Thursday, October 19, 2006

Bunga

Gambar ini saya ambil ketika saya ada di sebuah kantor pemerintah daerah Pandeglang. Waktu itu siang dan sangat panas sekali. Setelah selesai sholat di mushola kantor itu, saya melihat bunga ini (terus terang saya tidak tahu ini bunga apa ;). Bunga itu tumbuh di tanah pingiran lapangan buku tangkis, di antara rerumputan yang tidak teratur. Mungkin saja memang jarang dirapikan. Sepintas mungkin akan jarang yang memperhatikan bunga ini karena ia memang tidak eye catching. Bandingkan dengan serumpun bunga mawar dengan warna merah menyala yang sangat menggoda mata. Ia sangat terlihat. Tapi siang itu, bunga ini sangat indah. Tak terlihat tapi tetap saja indah.

Friday, October 13, 2006

Ayahku

Garis wajahnya keras tapi ia tampan. Garis wajah itulah yang kumiliki sekarang. Ia duduk di kursi meja makan, menyeruput kopi kental nan panas. Udara pagi menyusur lewat jendela yang ada di sampingnya, melambaikan rambutnya yang beberapa telah mulai memutih.

Ia menatap ke arahku ketika aku berteriak, menyemburat ke arahnya.
"Ayah..."
"Ibu kan sudah bilang. Kalau besok pagi sekolah, peralatannya harus disiapkan. Jangan pagi-pagi begini baru sibuk mencari peralatan yang tidak ada."

Ayah menjadi benteng pelarianku ketika aku mendapat marah dari ibu. Pembawaannya sangat tenang meskipun sekali waktu amarahnya bisa meledak sangat hebat. Aku pernah melihatnya mematahkan sebuah meja kayu ketika bertengkar dengan ibu.

"Beristirahatlah, sayang. Engkau terlalu lelah bekerja, " kata ibuku suatu waktu ke Ayah.

Ia menggendong adik kecilku sambil melayani pukulan-pukulan raketku. Ia sanggup mengembalikan setiap shuttlecock yang terarah ke daerahnya meskipun satu tangannya menggendong adik kecilku. Ia sangat mahir bermain bulu tangkis. Aku dibuatnya jungkir balik, mengembalikan setiap pukulannya.

Ialah yang pertama kali mengajariku bersisir sendiri. Ialah yang sering berbelanja kopi, gula dan tentu saja minyak rambut. Minyak rambut yang dipakai untuk merapikan rambutku.

Aku sering mendengarnya membaca Qur'an di ruang tamu.
"Ayah hanya bisa membaca Qur'an, tapi tak bisa menulisnya," katanya sembari tersenyum.
Ia membaca sebuah Qur'an yang tulisannya tercetak di atas kertas yang coklat dengan huruf-huruf yang sangat berdempetan. Ketika aku membaca Qur'an itu, aku merasa sangat kesulitan. Tapi ayahku membacanya dengan sangat lancar.

Ialah yang setiap catur wulan membawakan sebuah piagam penghargaan dari kantornya. Piagam karena aku mendapatkan rangking berapapun. Dan piagam itu masih tertumpuk rapi hingga sekarang.

Ia beberapa kali menunjukkan bekas jahitan di perut bagian kirinya. Luka bekas operasi.

Suatu hari aku melihatnya kesakitan dan setelah itu ia pergi.

****

Pernah ada yang bertanya, "Bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang dicintai?"
"Apa kau pernah kehilangan sebuah benda?"
"Iya pernah."
"Jauh lebih sakit daripada itu."

Aku tidak ingat kapan ia meninggal. Yang jelas aku merindukannya. Merindukan secangkir kopi yang tiap pagi ia minum, dekapannya, suaranya membaca Qur'an, lelucon-leluconnya, piagam yang ia bawa setiap cawu dan semua hal tentang dirinya. Jika ia masih ada sekarang, aku ingin bercerita tentang banyak hal kepadanya. Ayahku.

-Jangan pernah menyiakan setiap detik yang dianugerahkan Allah kepada kita untuk berbakti kepada orang tua-

Thursday, October 12, 2006

Mudik

Konon katanya, tradisi mudik hanya ada di Indonesia dan tidak di belahan bumi yang lain. Tradisi yang berawal dari semacam keharusan dan kebutuhan akan silaturahmi bersama sanak saudara di Hari Raya.

Tahun ini, insya Allah akan menjadi mudik saya kali ke tujuh. Semoga menjadi mudik yang menyenangkan :).

