Wednesday, August 15, 2007

A Cup of Coffee Never Save Me

Notice : Tulisan di bawah ini adalah murni curhatan saya. Maka dari itu mohon dimaklumi atas kesemrawutan tata bahasa, kesalahan penggunaan kata-kata, ketidakjelasan tema, ketidakruntunan penyampaian dan ketidaknyamanan saat dibaca :).

Sebenarnya saya bukan penggila kopi, meski suatu ketika saya pernah sangat suka dengan minuman yang satu ini. Pahit, sangat harum dan sedikit asam. Meminum kopi dapat memacu kerja jantung, meningkatkan debit aliran darah dan ujung-ujungnya mengusir rasa kantuk. Dan untuk saya yang pernah merasakan bangku kuliah, manfaat ketiga itulah yang saya kejar. Meskipun efek yang saya rasakan tidak begitu signifikan, untuk tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali.

Dengan dosis yang wajar, kafein yang terdapat dalam kopi ternyata memberikan efek yang positif bagi kesehatan tubuh. Tapi karena terdapat efek kecanduan yang ditimbulkan oleh kafein dan karena saya mempunyai tingkat denyut jantung di atas rata-rata, maka saya sebisa mungkin menjauhi minuman enak ini. Ditambah dengan efek samping kopi yang memacu produksi asam lambung maka sempurna sudah alasan untuk menghindari konsumsi kopi.

Tapi apa daya. Rekor tak menyentuh kopi selama kurang lebih 1 bulan, pecah juga. Semua bermula dari paham 'work hard, play hard'. Jangan diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Indonesia, akan sangat buruk translasi yang dihasilkan. Intinya bermain-main dengan sangat rajin untuk mengimbangi kerja yang sangat keras. Meski kerja tidak terlalu keras yang penting bermain dengan sangat rajin.

Meminjam istilah 'art for art sake' maka 'work for work sake' pun bukan pemikiran yang saya sepakati. Jika anda bekerja untuk orang lain atau di perusahaan maka anda akan tidak akan heran dengan ilustrasi ini. Anda bangun pagi-pagi kemudian menyiapkan perlengkapan untuk bekerja. Mandi, sarapan dan berangkat ke tempat kerja. Seringkali cahaya matahari belum sempat menyentuh muka bumi, anda sudah berlomba dengan ayam untuk mencari kehidupan. Selama di kantor, praktis anda terikat oleh jam kantor. Anda seringkali pulang lebih malam dari jam pulang ayam ke kandangnya. Sampai rumah, buat anda yang telah berkeluarga, maka keluarga adalah tempat yang tepat untuk berbagi kelelahan. Buat yang belum berkeluarga maka tempat tidur bukan tempat yang buruk juga untuk berbagi kelelahan. Jika anda membawa pulang PR dari tempat kerja, maka anda harus menunda berbagi kelelahan. Dan anda pun tidur agar keesokan harinya bisa bangun pagi dan bekerja kembali.

Tak dapat dipungkiri, bahwa hasil dari kerjalah yang menopang kehidupan anda. Tapi anda juga mempunyai kehidupan lain di samping pekerjaan anda. Anda tentu tak akan mau apabila terpaksa menolak ajakan berlibur dari teman anda yang sudah lama tak bertemu karena anda harus menyelesaikan pekerjaan anda. Dan itu adalah hari minggu. Kecuali memang ada pertimbangan lain yang membuat anda harus bekerja saat hari libur. Idealnya adalah bekerja dengan profesional tanpa meninggalkan kehidupan pribadi anda.

