Monday, May 29, 2006

Jogja

Pagi ini aku terbangun dengan sebuah guncangan di tempat tidurku. Setengah sadar aku mendengar ibuku berkata, "Ada gempa. Mungkin Merapi meletus," dalam bahasa Jawa. Guncangan berikutnya, mungkin sekitar jam 10, tapi aku tak yakin, aku baru benar-benar tersadar. Beberapa saat kemudian aku baru tahu kalau memang telah terjadi gempa, di Jogja pusatnya, tapi terasa sampai Madiun, bukan dari Merapi tapi gempa tektonik.

Aku tidak dilahirkan di Jogja, tidak dibesarkan di Jogja, pun tidak pernah mengenyam pendidikan di kota pelajar itu. Tapi ada beberapa hal yang melekat di hatiku tentang Jogja ini. Baru pagi kemarin aku sholat Shubuh di musholla stasiun Lempuyangan, saat perjalanannku pulang ke Madiun. Baru beberapa minggu yang lalu aku berputar-putar, menyusuri jalanan kota itu. Dan tadi aku menyaksikan lewat kotak kaca, beberapa bangunan Kraton rubuh, aku tak tahu pasti.

Beberapa orang yang ada di Jogja atau mempunyai keluarga di Jogja, yang berhasil aku hubungi, semuanya mengabarkan jikalau mereka dan keluarga mereka baik-baik saja. Aku hanya bisa berdoa....


Dan sekali lagi kita diingatkan akan kebesaranNya. Sekali lagi kita diingatkan akan kekuatanNya. Semoga kita semua dikuatkan oleh Sang Maha Kuat.

Madiun, 27 Mei 2006

Saturday, May 20, 2006

Risalah Cinta


Berniat pergi ke kampus untuk bertemu dengan seorang dosen. Setelah konfirmasi, ternyata beliau tidak bisa, ada pertemuan katanya. Ya sudah terpaksa mencari tempat pelarian.
Di sebuah toko buku saya menemukan sebuah buku yang sebenarnya sudah terbit dari tahun kemarin. Karena bosan dengan jenis bacaan yang akhir-akhir ini dibaca, maka saya memutuskan untuk membelinya. Semoga isinya bagus, pikir saya (karena masih disegel saat mengambilnya dari rak).
Sebuah kumpulan esay dari mbak Helvy Tiana Rosa. Semua berasal dari kisah nyata meskipun beberapa esay ditulis dengan bumbu fiksi. Menurut saya, bahasanya ringan dan mengalir. Sempat tersenyum dan terharu beberapa kali.
Ternyata masih ada cinta....

Risalah Keindahan

Dan aku masih memandanginya. Senyum yang indah dan lesung pipi berpadu di wajahnya. Sangat cantik, secantik bundanya. Aku menggenggam tangannya yang hangat dan lembut. Kami berjalan beriringan.
"Karena aku ingin melihat senja," katanya saat aku bertanya mengapa ia mengajakku berjalan-jalan.
Sebuah angin sore menyapa lembut wajah kami.
"Karena senja memberikan kedamaian setelah datangnya semangat mentari siang. Karena senja memberikan harapan akan datangnya mentari esok pagi. Karena senja adalah senja," tambahnya.
Aku memperlambat langkahku, mengikuti langkah-langkah kecilnya yang manis.
Mutiara-mutiara air turun dari langit. Hujan gerimis. Kami berteduh. Angin kembali menyapa kami. Aku merapatkan jaket yang membalut badannya. Ia merapikan hijabnya yang sedari tadi mulai kusut dipermainkan angin.
Hujan berhenti. Sebuah pelangi terlukis di langit. Menyerap sisa-sisa cahaya mentari senja dan memuntahkannya ke kanvas langit.
"Itu apa?" tanyanya. Kujawab, pelangi.
"Mulai sekarang aku menyukai pelangi," katanya. Aku bertanya mengapa.
"Apakah selalu ada pelangi?" ia balik bertanya. Aku jawab, kita akan dapat melihat pelangi pada saat yang tepat. Aku bertanya kembali, kenapa ia menyukai pelangi.
"Karena, ia indah. Keindahan yang muncul setelah dinginnya hujan yang membasahi bumi. Hmm indah." Aku kembali menatap wajahnya erat. Cantik.
Kami berjalan menuju taman bunga. Tanah yang basah oleh hujan menyertai langkah kami. Ia berhenti, menekuk lututnya dan berjongkok. Ia mengamati sebuah kepompong. Seekor kupu-kupu yang sedang berjuang keluar dari kepompongnya. Aku kembali melihat wajahnya. Aku selalu kagum dengan kecantikannya saat mengagumi dan memperhatikan sesuatu.
Lalu ia berujar, kenapa ia begitu memperhatikan kepompong dan kupu-kupu itu.
"Karena, ia indah. Keindahan yang muncul setelah perjuangan melawan kesepian. Keindahan yang harus dibayar dengan kesendirian. Dan keindahan yang harus dibayar dengan meninggalkan rumah hangatnya agar bisa melihat dunia luar dengan lebih jelas."
Dan proses metamorfosa telah mencapai puncaknya. Sebuah kupu-kupu yang indah terbang, menorehkan tulisan-tulisan tak terlihat di kertas udara. Sebuah keindahan muncul.
Kami pun berjalan kembali. Ia memasukkan tangan kecilnya ke tas selempang yang sedari tadi ada di bahunya. Seperti mencari sesuatu. Sebuah bunga mawar putih yang indah telah ada di genggamannya. Ia mengarahkan bunga itu ke arahku. Seperti hendak mengatakan sesuatu, aku mendekatinya.
"Selamat milad ayah." Sebuah senyum berpadu dengan lesung pipi tercipta di wajah mungilnya. Aku tertegun.
"Terima kasih Iena kecil, " begitu aku memanggilnya. Dan aku masih tertegun. Dan keindahan itu tercipta di atas keindahan. Iena kecilku, secantik dan secerdas bundanya.

