Tuesday, August 02, 2005

Catatan seorang aksel

Aksel adalah sebutan yang biasa dipakai teman-teman saya sekarang untuk memanggilku. Memang tidak terlalu sering dipakai tetapi kadang cukup membuat risih. Berawal dari pengakuan saya bahwa saya adalah salah satu lulusan SMU program akselerasi sebuah SMU swasta yang ada di Bekasi. Hal yang membuat saya terkadang merasa kurang sreg dipanggil aksel adalah [meskipun nggak bego-bego amat, tapi] aku bukan seorang jenius. Itu saja.
Kenapa bernama akselerasi, sayapun tidak tahu. Sepengetahuan saya akselerasi adalah perubahan kecepatan per satuan waktu (pengertian dalam konteks fisika). Untuk dapat melewati masa SMU ‘hanya’ ditempuh dalam dua tahun dan bukannya tiga tahun seperti program SMU yang ‘konvensional’. Berbicara tentang kata akselerasi sendiri, menurut saya tidak ada yang dipercepat dalam pendidikan pada program akselerasi. Karena memang dari awal program, speed yang dipasang memang berbeda. Beban pendidikan yang pada umumnya diberikan dalam 3 tahun, harus dikompres, diperas menjadi 2 tahun. Bahan (materi) pengajaran yang diberikan persis sama dengan yang diberikan di SMU ‘biasa’, hanya saja disajikan dengan lebih kilat.
Terdapat beberapa kritik tentang pendidikan yang memakai program akselerasi. Sebuah kritik diberikan oleh J. Drost dalam esai-esai pendidikan yang ditulis oleh beliau. Bahwa segala jenis pendidikan yang dilakukan dengan tidak alami akan menghasilkan ‘sesuatu’ yang kurang baik. Termasuk akselerasi. Mungkin beliau menganggap bahwa yang alami adalah SMU dengan masa tempuh 3 tahun. Tetapi beliau belum memberikan penjelasan lebih jauh tentang pendapatnya tersebut.
Terlepas dari kritik di atas, sebagai seorang aksel dimana sekolah saya adalah salah satu sekolah yang pertama kali memakai program ini dan saya adalah angkatan ke 3 program akselerasi, terdapat beberapa kelebihan, keenakan, kekurangan, ketidaknyamanan (atau apapun namanya) yang saya rasakan selama 2 tahun menempuh program ini.
Kekurangan atau ketidaknyamanan yang saya rasakan antara lain adalah:
Pertama. Beban pendidikan yang cukup (atau sangat) berat. Bayangkan saja, bahan yang normalnya diberikan dalam 3 tahun harus dicerna dalam 2 tahun. Saat dulu masih memakai sistem cawu, tahun pertama terdiri dari 5 cawu dan tahun kedua terdiri dari 4 cawu. Pernah merasakan 1 cawu di sekolah ‘normal’ sebelum memutuskan untuk pindah ke sekolah ‘aneh’ ini. Merasakan perbedaan yang signifikan dalam kecepatan pengajarannya. Di sekolah aneh ini, 1 bab bisa diselesaikan dalam 1 kali pertemuan atau 2 jam pelajaran. Pfuihh… Dengan beban pendidikan semacam itu rasanya hidup hanya untuk belajar di sekolah. Kan belajar nggak hanya di sekolah kan. Tapi nggak sih. Karena sekolah cuma sampai hari jum’at maka week end bisa dipakai maen sepuasnya.
Kedua. Program ini sedikit banyak mempengaruhi gaya belajar saya [sekarang saya seorang mahasiswa]. Karena diberikan dengan sangat kilat, maka harus diimbangi dengan gaya belajar yang kilat pula. Memang di kelas diskusi tentang materi yang diajarkan juga berlangsung, tetapi tidak bisa dikupas dengan lebih mendalam. Lebih sering terasa seperti ngejar setoran.
