Friday, August 10, 2007

Potret Mbah

Ia membuat saya sangat jengkel ketika pertama kali masuk kantor. Intonasi suaranya keras, medekati kasar malah. Postur badannya tidak terlalu tinggi tetapi kekar. Sorot matanya tajam, bahkan mirip orang yang senantiasa melotot sepanjang waktu. Sorot matanya yang tajam itu dibingkai dengan kacamata berlensa oval. Kumisnya tebal. Sangat cocok jika ia memakai baju loreng merah putih, celana tigaperempat dan celurit di balik pinggang. Meski saya tahu setelahnya ia bukan orang Madura, tetapi orang Jawa.

Kami memanggilnya Mbah. Pertama kali saya ada di kantor, saya memanggilnya Pak Sri. Saya tak tahu pasti darimana sebutan Mbah berasal. Mungkin saja karena ia adalah salah satu karyawan sejak perusahaan tempat saya bekerja pertama kali berdiri. Di saat dulu dimana sekitar pabrik masih berupa rawa-rawa, bisa dikatakan Mbah ikut 'mbabat suket' alias memotongi rumput (tentu saja dalam arti kiasan).

Sampai sekarang bicaranya tak begitu enak didengar. Bukan masalah isi bicaranya, tapi masalah penyampaiannya. Tetapi sekali bercerita, kadang bicaranya enak didengar juga.

Suatu sore, sembari menunggu pulang, Mbah bercerita tentang banyak hal. Mulai pengalamannya melihat 'penampakan' saat awal-awal bekerja di perusahaan hingga cerita 'ospek' yang dialaminya dulu. Bagaimana dengan keberaniannya ia berkeliling pabrik saat yang lainnya gentar meski hanya sampai bagian tengah pabrik karena hari telah malam. Bagaimana ia dulu adalah seorang operator mesin pembuat pipa baja hingga menjadi tetua di mesin tersebut. Tentang pengajuan pensiun dini yang Mbah ajukan beberapa tahun silam tetapi ditolak oleh bos-bosnya karena masih sangat dibutuhkan. Tentang prinsip kerjanya yang sangat sederhana : Mau ditempatkan dimana saja saya mau.

Mbah seseorang yang dipercayai oleh banyak orang. Sesuatu yang paling mudah terlihat adalah tentang uang. Mbah mungkin orang di kantor yang paling sering ke bank. Meski sering mengecek rekening pribadi, ia lebih sering melakukan transaksi titipan orang. Entah itu penarikan uang, setor atau hanya cek rekening. Mungkin mbah seperti kasir bank keliling. Meski tentu saja tak ada kasir yang bermuka gahar nan menakutkan:).

Melihatnya bekerja saya teringat Joni dalam film Janji Joni yang diperankan Nicholas Saputra. Tentu saja bukan faktor kemiripan wajah tetapi tampilan kerjanya. Pekerjaan Mbah adalah memastikan tersedianya bahan baku pipa baja sesuai proyek yang ada. Mbah memakai tas selempang besar berisi buku berukuran folio (bukan berisi rol film). Mengenakan pakaian setelan jeans dan sepatu boot. Ia berkendara memakai motor untuk bertemu dengan orang yang bertanggungjawab atas produksi rol baja di perusahaan induk (bukan memastikan rol film sampai tepat waktu). Meskipun menerima laporan berkala tentang produksi bahan baku yang dipesan, mbah tetap mengecek langsung terutama untuk proyek-proyek yang kritis. Ia akan mengejar rol baja sampai ke ujung dunia untuk memastikan tersedianya pasokan bahan baku.

Usianya 51 tahun sekarang. Ia telah bekerja di perusahaan lebih dari 30 tahun. Dan 4 tahun lagi Mbah dijadwalkan pensiun. Baru beberapa waktu yang lalu, beliau dipindahkan ke bagian lain. Dan sekarang masih dalam masa transisi tugas lama ke tugas yang baru. Melihatnya bekerja, seperti melihat sebuah potret perjuangan manusia yang digariskan tak ada yang persis satu sama lain. Dan bukankah kita juga sedang membuat potret untuk dilihat kelak di kemudian hari?

1 comment:

Trian Hendro A. said...

hmm, nice work story :)
melihat 'orang senior' kerja, adalah melihat putaran waktu yang telah berjalan nyata.

ayoo le, semangat kerjo!!
to work is to learn, to earn and to contribute..

hidup indonesia! :D