Monday, December 17, 2007

Keterdesakan Artifisial vs Resolusi 2008

Beberapa orang mencantumkan kalimat 'be able to work under pressure' di dalam CV ataupun cover letter yang mereka buat. Dengan begitu, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka dapat bekerja dengan baik meskipun dalam kondisi tertekan. Kenapa? Karena berangkat dari pemahaman bahwa performansi seseorang akan berbeda di saat normal dan di saat tertekan. Ada yang performansinya turun, tetapi ada beberapa orang yang justru 'meledak' di bawah kondisi tertekan.

Anda pernah merasa terdesak? Apa bedanya terdesak dengan tertekan? Secara bahasa, 'terdesak' berkata dasar 'desak' sedangkan 'tertekan' mempunyai asal kata 'tekan'. Jika dalam keadaan nyata, kedua keadaan yang digambarkan oleh kata-kata tersebut, memaksa orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pernah merasa sakit perut dan berjuang mati-matian untuk mendapatkan tempat guna melepaskan semua beban yang ada di perut? Nah itu contoh salah satu kondisi terdesak.

Seorang motivator terkenal pernah menyampaikan bahwa dengan kadar keterdesakan yang cukup, seseorang akan mampu mencapai sesuatu melebihi jika ia ada pada keadaan normal. Untuk mencapai sukses seseorang bisa menciptakan sebuah keterdesakan. Ia menyebutnya dengan keterdesakan artifisial.

Keterdesakan artifisial merupakan sebuah keadaan atau lebih tepatnya sebuah pola pikir yang sengaja dibangun dari dalam diri untuk menghasilkan efek yang (kurang lebih) sama dengan efek yang ditimbulkan oleh desakan dari luar diri. Karena keadaan yang diciptakan adalah sebuah keterdesakan maka efek yang diharapkan muncul adalah gerakan. Karena hanya dengan gerakan semua pencapaian dapat diraih.

Itulah mengapa orang menetapkan target-target yang harus dicapai selama hidupnya. Mengingat sebentar lagi penghujung tahun 2007, biasanya banyak orang yang telah ancang-ancang untuk menyusun resolusi 2008. Resolusi bisa jadi berarti ketetapan hati. Menyiapkan niat untuk melakukan banyak hal agar mendapatkan apa yang diinginkan. Kalender mulai dibuka. Evaluasi tahun berjalan dilakukan. Target-target baru disusun. Langkah pencapaian pun ditetapkan. Maka keadaan mendesak pun (mulai) tercipta.

Saya belum pernah meluangkan waktu secara khusus untuk membuat resolusi tahun baru. Jikapun ada yang ingin dicapai di tahun berikutnya, biasanya hanya berupa keinginan-keinginan yang terbersit, tanpa pernah direkapitulasi. Untuk tahun 2008, ada banyak hal yang ingin dicapai. Tapi yang jelas, saya ingin meningkatkan berat badan sampai berat ideal, mengurangi waktu tidur yang sepertinya sudah terlalu banyak dan menambah bacaan yang lebih 'bergizi'. Jika ditanya alasan, maka jawaban saya sangat sederhana : Saya terdesak untuk menjadi orang baik :D.

4 comments:

the Tea Maker said...

Senada dengan entry-ku di akhir tahun 2006 An, " 2007 : Selamat Ketakutan (Have A Good Fear)!".

Aku mau re-post di www.jakartabutuhrevolusibudaya.com

Anonymous said...

Bicara mengenai keterdesakan artifisial, bukannya yang namanya artifisial itu adalah akar sebuah kenormalan?
Ketika kita terbiasa membayangkan situasi terdesak, maka dengan sendirinya keterbiasaan 'membayangkan' menjadi bagian dari diri kita, dan isn't special anymore. Dan mungkin efek dari meledak-ledak yang sengaja ingin kita timbulkan akan berkompromi dengan kenyataan bahwa "Oh, Tuhan Aku tak bisa meledak-ledak lagi,karena Aku ingin meledak,dan anehnya tidak meledak ".
Bukankah aneh. Ini seperti orang yang akan menonton film, namun sudah tahu jalan ceritanya. Atau seorang suami-istri yang yang pergi bernostalgia ketempat kencan pertama dan ingin menciptakan kondisi seperti saat ia berkencan pertama kali,namun yang dihadapinya adalah kehambaran yang luar biasa menyakitkan karena tak secuilpun perasaan tersebut didapati kembali. Karena apa? Karena itu artifisial dan tidak sespontan kencan pertamanya.

Mungkin, harapan terakhir yang ingin kita punya,adalah bagaimana yang artifisial tersebut diluar kendali kita, menjadi alam bawah sadar kita dan tak pernah terpikirkan untuk memahami kenapa harus polapikir kita buat artifisial,dan bahkan tidak ingin memahami arti artifisial itu sendiri. Karena, jika demikian, kita benar-benar kehilangan motivasi, selamanya.

Aulia said...

To anonymous:

Terima kasih buat komennya.

Arti artifisial disini lebih tepatnya 'buatan' bukan dalam arti 'palsu'. Kenapa buatan, karena saya percaya segala sesuatunya diciptakan. Suatu kondisi tercipta karena pengaruh kondisi lain. Bahkan untuk hal paling spontan sekalipun ada aktivitas penciptaan disitu.

Kenapa buatan, karena diri kita sendiri lah yang menginisiasi keadaan tersebut (dalam hal ini keterdesakan). Karena pada kenyataannya, desakan dari luar diri kita belum ada/terjadi. Dan tidak hanya 'membayangkan' saja, efek yang diharapkan muncul adalah perasaan mengalami. Merasakan keterdesakan yang sebenarnya belum menimpa diri kita.

Soal ledak-meledak, saya percaya kapasitas manusia (seharusnya) bertambah seiring dengan kedewasaannya. Jika ia belum bisa meledak dengan keterdesakan buatan yang ia ciptakan, bisa jadi kapasitas dirinya bertambah besar dan ia memerlukan 'bahan peledak' yang lebih kuat.

Perihal motivasi harus menjadi alam bawah sadar kita, saya sepakat. Tapi bagaimanapun juga kita harus mempunyai kesadaran dalam melakukan segala sesuatu. Karena kita dianugerahi kehendak oleh Tuhan.

Rachmawati said...

Terdesak...
hmmm... menciptakan deadline sendiri,

deadliner dunk... heheheh

Kadang ide cemerlang agak susah muncul kalo gak terdesak ya...

Tapi kalo terlalu sering menciptakan desakan-desakan, mesti diimbangi dengan keahlian memanage stres. Karena kalo nggak, seperti membuang energi... Kalo bisa mengerjakan sesuatu dalam keadaan tenang dan terencana, itu lebih baik...jadi ATP dalam tubuh tidak terkonversi untuk emosi yang kurang perlu :).


Sometimes, the things come more easily when you least expect them. ^^)