Ketiga. Dengan berbagai ketidaknyaman yang dirasakan, maka beberapa dari kami memutuskan untuk cepat keluar dari sekolah ini. [Kalau hal ini memang hanya bercanda, mana mungkin bisa keluar lebih cepat, kalau nggak di-DO]. Hanya saja memang dirasakan. Membuat suasana SMU yang [katanya] seharusnya menjadi masa yang paling indah, tidak bisa dirasakan. Hiks…
Keempat. [Memang benar-benar baru terpikirkan sekarang]. Saat mengikuti program tersebut rasanya tidak mendapatkan feedback dari pihak sekolah tentang kondisi ‘kejiwaan’ kami. Memang sih di sekolah saya dulu terdapat seorang psikologi tetapi itupun hanya melakukan tes psikologi saat awal sebelum masuk program ini dan saat menjelang ujian akhir. Itupun hasilnya tidak diberikan. Pernah diskusi hanya tentang jurusan yang dipilih saat kuliah nanti. Karena terus terang saya masih merasa seperti anak kecil [kalo ini nih emang pribadi ;p]
Disamping terdapat ketidaknyamanan yang dirasakan sebenarnya sangat banyak kelebihan yang saya rasakan dengan program ini.
Pertama. Hemat waktu. Kalau bisa dalam dua tahun kenapa mesti tiga tahun. Hasilnya lulus lebih cepat daripada teman-teman yang dahulu sama-sama berjuang di SMP dan masuk kuliah lebih cepat [tapi lulusnya belum bisa dijamin lebih cepat]. Apalagi dahulu ikut program ini dengan gratis. Tanpa bayar sepeserpun. Siapa coba yang nggak mau barang gratisan.
Kedua. Yang kedua ini lebih bersifat ke sekolahnya. Dahulu di sekolah saya memakai asrama. Dengan asrama ini saya cukup terbiasa hidup mandiri [tetapi nggak juga sih karena makan disediain, pakaian dicuci dan disetrikain hehe]. Bisa kenal banyak orang dari bangun tidur sampai tidur lagi plus kebiasan dan sifat-sifatnya. Fasilitasnya lumayan mendukung [lagi-lagi barang gratisan tapi bagus…]. Di sekolah ini ilmu agama juga diperdalam. Guru pengajarnya saya rasakan cukup kompeten dan bersedia diajak diskusi. [Saya pernah punya pengalaman pas masih sekolah di sekolah ‘biasa’, pernah berdebat sama gurunya, tetapi gurunya keukeuh gak mau ngalah padahal saya pake referensi huhh]. Pernah juga, kalo sedang bosan kelas bisa dipindahkan ke taman atau ke masjid [maksudnya cuma ngajarnya doank, gak sampe bawa meja dan kursi].
Yah terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang dirasakan pada program akselerasi oleh seorang aksel seperti saya ini, program seperti ini memang harus terus dikaji ulang agar menjadi program yang lebih baik. Karena program ini telah lama merembet sampai ke tingkat SD, maka perlu terus diperbaiki agar tujuan pendidikan yang mendewasakan manusia tidak menjadi pendidikan yang membebani dan mengerdilkan manusia. Hidup aksel………

3 comments:

Anonymous said...

seneng bacanya, saya emang lagi nyari pengakuan seperti ini. mo nanya, nama sekolahnya apa ya? sepertinya bagus. share dong..

Anonymous said...

gw juga baru lulus dari aksel. gw jg ngalamin hal yang sama waktu belajar jadi pengen cepet lulus. Cuma aksel di tempat gw pembahasan dalam pelajaran lebih mendalam. Ini gw bandingin waktu gw smp yang waktu itu gw bego banget (hampir 80% pelajaran gw gak ngerti). Sekarang seorang akseleran juga sudah mendapat beberapa pengakuan dari beberapa universitas diantaranya ugm.

Anonymous said...

salam kenal, saya mantan aksel juga, angkatan 2002 dari SMUN 2 B.Lampung,,