-untuk semua orang yang lahir di bulan Mei ^ ^-

Saturday, May 06, 2006

Aku Bercerita

Stasiun Lempuyangan. Aku melihatnya turun dari kereta, bertas punggung dan menenteng sebuah jaket biru. Aku mengamatinya dari kejauhan. Anggaplah aku tidak terlihat. Dia terlihat sangat kelelahan, mungkin dari tempat yang cukup jauh. Aku akan bercerita tentang dia mulai sekarang. Anggaplah aku tahu semuanya.

Dia berjalan menuju musholla stasiun, mungkin untuk sholat Shubuh. Ternyata benar. Setelah itu dia tertidur di serambi musholla, sebelum dibangunkan oleh penjaga musholla.
"Mas, mas, bangun. Mau dipel."
"Oh ya mas."
Pemuda itu merapikan tas punggungnya dan bergegas pergi. Tampaknya masih sangat capek, tapi biarlah, mungkin ia harus mengejar sesuatu.

Keluar dari stasiun Lempuyangan, pemuda itu menuju sebuah warung.
"Nasi rames, wonten Bu?"
"Oh wonten Dik. Mangga pinarak. Saking pundi tho?"
"Saking Bandung, Bu."
Selesai sarapan, pemuda itu duduk di depan warung, menunggu matahari bersinar lebih terang.
"Eh Ron, lo dimana? SMS gue nyampe kan?"
"Sorry2, pulsa gue abis."
"Ya udah, ntar kita ketemuan dimana?"
"Lo maunya dimana?"
"Gak tahu Jogja sih sebenernya. Di Malioboro aja deh. Gue abis ini mau kesana."
"Oke2. Tapi gue ada ujian pagi ini. Baru kluar mungkin jam setengah 12 an. Gak papa?"
"Nyante aja. Gue juga mo jalan-jalan dulu. Sorry ya jadi ngrepotin."

Matahari meninggi. Pemuda itu beranjak. Dengan berbekal peta, ia menyusuri jalan-jalan Jogja menuju Malioboro.

Malioboro masih sepi pagi itu. Hanya ada beberapa toko yang sudah memulai hidupnya. Ia memilih untuk duduk di bangku di bawah pohon. Rindangnya daun pohon itu cukup menaunginya dari terpaan sinar matahari. Dia membuka sebuah buku dan membacanya.

Dia menunggu dan menunggu. Ditutupnya buku itu dan dia beranjak, berjalan. Menyusuri sepanjang jalan Malioboro dan mengamati berbagai hal yang ada di sepanjang jalan itu. Berkali-kali,
"Becak Mas. Nyari oleh-oleh bakpia atau ke Dagadu, langsung dianterin."
"Mboten pak. Sampun."
Langkahnya berbelok ke Masjid Malioboro ketika matahari mencapai puncaknya. Sapuan air wudhu cukup membantu melawan hawa Jogja yang sedang panas.
"Lo dimana?Gue mo nganterin jaket." Sebuah SMS masuk.
"Gw lagi di masjid Malioboro.Mo sholat."
"Ya udah tunggu disana. Gue kesana."

12.53. Di bawah pohon, di depan Masjid Malioboro. Orang yang ditunggunya belum datang. Tetes-tetes air jatuh dari langit, menandakan akan segera turun hujan. Sebuah motor berbelok dan parkir di depannya.
"Sori ya. Nunggu lama?"
"Nyante aja."
"Ke mesjid yuk. Ujan deres ni."
Mereka berdua bergegas menuju salah satu serambi Masjid Malioboro.
"Lo beneran cuma mo ngambil jaket."
"He eh."
"Aneh. Kenapa lo jauh-jauh kesini cuma buat ngambil jaket?"
"Karena gue ngerasa gue yang ninggalin. Kemaren gue ngelihat jaket ini di jok tengah mobil lo sebelum turun. Gak tahu kenapa waktu itu gue gak bisa ngomong trus gue pikir itu jaket lo. Ya udah gue diem aja. Eh baru nyadar pas nyampe Bandung."
"Oh gitu tho. Rencananya gue mo maketin ni jaket kalo emang butuh cepet. Kmaren juga dah ngomong ke nyokap mo balik ke Bandung buat balikin jaket ini. Eh lo-nya dateng kesini. Ya udah gak jadi."
"Jadi rencana lo gagal, hehe."
Merekapun berbincang-bincang.
"Jam setengah 2 gue ada presentasi. Jadi bentar lagi gue cabut. Rencananya abis ini lo mau kemana?"
"Mo ke Kota Gedhe kayaknya. Nunggu ujannya reda."

"Gue cabut dulu ya."
"Thanks banget Ron."
"Ya. Sama-sama. Kapan-kapan main lagi kesini ya."
"Sip."

Hujan mereda. Meninggalkan genangan-genangan air di sudut-sudut jalan. Matahari kembali terik.

It is not only about a jacket. It's about his life. Let his life flows till the time when he comes with his dreams.

Dan sekarang aku telah selesai bercerita tentang ia.

--Untuk perjalanan sehari ke Jogja. Buat yang punya jaket, aku nggak bermaksud jahat kok ^ ^. Buat Ian, kemarin blum perlu navigator:p. Kapan-kapan kita ke Jogja, tunjukkin tempat beli perak yang bagus & murah ^_^ skalian dibeliin kalo bisa hehehe--