"Work hard, play hard" menawarkan suatu konsep keseimbangan antara bekerja dengan bermain atau bersenang-senang. Kedua-duanya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan serius. Bukan hanya bekerja saja yang membutuhkan keseriusan tetapi bersenang-senang juga. Tentu saja pengertian bersenang-senang disini akan berbeda untuk masing-masing pribadi. Ada yang mengartikulasikan bersenang-senang dengan tidur, pergi ke tempat wisata, melamun, bernyanyi, membaca buku sampai mengikuti pengajian. Jika bekerja merupakan cara anda untuk mengaktualisasikan diri dan memperoleh pemasukan, maka bermain adalah jalan untuk mengaktualisasikan diri juga tetapi memperbesar pengeluaran. Anda bisa memilih jenis kegiatan bermain atau bersenang-senang sesuai dengan seberapa besar pemasukan, gaya hidup dan yang tak kalah penting : masa depan yang anda cita-citakan.

Bagi saya, berjalan-jalan merupakan satu pilihan untuk bermain. Entah itu berjalan-jalan menggunakan dua kaki sendiri ataupun menumpang kaki-kaki kendaraan. Dan bagi saya perjalanan itu sendiri yang menjadi keseruan tersendiri melebihi keasyikan saat sampai di tempat tujuan. Tentu saja ada konsekuensi dari melakukan perjalanan yaitu keletihan badan.

Alkisah, setelah melakukan perjalanan, saya sampai di kota tempat saya bekerja dini hari menjelang pagi. Kali pertama, saya tiba dini hari karena berangkat dari kota tempat saya berjalan-jalan memang telah cukup larut malam. Kali kedua, saya tiba menjelang pagi karena saya baru terbangun di terminal pelabuhan Merak. Alhasil saya harus menumpang 1 angkutan umum lagi untuk menuju rumah. Dan kedua-duanya ada di hari Senin. Hari dimana banyak orang yang bekerja seperti saya ini sangat menyukainya. Di tempat saya bekerja, hari Senin adalah hari dimana rencana seminggu ke depan dibuat dan dibahas dalam rapat. Tentu bisa dibayangkan : pasokan tidur yang kurang, keletihan badan dipadu dengan pekerjaan yang cukup padat dan harus mengikuti rapat. Hasilnya adalah manusia dengan tiga perempat kantuk mengisi kepalanya.

Senin pertama, saya berhasil melewatinya dengan setengah selamat. Persiapan planning seminggu ke depan selesai dan saya berhasil untuk tetap terjaga sampai rapat selesai. Tapi tetap saja rasa kantuk membombardir tanpa ampun. Senin kedua, saya meminta mas office boy membuatkan secangkir kopi. Kopi hasil racikannya: kopi hitam pekat, sangat manis tapi bukan espresso. Efeknya langsung terasa meski tidak lama. Pekerjaan lebih cepat selesai tapi hasilnya pertahanan saya terhadap kantuk nyaris punah setelah makan siang. Saat rapatpun saya curi-curi istirahat. A cup of coffee couldn't save me that day. Dan naasnya, hari ini adalah hari ketiga saya memulai hari dengan secangkir kopi. Gara-gara tak tahan godaan mas office boy: "Mau dibuatin kopi Pak?".Halah.

Thanks to:

-Semua manusia yang telah bersedia menemaniku (dan mentraktir) jalan-jalan dalam 2 minggu terakhir : sahabat-sahabatku, sopir bus beserta kru termasuk bus kota, sopir angkot terutama angkot dari pelabuhan Merak, sopir dan kru busway, penjual koran, mas-mas penjaga tempat penitipan sepatu, pengelola tempat wisata, penjual es Goyobod dan dodol, penjual gado-gado dekat masjid Bulak Rantai, orang-orang yang baik rela atau tidak telah menjadi obyek foto saya dan menjadikan saya sebagai obyek foto. Orang-orang lain yang tidak berhasil saya ingat, yang telah membantu acara jalan-jalan saya.

-Mas Ajat, sang office boy, penyuplai teh sangat manis, kopi sangat pekat, coca-cola sangat dingin, pengharum ruangan sangat wangi.

