang ada di depanku itu. Dua sosok itu telah hilang.
"Dik, saya pergi dulu ya," Bapak yang sedari tadi duduk di sampingku itu beranjak pergi.
"O, silahkan pak."
Dua sosok itu telah hilang seiring dengan keabadian yang tergores di dalam buku skets ini. Apakah mereka hanya bayanganku saja ataukah mereka memang nyata. Senyata sketsa yang tertoreh di atas kertas ini, juga tergambar jelas di benakku. Ataukah mereka hanya rekaanku saja. Aku pun tak tahu. Tapi aku berterima kasih kepada mereka atas sejumput momen yang mengagumkan.
Akupun beranjak dari bangku taman ini. Ah keindahan yang melenakan.

Seni Kepengecutan

Seni kepengecutan dituliskan dengan tinta ketakutan di atas lembaran pembenaran. Aku sudah bosan dengan omong kosong semacam ini. Rangkaian kata yang sengaja disusun agar orang lain yang melihatnya merasa terpana, terkagum, merasakan sesuatu hal yang filosofis, mendalam. Aku bosan dengan terus berlari, menghindar dari setiap masalah yang ada. Karena apa? Takut? Bukankah takut hanya ada di kepala? Bukankah menghindari masalah tidak akan menyelesaikannya? Berhentilah berkata-kata dan mulailah bergerak.

Seni kepengecutan membutuhkan energi untuk menumpahkannya ke atas kehidupan. Mengapa tidak kau gunakan saja energi itu untuk menghadapi hidup dengan berani. Mengapa kau habiskan energimu untuk mengelak dari setiap tanggung jawab yang ada di bahumu? Padahal selalu ada tanggung jawab yang terbang dan hinggap di bahumu. DEWASALAH!!!

Seni kepengecutan berawal dari terlalu besarnya pertimbangan yang tidak disokong oleh keberanian untuk mengambil keputusan. Kau pasti mengerti, pertimbangan yang matang harus diimbangi dengan keberanian untuk mengeksekusi setiap keputusan yang telah diambil. Jangan seperti orang yang hanya bergumul dengan pemikiran tanpa pernah bergerak atau seperti bonek yang [mungkin] tak pernah berpikir tapi keberaniannya patut diacungi jempol.

Arrrrghhh... Aku bosan....

Thursday, April 06, 2006

Just wanna be a different person

Ass..Ka,NT knpa?Koq bs ky gt?Ga papa koq,pmandangan br.Haha..[cut]
SMS dari salah seorang sahabat.
Asw.Ga ada apa2.Just wanna b a different person hehe.[cut]
Balasan SMS

--menikmati gaya hidup tanpa rambut dan kacamata minus baru--