Mudik pertama, waktu itu masih kelas 1 SMA. Sekolah di luar kota, di sebuah tempat antah berantah. Seingat saya waktu itu libur puasa dan lebaran lumayan panjang. Jadi mudik pun dilakukan jauh-jauh hari sebelum Hari Raya. Karena setelah liburan akan ada ulangan umum catur wulan 2, maka tas ransel saya penuh dengan buku-buku pelajaran. Tapi apa hendak di kata, liburan pun diisi tanpa sedikit pun menyentuh buku-buku itu. Karena berkumpul dengan keluarga lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk bercengkerama atau sekedar bermain-main. Maklum waktu itu masih kecil. Karena mudik pertama kali, tentu saja ada pengalaman baru yang dirasakan. Mulai dari mencari tiket jauh-jauh hari sebelum berangkat, pembagian tempat duduk dengan teman-teman lain yang mudik pula (waktu itu ada 4 orang yang arah mudiknya sama) sampai pengalaman duduk minimal 10 jam sebelum akhirnya sampai di kampung halaman. Yang dilakukan selama ada di kampung halaman? Biasa saja. Membantu ibu menyiapkan kue-kue lebaran dan berjalan-jalan dengan teman-teman yang saya tinggal di kampung halaman.

Mudik kedua, waktu itu sudah ada di kelas 3. Kelas 3 masih di catur wulan pertama. Tak seperti mudik pertama, kali ini tanpa membawa bekal buku pelajaran sama sekali. Berkat pengalaman belajar 1 tahun lebih, ulangan umum tidak perlu dipersiapkan jauh-jauh hari. Cukup menyediakan otak yang sanggup begadang, secangkir kopi, dan kaki yang sewaktu-waktu siap untuk diajak melangkah ke kamar sebelah sekedar basa basi atau menanyakan hal-hal yang tidak mengerti. Memang bukan cara belajar yang baik. Waktu SMA itu, saya memang tinggal di asrama. Prosedur mudik masih sama dengan mudik pertama. Beli tiket jauh-jauh hari, kemudian tinggal menyiapkan fisik untuk menempuh perjalanan panjang. Yang dilakukan di kampung halaman? Masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Membantu ibu membuat kue kering, kacang asin atau jajanan lain khas lebaran.

Mudik ketiga. Saya sudah menjadi mahasiswa ITB. Saat mudik adalah saat-saat yang saya tunggu setelah berkutat dengan kuliah dan tentu saja ospek yang 'menyehatkan'. Jika mudik 1 dan 2 saya berangkat dari pool bus Cibitung, mudik ke 3 ini saya berangkat dari terminal Cicaheum. Karena sudah mulai terbiasa dengan perjalanan panjang, maka duduk berlama-lama di dalam bus pun sudah menjadi hal yang biasa. Karena baru menjadi mahasiswa ITB, tentu saja yang mendominasi pembicaran selama di kampung halaman adalah tentang kuliah di ITB dan seterusnya. Tapi tetap saja, meskipun sudah menjadi mahasiswa, peran sebagai asisten masak + tester pembuatan kue-kue lebaran tetap saja berlanjut. Ada yang aneh ketika mudik waktu itu. Saat saya banyak bercerita tentang kuliah di ITB, teman-teman seangkatan saya masih duduk di kelas 3 SMA. Hiks.

Mudik keempat. Saya ada di tingkat 2, semester 3. Setelah sempat trauma dengan praktikum di Lab Logam yang sampai memakan waktu tarawih, saat mudik adalah saat-saat yang membahagiakan. Benar-benar sangat membahagiakan. Sama seperti mudik ketiga, saya berangkat dari Cicaheum dan kalau tidak salah waktu itu mudik sendirian. Cerita selama liburan lebaran di kampung halaman, saya sudah lupa.

Mudik kelima. Tentu saja sudah ada di tingkat 3 Teknik Industri ITB dengan Praktikum Perancangan Teknik Industri sebagai tema besarnya. Saat akan berangkat menempuh perjalanan, menerima sebuah kabar meninggalnya seseorang akibat kecelakaan. Semoga amal beliau diterima di sisi Nya. Waktu itu kalau tidak salah mudik bareng Mas Trian. Mas Trian yang memaksa kru bus untuk mematikan tv karena video klip yang ditampilkan kurang 'sopan'. Ndengerin suara aja cukup lah mas, gak usah pake gambar. Hehe. Lumayan lah, ada teman mengobrol sepanjang perjalanan, ada teman yang mengingatkan untuk jangan lupa tilawah meski di perjalanan, ada teman yang sama-sama makan pisang sebagai makanan sahur :).