Friday, August 10, 2007

Potret Mbah

Ia membuat saya sangat jengkel ketika pertama kali masuk kantor. Intonasi suaranya keras, medekati kasar malah. Postur badannya tidak terlalu tinggi tetapi kekar. Sorot matanya tajam, bahkan mirip orang yang senantiasa melotot sepanjang waktu. Sorot matanya yang tajam itu dibingkai dengan kacamata berlensa oval. Kumisnya tebal. Sangat cocok jika ia memakai baju loreng merah putih, celana tigaperempat dan celurit di balik pinggang. Meski saya tahu setelahnya ia bukan orang Madura, tetapi orang Jawa.

Kami memanggilnya Mbah. Pertama kali saya ada di kantor, saya memanggilnya Pak Sri. Saya tak tahu pasti darimana sebutan Mbah berasal. Mungkin saja karena ia adalah salah satu karyawan sejak perusahaan tempat saya bekerja pertama kali berdiri. Di saat dulu dimana sekitar pabrik masih berupa rawa-rawa, bisa dikatakan Mbah ikut 'mbabat suket' alias memotongi rumput (tentu saja dalam arti kiasan).

Sampai sekarang bicaranya tak begitu enak didengar. Bukan masalah isi bicaranya, tapi masalah penyampaiannya. Tetapi sekali bercerita, kadang bicaranya enak didengar juga.

Suatu sore, sembari menunggu pulang, Mbah bercerita tentang banyak hal. Mulai pengalamannya melihat 'penampakan' saat awal-awal bekerja di perusahaan hingga cerita 'ospek' yang dialaminya dulu. Bagaimana dengan keberaniannya ia berkeliling pabrik saat yang lainnya gentar meski hanya sampai bagian tengah pabrik karena hari telah malam. Bagaimana ia dulu adalah seorang operator mesin pembuat pipa baja hingga menjadi tetua di mesin tersebut. Tentang pengajuan pensiun dini yang Mbah ajukan beberapa tahun silam tetapi ditolak oleh bos-bosnya karena masih sangat dibutuhkan. Tentang prinsip kerjanya yang sangat sederhana : Mau ditempatkan dimana saja saya mau.

Mbah seseorang yang dipercayai oleh banyak orang. Sesuatu yang paling mudah terlihat adalah tentang uang. Mbah mungkin orang di kantor yang paling sering ke bank. Meski sering mengecek rekening pribadi, ia lebih sering melakukan transaksi titipan orang. Entah itu penarikan uang, setor atau hanya cek rekening. Mungkin mbah seperti kasir bank keliling. Meski tentu saja tak ada kasir yang bermuka gahar nan menakutkan:).

Melihatnya bekerja saya teringat Joni dalam film Janji Joni yang diperankan Nicholas Saputra. Tentu saja bukan faktor kemiripan wajah tetapi tampilan kerjanya. Pekerjaan Mbah adalah memastikan tersedianya bahan baku pipa baja sesuai proyek yang ada. Mbah memakai tas selempang besar berisi buku berukuran folio (bukan berisi rol film). Mengenakan pakaian setelan jeans dan sepatu boot. Ia berkendara memakai motor untuk bertemu dengan orang yang bertanggungjawab atas produksi rol baja di perusahaan induk (bukan memastikan rol film sampai tepat waktu). Meskipun menerima laporan berkala tentang produksi bahan baku yang dipesan, mbah tetap mengecek langsung terutama untuk proyek-proyek yang kritis. Ia akan mengejar rol baja sampai ke ujung dunia untuk memastikan tersedianya pasokan bahan baku.

Usianya 51 tahun sekarang. Ia telah bekerja di perusahaan lebih dari 30 tahun. Dan 4 tahun lagi Mbah dijadwalkan pensiun. Baru beberapa waktu yang lalu, beliau dipindahkan ke bagian lain. Dan sekarang masih dalam masa transisi tugas lama ke tugas yang baru. Melihatnya bekerja, seperti melihat sebuah potret perjuangan manusia yang digariskan tak ada yang persis satu sama lain. Dan bukankah kita juga sedang membuat potret untuk dilihat kelak di kemudian hari?