Liburan. Mudik. Pulang kampung. Menikmati hari-hari terakhir Ramadhan dan juga Idul Fitri bareng keluarga. Nah yang paling seru tentu saja bisa berantem lagi ama adek kecilku hehe.
Ada beberapa hal yang sedikit mengusik (tapi setelah dipikir-pikir lagi ternyata tidak...)selama liburan kemarin.
Awal-awal liburan main ke rumah Mbahkung (Mbah kakung : kakek). Nah disitu ketemu dengan beberapa sepupuku yang perempuan (nggak tahu kenapa pas main kok ya ketemunya yang cewek...;p). Pertama kali ngobrol...
"Lho mas, JI tho??"
"Apa tuh JI?"
"Jenggot item.."
Gubrak. Pertanyaan nggak penting. Ternyata ngebahas jenggotku yang rupanya sudah mulai memanjang, lupa dicukur sebelum pulang kampung. Waduh ketahuan deh. Asal nggak dicap sebagai anggota JI beneran nggak papa deh. Yang ini beneran lho. Rupanya media memang benar-benar menjadi alat propaganda yang sangat ampuh untuk menggerakkan pikiran publik. Buktinya benar-benar bisa dirasakan. Ya di keluargaku itu. Kasus terakhir ketika saya ingin pindah SMU ke AL Azhar. Hanya karena memakai kata-kata 'Al Azhar', hampir saja saya tidak bisa pindah sekolah, dilarang sama PakPuh (Bapak Sepuh : Om). Untung saja setelah lobi-lobi secara akal sehat (apa coba...), akhirnya diperbolehkan.
Berikutnya, masih di rumah Mbahkung, tapi saat Idul Fitri tiba. Setelah sungkeman dan lain sebagainya. Seperti biasa keluarga besar kakekku itu bercengkerama seperti biasa. Di sela-sela pembicaraan yang panjang lebar, tiba-tiba mbahkung berkata...
"Lha kalo Aan dah punya cais?"
"Cais, makanan apaan sih ??" batinku.
"Cais apaan sih mbahkung ?"
"Hoalah dasar bocah cilik, cais tuh ya calon istri".
Gubrak lagi. Kalo ini pertanyaan ehmm lumayan penting sih.
Dengan malu-malu dan muka menunduk.
"Belum mbahkung. Ntar kalau udah ada pasti bilang".
Ya maklum, di antara cucu-cucunya, hampir semuanya sudah beranjak dewasa. Hanya beberapa cucunya saja yang masih kecil, banyak yang sudah menikah dan mempunyai momongan. Jadi kecil-kecil begini dah jadi om lho.
Masih di rumah mbahkung, dan masih di hari yang sama. Kali ini giliran ngobrol sama sepupuku. Temanya adalah pekerjaan, karena mengingat kuliahku yang sudah masuk tingkat-tingkat akhir. Kebetulan sepupuku ini (lagi-lagi cewek) kerja di bank. Di kawasan Sudirman Jakarta, wuiih. Lumayan ngobrol banyak, dapat gambaran ke depan.
Kali ini sedang bercengkerama dengan ibunda tercinta.
"Nanti setelah lulus mau kerja dimana?"
"Nggak tahu Bu. Mungkin di Bandung".
Mungkin sedang nonton acara infotainment yang isinya artis yang nggak bisa masak trus ditinggal mudik pembantunya.
"Ntar kalo nyari istri yang bisa masak ya".
Glek. Masih bengong dengan pertanyaan Ibuku, tiba-tiba keluar jawaban, "Kalo nggak ada gimana Bu?".
"Ya ntar biar kursus dulu sama Ibu".
Hmm. Ya terserah lah. Tapi yang jelas pertanyaan ini bukan provokasi. Saya tahu kalau ibuku ingin anak-anaknya mapan dahulu, paling nggak bisa bisa mandiri terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk berkeluarga. Kalau yang ini sih sepakat. Minimal tidak membebani orang tua lagi.
Nah lain cerita saat main ke rumah teman.
"An, kok masih kurus sih?".
"Ya nih di Bandung nggak ada yang ngurusin"
"Ya udah cepet cari orang yang ngurusin"
"Pembantu??"
Hehehe. Apapun lah.
Ternyata sadar ataupun nggak sadar, kita akan beranjak semakin tua (dan dewasa). Semakin banyak tanggungjawab yang harus kita pegang. Semakin banyak harapan-harapan yang muncul dari orang-orang di sekitar kita. Dan mungkin akan muncul manusia yang menunggu kehadiran kita (pede benget ;p).
1 comment:
wakakaka...
ya tuh bener an! hanip aja gila wes ngebet bgt..sampe katanya bilang, "kalo g sm dia y gpp, yg penting kawin ", huahaha...
Post a Comment