Mudik keenam. Saya meninggalkan Mas Trian di Bandung untuk menyelesaikan template pabrik tugas Perancangan Tata Letak Pabrik. Waktu mudik sangat dekat sekali dengan lebaran, karena hari terakhir kuliah masih harus menjadi asisten sebuah praktikum. Mudik kali itu terasa lucu. Kisah selengkapnya ada di sini.

Mudik ke tujuh. Belum saya jalani. Insya Allah pulang beberapa hari lagi, setelah kemarin akhirnya mendapatkan tiket pulang juga. Kenapa sih tiket kendaraan sekitar Hari Raya selalu naik. Ngabisin duit aja :(. Dan waktu mudik kali ini pun sangat dekat dengan Lebaran, karena (lagi-lagi) masih menjadi asisten di 'sebuah praktikum' itu.

Mudik menjadi salah satu jalan kita untuk bersilaturahmi dengan keluarga-keluarga yang dalam keseharian jauh dengan kita. Memang tak hanya dengan mudik kita bersilaturahmi. Tapi paling tidak dengan mudik, kita bisa lebih lepas menumpahkan kerinduan kepada keluarga kita terutama ayah ibu kita. Buat yang akan mudik, selamat mudik. Hati-hati di jalan. Salam buat keluarga:). Buat yang tidak mudik karena masih ada sesuatu yang menahan dia untuk tetap tinggal, semoga segala urusannya dimudahkan. Buat yang tidak mudik karena memang keluarganya ada di kota yang sama bahkan tinggal seatap, nikmati saja kebersamaan bersama keluarga.

Friday, October 06, 2006

Ramadhan hari III

Tumpukan buku ada di sudut ruangan. Mungkin buku tua. Panas, pengap. Ventilasi tidak membiarkan udara berlalu bebas. Semua tersangkut oleh debu yang memenuhi kawat kasa. Aku tidak mendengar suaranya ketika ia tiba-tiba meloncat ke arahku. Sesaat aku melihat kepalan tangannya. Tapi terlalu cepat untuk aku menghindar. Pukulannya mengenai pelipisku.
"Apa maksudmu?"
Ia meloncat lagi ke arahku. Kali ini kilatan cahaya dari sebuah gunting mengenai mataku. Matanya menyala tajam. Gunting mengarah ke leherku. Ia pasti tak hendak membunuhku. Dinginnya baja terasa di leherku. Ia hanya menempelkan gunting itu di leherku.
"Tak bisakah kita bicara dengan baik?"
Ia meloncat kembali ke belakang, meletakkan gunting itu dan kembali ke arahku. Ia mencekikku kali ini. Tapi aku pikir ia tak hendak membunuhku lagi.
"Apa maumu?"
"Aku sedang puasa!"
Ia memukulku sebelum ia berbelok dan lari keluar. Aku terlalu lemah untuk melawan. Ruangan masih panas. Orang-orang hanya menonton aku dihajar oleh orang tolol itu. Ingin rasanya aku mengacungkan jari tengah. Sialan. Tapi aku sedang puasa.
"Jadi bagaimana Pak? Kita harus bagaimana sekarang? Ada cermin Pak? Rasanya pelipisku berdarah. Ada tissu?"
Aku pusing. Tak tahu harus berbuat apa. Orang-orang yang menontonku dihajar tadi terus bicara. Aku tak tahu mereka bicara apa.
"Baik pak. Kalau begitu saya permisi dulu. Terima kasih."
Aku terhuyung di jalan sebelum masuk ke angkot. Ternyata dunia juga diwarnai dengan seorang laki-laki kecil, jelek, jabrik, yang hanya bisa berbicara dengan pukulan, bersenandung dengan kebohongan, yang melihat kekerasan sebagai solusi terbaik dari masalah. Siapa lagi kalau bukan laki-laki yang menghajarku tadi. Tapi ternyata dunia tak seburuk itu. Apa perlu aku ceritakan kalau di angkot itu ada seorang perempuan berlesung pipi berpakaian merah muda, tersenyum padaku, ketika aku memijit-mijit pelipisku yang terlihat memerah di kaca spion supir angkot. Masih indah bukan.

****

"Hayo ayah...Perempuan itu siapa?"
"Lagipula kenapa ayah ada di tempat itu? Kok tidak melawan?"
"Tanya ibumu saja. Pasti ia tahu siapa perempuan itu."
"Ah ayah."
"Ayo sekarang kalian pergi tidur. Besok pagi harus bangun sahur."
"Besok cerita lagi ya Yah."
"Pasti."